Part 19 AJ - Bersatu

13.4K 973 137
                                    

Happy reading ❤️

Ayah menangisi tangan ibu yang masih lemah. Ibu menatap haru dengan air mata yang mengalir lembut di pipinya.

"Terima kasih sayang. Terima kasih karna telah bertahan untukku." Tangis ayah semakin pecah.

Air mataku semakin menjadi melihat pasangan mesra itu. Ruangan ini penuh haru biru. Sedih, bahagia bercampur aduk menyiksa hati. Wajahku bersimpuh dipundak ayah. Rasa syukur yang tak terhingga berkali-kali ku ucap kepada Raab ku. Terima kasih ya Allah, terima kasih karna menyelamatkan ibuku.

*****

Seharian ini aku tak melihat mas Evan. Setelah Bu gendis dan Bu Tari pamit untuk pulang, ruangan ini terasa sepi. Hari ini ku tengah kemas pakaian ibu juga ayah, hari yang membahagiakan untuk kami karna ibu sudah boleh pulang.

Rasanya tak sabar diri ini untuk segera sampai ke rumah. Dan yang lebih tak sabar lagi aku ingin cepat bertemu mas Evan, rindu ini terus memburu setelah seharian tak melihat wajah tampannya. Mungkin sudah saatnya aku utarakan rasa ini, aku akan jujur jika diri ini pun menginginkan pernikahan itu kembali.

Kami masuk ke rumah. Terasa sepi, tak ada suara centil Bu Gendis, teriakan Bu Tari pun tak terdengar kini. Terlebih mas Evan yang jarang sekali terdengar suaranya di rumah ini. Apa mungkin Bu Gendis tengah dibelakang bersama Bu Tari. Mungkin mas Evan sedang istirahat di kamarnya, dia pasti cape karna belakangan ini tak banyak tidur. Dia senantiasa menemani kami siaga di rumah sakit.

"Bu.. Bu Gendis, tolong bawakan pakaian kami Bu." Teriakku saat diri ini membopong ibu ke kamarnya.

Terdengar suara langkah. Langkah yang terdengar dari kamar Bu Gendis lalu langkah itu keluar. Mungkin Bu gendis langsung keluar mengambil pakaian kami dari mobil. Tak biasanya beliau sunyi seperti ini, selalu nya beliau akan membebel saat melihat kami. Ah.. mungkin beliau pun penat dan capek.

"Bu Tari dimana, Bu?" Tanyaku saat Bu gendis menggeret koper dari luar.

Wajahnya terlihat sembab. Seperti dirundung kesedihan kulihat, apa beliau sedang ada masalah?.

"Bu, sudah makan? Kalau belum. Wulan pesankan makanan dari luar ya." Aku mencoba mengajak beliau bicara tanpa menanyakan apa yang terjadi kepadanya.

"Noon.. bibi sedih." Bu Gendis memeluk diriku.

Aku jelas kaget. Hatiku langsung risau karna tak biasanya Bu Gendis seperti ini, ini bukan Bu Gendis yang aku kenal. Selalu Nya beliau ceria.

"Kenapa Bu? Cerita sama Wulan." Kucoba tenangkan dirinya.

"Semalam den Evan mengajak yang mulia pulang ke rumahnya. Padahal yang mulia gak mau, tapi den Evan terus memaksa, malah mengancam yang mulia. Bibi tak tega melihat yang mulia pergi dengan menangis seperti itu. Yang mulia sempat ajak bibi untuk ke rumahnya. Tapi bibi tolak, bibi tak mungkin meninggalkan non Wulan sama nyonya. Bibi juga sayang kalian, tapi bibi juga sayang yang mulia. Bibi galau noon, bibi tak bisa tidur semalaman." Bu Gendis menceritakan dengan sesenggukan.

Aku terdiam. Apa ada yang salah? Bukankah selama ini baik-baik saja. Apa mas Evan kembali seperti dulu? Diam dan tak perduli lagi kepadaku.

Hatiku sedikit kecewa. Tapi lebih ke sakit dan kehilangan. Kulepaskan pelukan Bu Gendis. Aku berlari ke kamar tamu, ke kamar yang selama ini mas Evan tempati.

Kulihat sudah tak ada sehelai pun pakaiannya. Ternyata apa yang diceritakan Bu Gendis benar. Mas Evan telah pergi tanpa pamit kepadaku.

Hatiku bergetar hebat. Air mataku menyeruak mendobrak paksa lalu air mataku berselancar deras. Hatiku sakit sesakit-sakitnya. "Kenapa kamu datang jika hanya akan menyakitiku kembali mas."

Tubuhku lemas. Ku Rebahkan tubuhku di ranjang ini. Ku Menangis sejadinya. Ku remas sprei biru ini, ku lempar semua bantal yang ada.

Kulihat secarik kertas tergeletak dilantai. Mungkin kertas itu terjatuh saat ku lempar semua benda di sekitarku. Ku jangkau kertas yang dilipat rapi itu, kubuka perlahan. Kulihat ada tulisan mas Evan didalamnya.

Wulan sayang.. maaf jika mas tak pamit.
Tugas mas sudah selesai. Maaf sebelumnya.
jika mas datang kepadamu secara tiba-tiba.
Sebenarnya mas sudah tau jika ibumu ada tumor di otaknya. Sebelum kamu tau, mas sudah lebih tau terlebih dahulu.
Jujur mas risau saat mengetahui keadaan ibumu, dan akhirnya mas memberanikan diri untuk masuk lagi ke kehidupan mu.

Maaf jika mas hadir lagi di kehidupanmu. Mas sudah lancang.

Namun dengan perasaan ini, mas memang sangat mencintaimu Wulan. Mas sadar jika wanita sepertimu lah yang layak mas kejar. Namun, mas bukan orang yang suka memaksa.

Jika kamu mencintai mas mu ini, mas yakin kamu akan kembali. Dan kamu pasti tau harus pergi kemana.


Ku Usap air mata ini. Aku berlari dari ruangan ini, aku berlari mencari kunci mobil. Kau tak mau kehilangan yang kedua kalinya, saatnya aku hilangkan egoku, saatnya aku mendapatkan bahagiaku.

"Bu, tolong jaga ayah juga ibu ya. Wulan mohon ibu jaga dengan baik ayah juga ibuku."

Bu Gendis mengiyakan tanpa mengatakan apapun. Beliau seperti paham jika aku harus mengejar cintaku. Aku harus mengejar kebahagiaanku.

Ku Tancap gas dengan kecepatan tinggi. Hatiku sudah sangat ingin berada disisinya. Rasa ini begitu menggebu hingga dada ini terasa terhimpit, sakit juga sesak.

Mobilku terparkir begitu saja di istana Bu Tari. Aku langsung keluar dan berlari untuk masuk ke rumah besar itu. Tanpa aba-aba aku langsung masuk begitu saja. Disana ada Kia yang entah sedang apa, yang pasti kulihat sedang memelas mohon kepada ibu Tari. Aku tak hiraukan, aku langsung naik kelantai satu dimana kamar mas Evan berada disana.

Mata Kia terlihat begitu kesal, marah murka. Ibu Tari hanya menatap senyum saat diri ini berlari menaiki tangga.

Tanganku bergetar saat ingin membuka pintu besar ini. Dadaku sudah sangat sesak, rasanya tak mampu melihat seisi kamarnya. Kamar dimana aku selalu dia abaikannya.

"Pergilah Kia! Aku sudah muak melihatmu, aku sudah tak Sudi lagi melihat wajah palsu mu." Ucap mas Evan yang kini sedang terlentang di ranjangnya.

Aku hanya diam. Tak ada suara yang mampu aku ucapkan, melihat sosok mas Evan jiwaku terasa didalam ribuan bunga yang sedang bermekaran. Kebahagiaan yang tak mampu aku ukur.

Aku langsung tidur di sofa panjang ini. Sofa yang menjadi tempat tidurku selama menjadi istri mas Evan dulu.

"Kia! Sudah kukatakan aku tak--" Mas Evan menghentikan umpatannya saat melihatku terbaring di sofa ini.

Matanya nanar berkaca. Air matanya keluar begitu saja dengan lembut. Begitupun diriku, air mataku yang sudah sejak tadi berderai tanpa henti.

"Wulan, kau kah itu?"

"Aku mengangguk dengan seguk tangisku."

Mas Evan bangkit dari ranjangnya. Begitupun dengan diriku, aku berjalan perlahan mendekatinya. "Ahh.. terimakasih sayang. Terima kasih karna telah datang." Mas Evan memeluk erat tubuhku.

******

T A M A T




















Eiittsss Tapi boonggg hiyyaaakkk🤣🙏

Komen kasih pendapat kalian..

Tamat atau bersambung?

Kalau tembus komen 100 kita lanjut ceritanya okeyy😉😋

Jangan lupa jejaknya cintahh⭐
Follow akun author biar gak ketinggalan notif Updated kawaistory_

AUTO JANDA [ TAMAT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang