Happy Reading ❤️
Ayah tak jauh dari tangan ibu. Air mata itu terus berlinang tanpa henti, wajah penuh iba dirundung kesedihan. Beliau tak berkata apapun, namun ku tahu apa yang ia rasakan kini.
Begitupun aku. Aku hanya diam. Diam dalam kesedihan dan rasa khawatir. Bayangan pahit terus menakuti benak ini, rasa yang bercampur aduk hingga aku tak bisa luahkan semuanya.
Ah, pelik sekali hari ini. Terlebih ketika ibu tertidur pulas di ranjang itu. Wajah menuanya semakin tampak terlihat, kurus dan menyusut.
Ternyata mataku tak jauh dari mata ayahku. Air mata ini menetes setelah kurasakan panas dikedua mataku, ternyata aku tak setegar itu.
"Jangan menangis nak. Ibumu pasti akan sembuh, ibumu akan kembali ke rumah." Ayah mengusap kepalaku.
Aku tertunduk. Kesedihanku malah semakin menjadi tak kala ayah berkata dengan suara parau nya. Nada suaranya bergetar pecah saat mencoba menguatkan diri ini.
"Assalamualaikum.." ucap salam terdengar saat pintu VIP itu terbuka.
Dari suaranya dipastikan Bu Gendis. Bukankah aku sudah mewanti-wanti sejak tapi pagi agar beliau urungkan niatnya untuk datang kesini. Kebangetan saja jika beliau masih nekad ingin datang kesini, terlebih jika niatnya itu ingin berlibur.
"Yang mulia, sepertinya kita salah masuk. Ini bukan kamar rumah sakit yang mulia, tapi ini seperti hotel." Terdengar suara Bu Gendis berbisik keras.
"Emang kamu pernah masuk hotel?"
"Hehe.. kagak, tapi kan kalau hotel pasti nyaman seperti ini yang mulia." Kilahnya terdengar tak mau kalah.
"Sudah masuk saja," Bu Tari memaksa Bu Gendis yang masih tak yakin jika kini beliau didalam bilik rumah sakit.
Terdengar suara geretan koper. Ya Gusti, ada apa dengan mereka ini. Kukira obrolan kemarin hanya bahan candaan, ternyata mereka memang datang dengan kopernya.
Aku keluar dari bilik ibu. Kulihat Bu Tari sedang duduk santai di sopa panjang, lalu Bu gendis masih melihat-lihat sekitar. Matanya macam tak berkedip melihat setiap sudut yang ada di ruangan ini.
"Waduh.. luar biasa. Bibi baru tau jika dikamar rumah sakit didalamnya ada kamar lagi. Jangan-jangan dikamar itu juga ada kamar lagi." Mata Bu Gendis terbelalak saat melihatku keluar dari bilik ibu.
"Aduh, Gendis.. Gendis. Ya pasti ada lah, dikamar itu ada kamar lagi. Masa ia dikamar itu gak ada kamar mandinya." Bu Tari terlihat sedikit geram.
"Apa mungkin ada kolam renang juga yang mulia." Tanya Bu Gendis tak masuk akal.
"Kamu gak sekalian mikir didalam kamar itu ada mall juga?" Ujarnya semakin geram.
Mata Bu Gendis semakin menjadi, mungkin jika beliau tertunduk kedua matanya akan jatuh saking melorotnya.
"Ya Tuhan. Kenapa bukan aku saja yang kena parasit itu? Aku mau juga tinggal dikamar yang luar biasa itu tuhan."
"Bu Gendis.. jangan bilang yang aneh-aneh." Tegurku.
"Assalamualaikum.." terdengar suara bik Reni.
Tak lama kemudian beliau datang dengan paman Andi dan juga Adit. Bik Reni langsung memelukku dengan Isak tangisnya. "Sabar sayang.. ibumu pasti sembuh." Bisiknya lirih.
Pelukan bik Reni begitu hangat. Kurasakan kasih sayangnya kepada ibu, beliau memang satu-satunya adik ibu.
Tok..tok..
Terdengar ketukan pintu. Tak berapa lama dokter Ari masuk dengan mas Evan. Matanya langsung terperanjat saat melihat kursi sopa penuh dengan kami. "Bro, sepertinya kita salah masuk ruangan. Ini seperti panti jompo kulihat." Dokter Ari berbisik kepada mas Evan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTO JANDA [ TAMAT ]
Dla nastolatków"Semua bajumu sudah aku kemas. Mulai hari ini kamu bukan istriku lagi. Ibu di bawah sudah menunggumu, baik-baik menghadapnya." Evan menatap datar. "Oke," Timpalku tak kalah datar. "Kamu gak sedih? Aissh, benar-benar kamu Wulan." Ucapnya kesal. Kutar...