Putri menatap sepasang kekasih di depan nya dengan penuh selidik dan kedua tangan yang menopang dagu. Ia menatap mereka secara bergiliran sambil menunggu jawaban dari mereka.
"Jadi?"
"Jadi ... waktu lo manggilin Nafis buat anter gue pulang, gue beraniin diri buat ngobrolin masalah kita. Maka nya sekarang balik lagi,"
Nafis sang lelaki mengangguk setuju dengan perkataan kekasihnya. Lalu ia pun menambahkan, "kita juga udah diskusiin tentang pernikahan. Saya nggak mau bawa Zila ngambang lagi ke hubungan yang merempet zina, lebih baik saya bawa langsung ke hubungan yang sah."
"Bagus itu," Ucap Asa yang datang sambil membawa pesanan dimsum mereka. Ia meletakan dimsum nya di atas meja taman, dengan rapi.
"Kak! Ih...."
Asa mengerutkan dahinya tak paham. Apa yang salah dengan perkataan nya, padahal itu hal yang benar.
Berbeda dengan Asa yang acuh, Putri malah menatap Zila saling bertelepati di dalam diam dan mata mereka. Nafis yang seakan paham dengan keraguaan Putri, kembali angkat bicara.
"Tenang aja, Zila nggak bakalan saya buat susah. Saya bakal usahain semua hal mateng jadi nggak main nikah-nikah doang kayak ada kena insiden dadakan."
Seakan tersindir, Putri langsung mengalihkan pandangan nya kearah lain. Ia terpikirkan saat jaman-jaman pernikahan nya yang mendadak hanya karena insiden kecil.
"Ya-yaudah, bagus kalau nyadar. Ayo makan!" Putri menyudahi percakapan dan mulai memakan dimsum yang sudah dipesan nya tadi dengan nikmat.
Sehabis mereka makan, Zila dan juga Nafis undur diri karena orang tua Zila yang sudah menyuruhnya pulang. Sedangkan Putri dan Asa masih berkeliling sekitaran sini, namun pada akhirnya mereka pergi juga.
Mereka berjalan sambil berbincang-bincang ringan. Dengan genggaman tangan satu sama lain. Itu karena Asa mengatakan bahwa ia takut Putri hilang dijalan.
"Kak,"
"Mas. Mulai sekarang biasain manggil mas."
"Dih? Mauan di panggil mas. Bercanda, mas."
"Kenapa?"
"Masalah yang pindah itu ... kamu serius?" Asa mengangguk untuk membalas pertanyaan Putri. Namun, dia tidak puas dengan jawaban Asa.
"Yakin?"
"Yakin. Aku nggak masalah juga. Bagus malah sama lingkungan nya, apalagi ada bunda sama ayah. Aku juga kan tiap hari ngantor, apalagi naik jabatan bakalan sibuk."
Putri diam merenungi perkataan mas suami. Apa yang di katakan oleh suami nya itu sepenuhnya benar. Ia kerap sekali kesepian apabila Asa belum pulang, walaupun hubungan mereka masih belum baik. Awalnya setiap pulang kuliah, ia akan bermain dengan Awan. Namun karena bocah itu tinggal bersama Umi nya Asa, ia jadi tidak tahu mengisi waktu sendiri nya dengan hal apa, mengingat dia yang tidak memiliki banyak teman.
"Yaudah, kamu bakal urus kapan?"
"InsyaAllah besok. Aku mau ngomong juga ke Umi."
Putri mengangguk paham. Dapat di hitung beberapa detik, mereka terdiam sambil mengirup udara segara malam berdua, hingga seorang ibu-ibu menyapa mereka.
***
"Umi sama Abi setuju kita pindah. Malah katanya bagus. Aku coba hubungi nomer yang tertera di rumahnya bentar."
Tadi saat sarapan pagi, Putri dan Asa sudah mendiskusikan hal ini juga pada orang tua Putri. Sekarang mereka berdua di kamar membahas lanjutan tentang rumah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Side My Husband
FanfictionPutri yang bertekad hijrah dimulai dengan les mengaji kepada ustadz Kamal. Eh malah nikah sama anak nya ustadz Kamal yang dingin nya melebihi kutub utara. Yang membuat Putri terkejut adalah anak nya ustadz Kamal ini suka berkeliaran di dunia malam...