🌷[ 25 ] ARC 1 : TRANSMIGRASI

408 42 0
                                    

"Gue perhatiin, akhir-akhir ini lo sering terlibat sama si berandalan itu." Arthur menyeletuk sambil memandang Daisha.

"Bener kata Zion, mending lo jauh-jauh dari mereka. Bahaya, bisa aja mereka nyakitin lo. Apalagi di antara mereka ada Gisel. Dia bisa aja merintahin cowok-cowok itu buat bully lo," imbuhnya.

Kenan menarik kursi, lalu mendudukinya. "Kali ini gue setuju sama ni kulkas berjalan. Mending lo berusaha jauhin mereka. Gue khawatir sama lo."

Daisha tersenyum ceria, berniat menghapus kekhawatiran dua cowok itu dengan senyumnya. "Gapapa, kok, lagi pula itu semua cuma kebetulan aja. Aku nggak sengaja."

Tetapi, Arthur justru menggeleng. "Terlalu aneh kalo disebut kebetulan, Sha. Lo sering banget terlibat sama mereka. Bukan sekali dua kali."

Kenan mengangguk lagi, setuju dengan opini Arthur. Di tengah pembicaraan itu, Zion datang dengan Ziana. Ikut menimbrung obrolan.

"Kamu denger, kan? Jangan deket-deket para berandalan itu lagi. Kita semua khawatir sama kamu," ucap Zion, "aku takut mereka ngerencanain niat buruk atau nantinya malah ngejebak kamu."

Perkataan Zion tanpa sengaja didengar oleh Felix dan Simon yang lewat di dekat meja mereka. Kedua cowok itu pun spontan menghentikan langkah dan perlahan membalikkan badan untuk menghadap kelompok itu.

"Siapa yang lo maksud barusan, huh?" sergah Felix.

Simon ikut tak terima. "Biarpun kami ini berandalan, bukan berarti lo bisa seenaknya ngomong yang macem-macem."

Zion, Kenan, Arthur, Daisha dan Ziana kompak berdiri.

Dengan dagu terangkat, Zion membalas angkuh, "Emang kenapa? Bener, kan, apa yang gue omongin? Berandalan macem kalian itu emang rendahan. Bisanya cuman bikin keonaran dan nyakitin orang."

Sudah cukup.

Felix muak mendengarnya.

Tanpa kehilangan senyum, cowok itu pun segera melayangkan pukulan tepat ke dagu Zion yang dengan pongahnya terangkat.

Seisi kantin yang menyaksikan itu ikut memekik, bersama keterkejutan Daisha dan Ziana.

Badan Zion terpelanting menubruk meja. Tetapi itu tidak lantas membuat dia takut akan anggota geng Trevor tersebut. Ia membalas pukulan Felix dan membuat cowok itu termundur sampai menabrak meja-meja.

"Felix!" Simon berseru nyaring.

Lagi-lagi, di kantin terjadi keributan.

Zion melangkah mendekat. Ia menunjuk Felix dengan angkuh. "Jangan mentang-mentang lo berandalan, gue bakal takut gitu aja. Bahkan walaupun lo bawa semua anggota geng sekalipun, gue ga akan ciut, bangsat!"

Simon mengepalkan erat tangannya. Rahangnya mengetat.

Felix mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah segar. Bahkan dalam keadaan itu, senyumnya masih saja belum hilang. Membuat semua orang bertanya-tanya, bagaimana bisa dia mempertahankan ekspresi semacam itu ketika sedang kesakitan?

"Ngapain bawa anggota geng? Gue aja udah cukup buat ngehabisin lo," ujar Felix, tak kenal takut. Tidak tahu kalau yang sedang dihadapinya itu adalah protagonis laki-laki dalam sebuah cerita fiksi yang tentu saja plot armor-nya lebih besar dari dia sendiri.

Perkelahian pun terjadi.

Dua cowok itu saling bertumbuk diliputi emosi. Mereka punya alasan untuk saling hajar satu sama lain.

Daisha mau pun Ziana meneriaki Zion agar berhenti, tapi cowok itu hanya mengabaikannya. Begitu pun dengan Simon, Arthur dan Kenan, mereka berusaha melerai perkelahian itu.

ALAVENDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang