🌷[ 15 ] ARC 1 : TRANSMIGRASI

417 36 0
                                    

Hembusan nafas berat Reja terdengar berkali-kali. Sampai pintu kamarnya terbuka, barulah ia teralihkan dari pantulan dirinya di cermin. Zana datang menjemput Reja untuk sarapan di minggu pagi ini.

"Dih, tumben banget lo ngacanya lama?" tanya Zana, menyandarkan bahunya ke bingkai pintu.

Reja hanya mengangkat bahu, tidak menyahut apapun.

"Rei, motor lo udah dibenerin. Besok bakal dianter sama orang bengkel," ungkap Dara setelah meneguk setengah gelas air. Mereka sudah mulai sarapan.

Dengan kaku, Reja menolehkan kepalanya menatap Dara. Jadi Reinald punya motor?

Dara memelankan kunyahannya, membalas tatapan Reja yang terasa aneh baginya. "Kenapa? Kok malah ngeliatin gue?"

Buru-buru Reja menggelengkan kepala. "Ga pa-pa." Lalu meneruskan makan. Setelahnya, ia pamit pada kedua wanita itu dan pergi ke markas.

Sebenarnya Zana dan Dara merasa sedikit aneh dengan perubahan sikap Reinald akhir-akhir ini. Salah satunya, Reinald yang pamit ketika akan pergi. Padahal sebelumnya, cowok itu akan pergi dan kembali sesuka hati tanpa izin dari siapapun.

Di lain tempat, tepatnya di bandara, seorang cowok menyipitkan matanya tatkala terkena cahaya mentari. Baru saja dirinya menginjakkan kaki ke luar dari gedung. Wajahnya tanpa ekspresi, memerhatikan sekeliling tanpa gairah.

Baginya, hidup ini membosankan. Sangat.

"Arthur, jangan jalan sendirian. Nanti kamu kenapa-kenapa!" Seorang wanita berlarian menyusul cowok bernama Arthur itu dengan raut panik. Diikuti seorang pria yang menggeret koper berukuran cukup besar di belakangnya.

Arthur tak menoleh sedikitpun, hanya melirik mereka berdua lewat ekor mata.

Cih. Memangnya Arthur anak kecil?

Taksi tiba. Sepasang orangtua dan anak itu memasukinya dan melesat menuju rumah tempat mereka tinggal. Setelah setengah bulan, akhirnya mereka dapat kembali ke negaranya.

"Arthur, kamu harus istirahat abis ini, ga boleh kecapean. Mama bakal siapin makanan sehat buat kamu nanti. Terus, kamu jangan langsung masuk sekolah besok. Kamu belum sehat betul ..."

Berisik sekali wanita itu.

Arthur benci dengan ocehannya.

Makanya, Arthur segera menyumpal kedua lubang telinganya dengan airpods hingga cerocosan ibunya tak lagi terdengar. Sampai di rumah, Arthur buru-buru masuk kamar dan menguncinya.

Mamanya merasa sedih melihat sikap Arthur. Anak itu, bukannya senang sudah bisa berjalan lagi, malah tetap bersikap dingin pada orangtuanya.

"Arthur! Kamu ga sopan sekali, ya! Bukannya berterimakasih, kamu malah mengabaikan kami! Kami ini orangtua kamu!" Papa Arthur yang hilang kesabaran mulai menggedor-gedor pintu kamar putranya.

Nelly—mama Arthur—mencoba menenangkan suaminya. "Sudah, Pa. Biarkan Arthur sendiri dulu. Dia pasti butuh waktu."

"Berapa lama lagi, Ma? Dia bersikap begini semenjak kecelakaan itu! Dan dia tidak pernah sedikitpun berubah!" sentak Marlo emosi.

Nelly meminta Marlo agar istirahat saja. Soal Arthur, biar dia saja yang mengurusnya.

Arthur tidak pernah berbicara lagi semenjak mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh. Saat itu, ia sedang berkendara dengan kecepatan penuh mengejar seorang gadis yang ngebut. Naasnya ketika tiba di persimpangan jalan, truk melaju dan menabrak Arthur.

Cowok itu tak lagi melihat figur gadis yang dikejarnya. Ia merasa putus asa dan ingin sekali mati saat itu juga. Kondisinya yang sekarat membuat Arthur tak memiliki harapan hidup. Ia menyerah. Ia terima jika malaikat sudah mau mencabut nyawanya.

ALAVENDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang