"SANGGALA PRAMUJAYAAAA," teriak Anita begitu masuk ke dalam rumah.
" Aduh, Ibu Anita ini suka sekali teriak-teriak."
Anita melihat anak bungsunya sedang asyik di depan tv.
" Abang kamu mana?"
Inggit mengendikkan bahunya.
" Nggak tahu, Buk."
" Emang Abang kamu nggak bilang mau kemana?" Anita meletakkan tas nya di samping inggit.
" Masalah nya aku juga baru pulang dari luar, Buk. Nggak tahu abang kemana. Coba Ibuk hubungi aja nomornya!"
" Iya, biar Ibuk hubungi sebentar." Anita mengambil handphone nya dan menghubungi nomor Sanggala.
" Kok nggak aktif nomor abangmu nggit?"
" Ya mana inggit tahu, Buk!"
" Duh, ini anak kemana sih." Anita sibuk mendumel sembari berjalan ke kamarnya.
***
" Ini kapan waktunya panen, Pak?" Sanggala memperhatikan buah sawit yang sepertinya akan di panen.
" Tiga hari lagi yang bagian kanan ini panen, Pak. Yang sebelah kiri ini kemungkinan dua minggu lagi, Pak."
Sanggala mengangguk. Ia terus berjalan menyusuri kebun sawit.
" Itu para Ibuk-ibuk disana sedang apa, Pak Jon?" tunjuk Sanggala kepada segerombolan ibuk-ibuk yang sedang berjongkok. " Mereka mengambil apa itu?"
" Oh itu. Mereka sedang mengambil tumbuhan jamur, Pak."
Sanggala berhenti. Ia menoleh menatap Pak Jon.
" Tumbuhan jamur? Untuk apa, Pak?"
" Untuk di makan, Pak. Biasanya para warga di sini sering mengambil jamur untuk di konsumsi, Pak. Apalagi sekarang banyak yang tumbuh. Para warga sangat senang sekali. Mereka sebagian ada yang di bawa ke pasar sebagian ada yang cuma untuk di makan sehari-hari."
" Oh, ya? Saya tidak tahu kalau ada hal begituan di sini" Sanggala terkejut mendengarkan penjelasan Pak Jon.
" Iya, Pak. Sejak Almarhum Bapak masih hidup sudah seperti itu, Pak. Bapak yang memberikan izin untuk warga supaya bisa mengambil jamir di sini. Dan ith gratis, Pak."
Sanggala mengangguk. Ia mendekati mereka yang sedang asyik memetik jamur.
" Selamat siang semua!"
Mereka spontan berhenti untuk melihat siapa yang menyapa mereka.
" Selamat siang juga, ada yang bisa kami bantu, Pak?" tanya salah seorang di antara mereka.
Pak Jon maju sedikit.
" Ehemm. Begini Buk-ibuk. Perkenalkan. Beliau Pak Sanggala. Anaknya almarhum Bapak. Yang punya kebun sawit ini."
Mereka serentak terkesiap dan menoleh satu sama lain.
" Oh maaf kami tidak tau. Salam kenal Bapak." Seorang Ibu menunduk hormat.
" Tidak. Tidak papa. Santai saja. Saya hanya menyapa." jawab Sanggala.
Mereka nampak sungkan dan segan bertemu dengan Sanggala. Mereka tidak tahu kalau Almarhum punya anak segagah ini rupanya.
" Sudah banyak dapat jamur nya, Buk?"
" Ah iya. Alhamdulillah ada, Pak. Kami sangat berterima kasih karena diperbolehkan mengambil jamur di sini."
Sanggala mengangguk.
" Oh tidak masalah, Buk. Saya malah senang ternyata di kebun saya ini ada hal yang bermanfaat bagi para warga sekitar. Jangan sungkan-sungkan. Silahkan di ambil saja, Buk."
" Terima kasih sekali lagi, Pak."
" Iya, sama-sama. Kalau saya boleh tahu jamur ini mau di apakan?"
" Kami biasanya masak untuk sayur, Pak. Ada juga yang sebagai cemilan. Tergantung kemauan masing-masing mau diapakan, Pak. Yang jelas untuk di makan."
" Enak?" tanya Sanggala penasaran. Ia rasanya belum pernah makan jamur ini seumur hidup nya atau dia yang lupa. Entahlah.
" Enak sekali loh, Pak. Bapak belum pernah coba?"
Sanggala menggeleng. Wajah penasaran nya tampak sekali.
" Bapak mau? kami dapat banyak, Pak!"
" Boleh. Biar nanti saya minta Ibuk saya masak."
Sanggala memperhatikan bentuk tumbuhan yang katanya enak di makan itu.
" Berapa, Buk?"
Mereka menggeleng. " Tidak usah, Pak. Kami mengambil di kebun Bapak, masa di bayar."
" Loh, nggak Papa, Buk. Ibuk kan susah payah mengambilnya."
" Tidak, Pak. Jangan. Mohon di terima saja, Pak."
" Beneran?"
" Iya, Pak."
" Kalau begitu terima kasih sudah memberi saya ini." Sanggala mengangkat kantong yang berisi jamur tersebut.
" Sama-sama terima kasih, Pak."
Sanggala tertawa. Begitu pun dengan Ibuk-ibuk di sana.
****
"Aaaaaaaaa," teriakan seorang perempuan itu sangat keras.
Sanggala terkejut.
Ciiiiiiiiiiiiitttt
Sanggala mendadak menekan rem mobilnya. Hampir saja ia menabrak orang.
Sanggala keluar dari mobilnya. Ia segera mendekati perempuan yang tak lain Sabia.
" Kucing sialan!!!" Raung Bia. " Aduh, lecet lagi ini siku."
" Kamu baik-baik saja?"
Bia mendongak lalu menatap Sanggala jengah.
" Bapak nggak bisa lihat? Nih, siku saya lecet. Tumit saya juga luka, nih. Sial!"
Sanggala menaikkan alisnya heran.
" Mau saya bantu berdiri?" tawar Sanggala tanpa mengindahkan amarah Bia.
" Tidak usah. Saya bisa sendiri!" tolak Bia kesal. Ia kemudian berdiri.
Aaawww
" Aduh, perih lagi." Bia masih mendumel.
" Mau saya antar ke rumah sakit?"
Bia menggeleng cepat.
" No no." Bia menggerakkan tangan menolak. " Saya hidup saja masih syukur." bisik Bia yang masih bisa di dengar Sanggala.
Bia bangkit lagi dan membersihkan pakaiannya. Bia kemudian pergi tanpa pamit.
Sanggala mengikuti kepergian Bia. Ia menggeleng melihat sikap Bia yang pergi tanpa pamit.
" Dasar anak muda zaman sekarang."
24/05/23
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Th
RomanceSanggala Pramujaya berumur empat puluh tahun. Sudah memasuki usia yang sangat matang untuk berumah tangga dan menikah. Namun malang, tidak ada satu pun perempuan yang mau dinikahinya. Entah apa penyebabnya. Tidak ada yang tahu selain Tuhan dan dir...