Saat ini Anita bersama anak dan menantunya sedang makan malam bersama.
" Ini Bia yang masak?" tanya Anita berbinar dan kagum.
Bia tersenyum manis.
" Iya, Buk. Tadi pulang kantor langsung Bia sempatin masak."
" Enak loh masakan Bia. Ya kan Bang?" Tanya Anita kepada Sanggala.
Bia menatap Sanggala yang mengangguk. Mulutnya sibuk mengunyah. Tampaknya Sanggala lahap sekali makannya.
" Iyalah. Dari cara makan kamu saja Ibuk tahu kalau kamu doyan sama masakan Bia." ucap Anita terdengar menggoda.
Sanggala terbatuk. Bia segera mengangsurkan gelas berisi air minum yang di sambut Sanggala dan langsung minum.
" Hati-hati toh makannya. Jangan terburu-buru begitu. Ini masih banyak. Nggak bakalan habis juga."
Siapa yang terburu-buru, Buk! Kata-kata ibuk itu loh.
Seakan paham dengan raut wajah Sanggala, Bia mengulum senyum sendiri.
" Enak dong kamu, Bang. Sekarang udah dimasakin istri. Tidur di temani, baju di cuci."
Bia menunduk menghindar dari tatapan Sanggala. Tidak ada yang benar dari ucapan Anita barusan.
" Nak Bia, gimana jadi istri nya Abang? Senang?"
Bia mengangkat kepala dan tersenyum lebar.
" Senang banget, Bu. Bia bahagia sekali. Abang baik sama Bia. Abang sayang sekali sama Bia, Buk. Apa yang Bia mau pasti Abang turutin. Abang juga nggak pernah marah sama Bia."
Good job Bia!!!
Anita tersenyum senang mendengar jawaban Bia. Ia bahkan mengangguk beberapa kali.
Sanggala berdehem mendengar jawaban Bia. Pintar sekali perempuan itu berbohong. Begitu pikir Sanggala.
" Bagus. Ibuk juga senang mendengarnya."
Selesai makan malam Anita dan Sanggala bersantai sambil menonton tv. Sedangkan Bia membereskan peralatan makan malam mereka.
Selesai semua, ia baru menyusul suami dan ibu mertua.
" Sini sayang! Duduk di samping Ibuk."
Bia mengangguk dan duduk di samping Anita.
" Kamu nggak jangan rajin-rajin sekali jadi istri. Sesekali kamu suruh aja Abang melakukan pekerjaan rumah. Kan itu tugasnya. Suami istri yang saling bekerja sama."
"Hehe. Iya, Buk."
" Bia sekarang kalau sehari-harinya ngapain aja?"
Bia menatap Sanggala sejenak." Bia kerja di kantor Abang, Buk."
Anita terkejut.
" Iyakah?" Anita berpaling menatap Sanggala.
" Iya, Buk. Saya ijinin Bia kerja di kantor karena kasian juga kalau di rumah seharian nggak ada kerjaan."
" Ah begitu. Nggak papa. Ibuk sih nggak masalah. Itu tergantung kesepakatan kalian berdua sih. Tapi nanti kalau udah punya anak, alangkah baiknya kalau Bia menjadi Ibu rumah tangga seutuhnya. Biar waktu sama anak nggak ada yang ganggu."
Bia mengangguk paham. Padahal dalam hati entahlah. Bia melirik Sanggala lewat sudut matanya.
Ketangkap!
Sanggala juga menatap lekat Bia.
" Udah ada tanda-tanda belum?"
" Ha?"
Bia gelagapan.
" Doakan saja, Buk! Kita masih berusaha."
Anita mendesah pelan.
" Ibuk rasanya nggak sabar mau nimang cucu dari kalian. Seperti apa ya anak kalian nanti. Pasti cantik dan ganteng. Secara Bia saja cantiknya begini. Abang walaupun sudah tua juga kelihatan lah tampannya."
Sanggala memijit kening mendengar ucapan Ibuk." Kalian jangan nunda punya anak ya. Berusaha terus. Apalagi Abang tuh udah empat puluh, loh. Untuk umur segitu sudah tua loh, Bang. Nanti anak kalian masih kecil lah bapaknya udah tua udah beruban, udah kayak kakek-kakek. Nggak mau kan? Emang mau di panggil kakek sama anak sendiri? Teman sebaya Abang anaknya udah tiga udah besar-besar. Udah sekolah. Lah Abang? Duh! Pusing kepala Ibuk. Kalian paham kan apa yang Ibuk katakan barusan?"
Bia mengangguk. Ia paham apa yang di rasakan Anita. Bia menatap Sanggala yang terdiam. Sepertinya perkataan Ibuk barusan menyentil perasaan Sanggala.
***
" Kamu beresin barang kamu sekarang! Pusing kepala saya melihat tumpukan barang begini!"
Bia cemberut.
" Ya Bapak tolongin dong!" rayu Bia memohon.
" Nggak. Saya capek. Pekerjaan saya juga masih ada."
Bia mengerucutkan bibirnya saat melihat Sanggala sudah memangku laptop di atas sofa.
Bia mulai mengeluarkan barangnya dan meletakkan nya sesuai arahan Sanggala.
Saat mau memasukkan baju ke dalam lemari, tangan Bia tak sampai. Ia sudah mencoba namun yang ada bajunya kembali tak rapi.
" Makanya jangan pendek. Nggak sampai kan?" Sanggala mengambil tumpukan kain di tangan Bia. Ia dengan mudah menyusunnya dalam lemari.
" Ini sudah tinggi ya. Untuk ukuran perempuan indonesia 165 itu termasuk tinggi kalau Bapak mau tahu." Bia menjawab kesal.
" Tetap pendek. Cuma sebatas leher saya."
" Bapak saja yang ketinggian."
Bia kembali mengambil tumpukan bajunya dan menyerahkan kepada Sanggala.
" Bapak saja yang susun. Bantuin saya. Ini udah malam loh, Pak. Ngantuk!"
Sanggala terperangah mendengar perkataan dengan nada memerintah barusan. Sanggala mengalah dan membantu Bia agar cepat selesai.
" Kenapa nggak di taruh di sudut itu saja. Kan besok-besok juga pindah lagi ke bawah. Capek atuh bolak balik pindahan begini." Bia menyerocos sendiri lantaran kesel, capek dan pengen tidur.
" Inggit sebentar lagi liburan. Biasanya kalau liburan main kesini. Biasanya kamar di bawah juga di tempati Inggit. Dengan kata lain kamu di sini."
Bia meneleng menatap Sanggala." Sampai kapan?"
" Sampai waktu yang di tetapkan " balas Sanggala acuh. Bia mengernyit tidak mengerti.
Dengan tidak sadar ia memberikan pakaian dalamnya kepada Sanggala.
" Ini--,"
" Apalagi, Pak. Biar cepat selesai."
" Ini tuh taruh nya bukan di sini. Di bagian bawah."
Bia menatap kain yang di pegang Sanggala. Bia melotot horor. Ia langsung merebut kembali dan mendekap erat.
Sanggala dengan susah payah menahan senyum.
" Warna warni."
" Apaan?" Ketus Bia melotot. Sanggala menunjuk dengan dagu ke arah pakaian dalam yang di pegang Bia.
" Besar juga ternyata."
" Bapak mesum." Jerit Bia keras.
Sanggala terkekeh. Menghibur sekali!
Tbc!
24/06/23
Bia bia. Kenapa pakaian dalam sih yang di kasih ke Bapak.
Kenapa nggak isinya aja coba?? Wkwkwk🤣🤣🤣.
Padahal Bapak sudah nggak tahan tuh. 40 tahun pake tangan sendiri lohh.
Ups bahasakuu😁😁😉.
Yok yok vote dan komen lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Th
RomanceSanggala Pramujaya berumur empat puluh tahun. Sudah memasuki usia yang sangat matang untuk berumah tangga dan menikah. Namun malang, tidak ada satu pun perempuan yang mau dinikahinya. Entah apa penyebabnya. Tidak ada yang tahu selain Tuhan dan dir...