5

11.4K 559 0
                                    

" Pakai ini!" Sanggala mengangsurkan paperbag kepada Bia.

Tidak langsung menerima, Bia malah mengernyitkan keningnya hingga menimbulkan kerutan samar.

" Apa ini, Pak?"

" Baju yang akan kamu pakai. Saya akan bawa kamu menghadap orang tua saya. Bukan kah semalam sudah saya ingatkan?" tanya Sanggala balik.

Bia menganga. Ia sungguh lupa. Ia kira yang semalam hanya bualan semata. Ternyata benar adanya. Ia akan bertemu dengan orang tua dari laki-laki di hadapannya ini.

" Kenapa raut wajah kamu seperti terkejut begitu? Jangan bilang kamu lupa."

Tepat sekali! Ia memang lupa.

" Hah? Tidak. Saya masih ingat apa yang Bapak ucapkan semalam." jawab Bia cepat. Ia segera mengambil paperbag dari tangan Sanggala.

Sanggala mengangguk. Bia langsung balik badan ke kamar.

" Tunggu!" Bia kembali berbalik. Sanggala mengangkat tangan da menunjuk Bia.

" Kamu jangan panggil saya Bapak lagi. Saya itu bukan Bapak kamu. Semalam juga sudah saya peringatkan. Jangan bilang kamu juga lupa."

Bia meringis. Ia menggaruk pelipisnya.

" Ii..itu saya tidak tau mau manggil Bapak apa."

Sanggala menghela nafas pelan.
Kemudian duduk di sofa.

" Yang jelas jangan panggil saya Bapak." tegas Sanggala berucap.

" Saya harusnya manggil apa? Abang, akang, Mas, uda, kangmas, beib, cinta, sayang?" tutur Bia mulai kesal.

" Nah, yang terakhir boleh tu?" Sanggala tersenyum kecil.

" Apa? Kangmas?"

" Sayang!"

Bia melotot. Ia tak percaya. Kedengarannya agak gimana gitu. Yang benar saja. Ketemu juga baru kemaren, gimana manggil sayang. Bia agak bergidik memikirkannya. Ia menggeleng keras.

" Saya tidak mau."

" Saya tidak terima bantahan."

" Pak, saya itu masih muda loh, Pak. Umur saya itu jauh banget terpaut nya sama umur Bapak. Lagina ya, Pak. Saya kasih tahu sama Bapak. Panggipan sayang itu dikhususkan untuk orang yang saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi. Lah kita saja baru ketemu kemaren gimana cerita nya sudah panggil sayang segala. Bapak ini jangan aneh-aneh lah, Pak." Bia asyik mencerocos menjelaskan pendapatnya.

Sanggala tertawa kecil melihat bagaimana ekspresi Bia barusan. Cukup menggemaskan dan menghibur.

" Lalu kamu maunya manggil apa? Kalau saya tetap pada pilihan saya!" Sanggala memberikan pilihan.

" Abang." Jawab Bia cepat.

" Abang?" Beo Sanggala.

Bia mengangguk. " Ya. Saya panggil Abang saja. Simple dan nggak ribet."

Sanggala sedikit berpikir kemudian mengangguk.

" Boleh. Kedengarannya enak juga. Saya merasa lebih muda juga."

Bia memutar mata.

" Muda apa. Tua iya." Gumam Bia pelan.

" Ya sudah. Sekarang cepetan kamu ganti pakaian. Saya tunggu di sini. Jangan lupa sedikit beri polesan pada wajah jelek kamu itu." Ejek Sanggala. Bia pun berbalik menghentakkan kakinya pertanda kesal.

Sanggala tertawa kecil sembari menggelengkan kepalanya. Ia sedikit terhibur karena Bia.

***

" Uum, Abang!" Panggil Bia lembut dan pelan. Sontak saja Sanggala tersentak dan sedikit merasa beda ketika mendengar Bia memanggilnya selembut barusan.

" Hhm, ya." Bia sedikit menyerongkan badan menghadap Sanggala. Saat ini mereka sedang berada dalam mobil menuju kediaman orang tua Sanggala.

" Orang tua Abang jutek nggak. Nanti kalau mereka nggak suka aku gimana? Nanti kalau mereka nanya-nanya aku harus jawab apa. A--akuu hemm sedikit gugup." Ucap Bia memelan di akhir kata.

Sanggala menatap wajah Bia yang nampak hidup dan berwarna. Tentu saja penyebabnya make up dan sejenisnya yang menempel pada wajah Bia.

" Kenapa harus gugup? Tadi malam kan kita sudah mendiskusikan masalah ini. Terkait apa yang bakal di tanyakan oleh keluargaku terutama Ibu."

Bia mengerucut kan bibirnya beberapa centi ke depan.

" Ya tetap saja. Yang semalam kita diskusikan cuma yang dasar-dasar saja. Gimana nanti kalau ada pertanyaan yang gimana gitu."

" Ya, pandai-pandai kamu saja lah kalau begitu."

" Ya, nggak bisa gitu juga dong, Bapak!!!" kesal Bia geregetan.

" Kamu kalau manggil saya begitu terus, nanti bisa-bisa kamu keceplosan di hadapan keluarga saya. Kamu akan menimbulkan kecurigaan bagi mereka."

" Aaiishh." Bia tak sadar mendesis. " Iya-iya, Abang. Abang abang abanh abang abang bang."

Sanggala menatap Bia heran.

" Apa? Ini biar mulut saya terbiasa memanggil abang, paham?" Hardik Bia. Sanggala menggeleng kepala.

" Ada-ada saja." Sanggala membiarkan Bia seperti apa yang dilakukannya barusan. Terserah gadis itu sajalah.

Tbc!

03/06/23

40 Th Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang