Bia keluar dari kamar. Ia melihat Sanggala sedang menonton siaran TV. Ah lebih tepatnya TV yang menonton dirinya sedang asyik melihat hp.
Bia melangkah mendekat.
" Eheem." Bia berdehem. Sanggala tidak merespon. Bia memutar bola mata dan langsung duduk di samping Sanggala.
" Pak, saya mau ngomong!" barulah Sanggala mengangkat kepala.
" Mau ngomong apa?"
Bia memperbaiki duduk nya menyerong.
" Saya mau izin kerja, boleh?" Sanggala menaikkan alis. Ia menatap lekat Bia.
" Kenapa?"
" Hah? Kenapa maksudnya, Pak?" bingung Bia.
" Kamu kenapa mau kerja? Kamu butuh uang?"
Bia spontan saja mengangguk cepat.
" Saya kan sudah memberi kamu kartu. Limitnya saja sampai kamu ubanan nanti masih cukup buat biaya hidup kamu." Jelas Sanggala.
Bia meringis mendengar perkataan Sanggala
Dasar orang kaya banyak duit.
" Itu kan bukan punya saya. Kan punya Bapak." beritahu Bia. Memang benar kan!
" Kalau saya kerja dan bisa menghasilkan uang sendiri, saya bisa nyicil bayar hutang sama Bapak. Selain itu, saya juga suntuk kalau mendekam di dalam rumah setiap hari, Pak. Bisa-bisa nanti saya stress!"
Sanggala meletakkan handphone nya di atas meja dan kembali bersandar dengan santai.
" Oke. Saya paham. Tapi kamu yakin bisa melunasi hutang kamu? Kamu tahu kan jumlahnya saja tidak main-main. Berapa tahun pun kamu bekerja, saya rasa kamu tidak akan mampu melunasi hutang tersebut."
Bia mengepalkan tangan dan sakit hati mendengar cemoohan langsung dari Sanggala.
Siapa Sanggala sehingga ia berhak berkata seperti itu. Roda akan selalu berputar. Sekarang ia memang tidak ada uang. Mana tahu nanti ia punya banyak uang dan bisa melunasi hutang tersebut.
Walaupun dalam hati sedikit banyaknya Bia mengakui perkataan Sanggala. Apalagi di zaman yang serba sulit seperti sekarang ini.
" Yang jelas saya mau bekerja, Pak. Saya cuma butuh izin Bapak dan tidak butuh omongan Bapak itu."
Sanggala mengernyitkan alis mendengar jawaban Bia. Lebih tepatnya nada suara Bia yang seperti menahan kesal.
" Kamu marah mendengar ucapan saya?" todong Sanggala tepat.
" Ya." Jawab Bia tak mengelak. Sanggala menyunggingkan senyum kecil. Ia cukup terkesan dengan kejujuran Bia. Kebanyakan orang di luar sana akan mengatakan terbalik dengan apa yang di rasakannya.
" Harusnya kamu tidak perlu marah mendengar perkataan saya. Seharusnya kamu termotivasi dengan ucapan saya barusan. Terkadang kita akan berubah dan terdorong untuk lebih maju menata kesuksesan dan masa depan akibat perkataan orang lain yang terkadang memang menyakitkan walaupun itu fakta atau tidak. Dan perlu kamu tahu saya orangnya memang begini. Dan saya harap kamu terbiasa."
Mendengar penjelasan Sanggala mau tak mau Bia memang mengakui apa yang di katakan suaminya memang benar.
" Kamu mau bekerja dimana?"
Bia menggeleng. " Belum Tahu. Saya masih mencari!"
Sanggala mengangguk seolah paham.
" Sekali lagi saya akan bantu kamu."
" Maksudnya, Pak?" tanya Bia penasaran.
" Kebetulan di kantor saya ada lowongan. Kamu bisa bekerja di sana kalau kamu mau."
Bia menegakkan tubuhnya cepat. Wajahnya tersenyum bahagia dan senang. Bola matanya menatap Sanggala dengan berbinar dan penuh harapan.
" Seriusan, Pak?"
Sanggala mengangguk.
" Wah! Saya mau, Pak." Jawab Bia mengangguk.
" Oke. Kamu bisa berangkat bareng saya besok."
Bia mengangguk-anggukkan kepala.
" Kerjanya apa, Pak?"
" Kamu bisa tanya nanti sama bagian HRD nya. Kerja kamu apa. Saya lagi malas untuk menjelaskan."
Bia cemberut namun hanya sebentar. Raut wajahnya kembali bersinar.
" Terima kasih, Pak! Saya terharu sekali, Bapak mau memberi saya pekerjaan di kantor Bapak."
"Hm,"
Bia masih tersenyum dan membayangkan ia akan mulai berkerja besok. Ia tidak akn suntuk dan mati kebosanan berada dalam apartemen ini seharian.
" Kamu memang bandel sekali ya di bilang. Sudah saya katakan saya ini bukan Bapak kamu masih saja panggil saya Bapak. Berat lidah kamu manggil saya selain panggilan itu?"
Bia menyengir salah tingkah dan menggaruk kening.
" Nggak biasa saya, Pak. Lidah saya suka keselo manggil Abang."
" Alasan kamu. Tidak mau panggilan Abang yang lain juga bisa, Kan. Jangan lupa kita ini suami istri. Walaupun di atas perjanjian. Tetap saja status kamu itu istri dan saya suami!"
Bia kembali mengangguk.
" Butuh proses, Pak!"
" Terserah kamu lah. Capek saya!"
Sanggala menggelengkan kepala. Ia bangkit dan meninggalkan Bia sendiri.
" Mau kemana, Pak?"
" Kamar."
" Ohh. Good night, Pak!" teriak Bia cukup kencang. Sanggala mengangkat tangan tanpa menoleh seraya menaiki tangga.
Tinggallah Bia sendiri.
" Yes. Akhirnya kerja juga." Bia memperagakan tinju ke udara saking senangnya.
***
" Sebelum kita berangkat, saya mau kamu harus tahu sesuatu dulu."
" Apa, Pak?"
" Di kantor saya tidak mau orang-orang kantor pada tahu kalau kita suami istri. Saya akan menganggap atau berpura-pura tidak kenal kamu dan menganggap kamu sama seperti pegawai lain. Dan saya harap kamu pun begitu. Jangan sampai ada yang mengetahui hubungan kita. Sampai di sini kamu paham?"
Bia terdiam kemudian mengangguk tanpa berucap dan menyela. Ia tahu kondisi mereka saat ini. Bia juga menginginkan hal seperti ini sebenarnya.
" Jangan ajak saya bicara di kantor kecuali saya yang mulai duluan. Kamu bersikap seperti pegawai lain. Dan jangan bikin curiga mereka. Saya harap kamu juga tidak keceplosan atau semacamnya."
Bia masih mengangguk.
" Kita akan berangkat bersama. Namun saya akan menurunkan kamu di pertigaan. Kamu keberatan?"
Bia menggeleng cepat. Sudah di tumpangi saja ia sudah bersyukur. Ia tidak akan meminta lebih.
" Bagus. Saya suka melihat kamu nurut begini!"
" Terima kasih, Pak!" ucap Bia menyindir Sanggala barusan.
Tbc!
18/06/23
Nahhh mulaii kerjaa satu kantor nihh. Kira-kira gimana ya mereka nanti.
Sudah siap menunggu episod selanjutnya gaess???
Yuk vote dan komen yang banyak yakkk. Luf yu semuaa😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Th
RomanceSanggala Pramujaya berumur empat puluh tahun. Sudah memasuki usia yang sangat matang untuk berumah tangga dan menikah. Namun malang, tidak ada satu pun perempuan yang mau dinikahinya. Entah apa penyebabnya. Tidak ada yang tahu selain Tuhan dan dir...