Di sini lah Bia berada sekarang. Di apartemen temannya sanggala. Begitu yang di dengarnya percakapan tadi. Sanggala meminjam apartemen temannya untuk menampung atau lebih tepatnya mengurung Bia.
Bia duduk berhadapan dengan Saggala, di pisahkan oleh meja di tengah mereka
Bia sesekali melirik Sanggala yang menatap tajam ke arahnya. Tangan Bia saling bertaut di atas pahanya.
" Mau sampai kapan kamu menunduk seperti itu? Apa leher kamu tidak pegal?" Sanggala memulai pembicaraan mereka.
Bia menggigit bibirnya. Ia sungguh gugup bercampur takut juga. Ia sama sekali tidak mengenal laki-laki di depannya. Mereka baru bertemu dua kali dengan ini.
" Angkat kepala kamu dan tatap lawan bicara kamu!"
Tegas. Begitu yang di tangka Bia dari ungkapan barusan. Bia pun memberanikan diri menatap lawan bicaranya.
Sanggala menatap Bia dengan pandangan meneliti. Dengan perawakan kecil Bia tampak seperti anak SMA. Rambut panjang nya diikat di belakang. Alis yang tampak rapi seperti di sulam namun Sanggala yakin itu asli. Hidung yang mancung semakin menambah kesan pada wajahnya. Ah jangan lupakan bibir kecil merah merona itu semakin mempertegas kecantikan alami pada Bia. Walaupun tidak ada make up yang dipolesi sedikitpun, Bia nampak cantik natural.
Sanggala berdehem kemudian kembali fokus kepad Bia.
" Saya belum tahu nama kamu. Walaupun pertemuan kita sudah dua kali dengan ini."
" Bia. Bapak bisa panggil saya Bia." Jawab Bia pelan.
" Bia? Hanya itu?" Sanggala menelengkan kepalanya.
" Sabiya Martawinata."
" Oke Sabiya. Kita langsung intinya saja. Seperti yang kamu ketahui, saya sudah melunasi semua hutang kamu. Jadi, kamu sekarang yang berhutang kepada saya. Saya mau tahu kapan kamu akan melunasi hutang kamu. Kalau saya minta sekarag saya yakin kamu tidak punya uang." ucap Sanggala terdengar sombong.
" Saya tidak minta Bapak untuk melunasi hutang saya."
Sanggala menaikkan alisnya sebekah mendengar jawaban Bia. Sanggala tersenyum miring.
" Ternyata kamu mempunyai sifat tidak tau terima kasih juga ternyata."
Bia diam ia tidak menjawab.
" Kira-kira jika saya tidak melunasi hutang kamu, apa yang akan mereka lakukan di saat kamu sudah tertangkap seperti tadi."
Bia menatap kesal Sanggala.
" Itu semua karena Bapak ya. Coba saja Bapak tidak menahan saya, pasti saya tidak akan tertangkap oleh mereka."
Sanggala menatap tak percaya ke arah Bia. Berani nya gadis itu menyalahkan dirinya.
" Selain tidak tahu berterima kasih kamu juga berani menyalahkan saya. Seperti nya saya memang salah menolong kamu." Sanggala mengangguk jumawa. Ia menatap lekat Bia.
" Bagaimana jika saya kembalikan saja kamu kepada lintah darat itu. Dengan begitu uang saya akan kembali. Simple kan?"
Bia melotot ngeri.
" Ya tidak bisa begitu dong, Pak!"
" Kenapa tidak bisa? Saya tidak peduli dengan kamu. Itu urusan kamu sama mereka. Bagi saya uang saa kembali."
Bia menggigit bibir nya cemas. Dalam hati ia menyumpahi Sanggala.
" Saya tidak punya uang sekarang untuk bayar hutang kakak saya ke Bapak. Saya saja kabur-kaburan begini karena tidak punya uang kalau Bapak mau tahu."
Sanggala bersedekap lalu bersandar menyamankan punggungnya.
" Jadi, apa solusi yang bisa kamu berikan?"
" Eemm..., i--tu sa--saya akan lakukan apa saja yang Bapak mau." Bia menjawab terbata. Ia sendiri tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. Ia takut Sanggala akan minta yang aneh-aneh.
" Kamu yakin dengan apa yang kamu ucapkan barusan Sabiya?"
Glek
Bia menelan ludah nya. Bia merasa ngeri mendengar namanya di lafalkan oleh Saggala. Terasa berbeda sekaligus menakutkan.
Bia mengangguk gelisah
" Saya mau mendengar langsung dari mulut kamu, Sabiya."
"Saya yakin, Pak."
" Baik, setelah saya mengucapkan apa mau saya. Saya tidak mau ada bantahan da kamu harus menurutinya. Paham?"
Dada Bia bergetar. Perasaan tidak enak langsung menyerangnya. Bia ingin sekali menarik ucapannya namun ia tidak mampu jika harus membayar hutang kakaknya saat ini juga.
" Sabiya?" Bia tersentak dari lamunannya.
" Kamu mendengar dan paham apa yang saya ucapkan barusan?"
" Ha? Oh iya, Pak." Jawab Bia linglung.
Sanggala menatap lekat manik mata Sabiya. Ia tahu kalau perempuan di hadapannya seda gelisah dan cemas. Terlihat dari raut wajahnya. Namun Sanggala tidak punya pilihan lain dan tidak suka membuang waktunya.
" Sabiya, saya mau kamu menjadi istri saya!"
" APAAA??" Bia berteriak lantang . Tubuhnya langsung berdiri tegak. Matanya melotot ngeri menatap Sanggala duduk tenang.
" Maksud Bapak apa? Saya tid salah dengar kan?"
Bia berkacak pinggang. Mukanya merah." Di lihat dari reaksi kamu, saya yakin kamu tidak salah dengar."
Mulut Bia mangap da menutup berulang. Namun tidak ada kata yang keluar.
" Bapak jangan bercanda dong, Pak. Saya saja tida kenal dengan Bapak."
" Mudah. Nanti saya akan perkenalkan diri saya kepada kamu."
Bia menggeleng tak percaya. Ia duduk lagi. Namun tubuhnya terasa tidak bertulang.
" Pak. Saya mohon Bapak minta yang lain saja, Pak! Saya belum siap menikah. Saya masih kecil kalau Bapak mau tahu."
" Memang berapa umut kau sekarang?"
" Dua puluh, Pak." Jawba Bia cepat.
" Mana ktp kamu?" Bia menggigit bibir. Kalau ia berikan ktp nya jelas ia sudah berbohong.
" Mau membohongi saya?" Suara Sanggala terdengar seperti ancaman. Bia dibuat tidak berkutik.
" Jadi, umur kamu berapa?"
" Dua lima." Pasrah. Itulah yang dilakukan Bia.
" Tidak masalah, walaupun umur kita hampir terpaut setengah nya."" Setengah? Bapak lima puluh?" Histeris Bia tak percaya.
" Lebih tepatnya empat puluh." Sanggala tidak malu mengatakan berapa umurnya.
" Kok saya nggak percaya ya?"
Gumam Bia." Memang menurut kamu berapa umur saya?" Sanggala bertanya. Ia penasaran juga. Menurut pandangan orang berapa umurnya
" Hhm, tiga puluh an lah."
Sanggala tersenyum bangga.
" Ternyata saya masih tampak muda dari segi fisik kalau begitu." Senyum bangga pun tak mampu dielakkan.
Bia merotasikan matanya.
" Oke, saya tidak mau ada penolakan. Sekarang, status kamu calon istri saya."
" Bapaaakk!!" Bia hampir saja terdengar merengek. Ia ingin menangis saja rasanya.
Kenapa takdir nya bisa seperti ini. Ia ingin menikah tentu saja. Tetapi, bukan begini caranya.
Tbc!
02/06/23
KAMU SEDANG MEMBACA
40 Th
RomanceSanggala Pramujaya berumur empat puluh tahun. Sudah memasuki usia yang sangat matang untuk berumah tangga dan menikah. Namun malang, tidak ada satu pun perempuan yang mau dinikahinya. Entah apa penyebabnya. Tidak ada yang tahu selain Tuhan dan dir...