🌼09. | Rumah |

52 12 33
                                    

Don't forget to vote, comment and follow

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Don't forget to vote, comment and follow.

Thank you🐝

ılıılıı

“Nangis aja, Mit.”

“Udah. Kelamaan nangis, bikin mata gue sepet, Kam.”

Baik Kama maupun Mitra tak ada lagi yang membuka percakapan. Atmosfer terasa canggung. Sebab, Kama harus menyaksikan pertengkaran sepasang kekasih yang tidak lain dan tidak bukan adalah Ozi dan Mitra. Kama datang disaat yang tidak tepat, tanpa sengaja mendengar semuanya.

Sampai Mitra tiba-tiba saja menarik tangannya, menuju motornya yang di parkir di luar pekarangan rumah Ozi. Dan masih Kama ingat jelas bagaimana ekspresi Ozi dengan kedatangannya yang tiba-tiba, tersirat sesuatu yang tak Kama mengerti apa maksudnya.

Kemudian setelah itu, Kama membawa Mitra dengan motornya tanpa tujuan hingga terdampar di tepi danau, bahkan sempat silih-papas dengan Kayanala—yang Kama tahu sahabat dekat Ozi, kalau ia tak salah ingat—Dan sempat terjadi perang dingin antara Mitra dan Kayanala, mereka sempat saling beradu mulut sebelum Kama yang memisahkannya, membawa Mitra menjauh dari sana.

Hari sudah gelap, namun wisata alam ini masih ramai. Justru banyak tukang dagang yang berjualan banyak jenis makanan. Danau itu tidak tampak menyeramkan, ada banyak penerangan. Namun yang Kama rasakan, adalah hampa dan kekosongan. Terasa gelap, sampai Kama bingung kemana kakinya akan melangkah.

“Lo tau ini dari lama, Kam?” Ujar Mitra di tengah keheningan. Kama menoleh, menatap lawan bicaranya dengan tatapan tanda tanya. “Tau apa?”

“Bokap lo, dan nyokap gue...” Katanya menggantung.

Meski kurang paham, namun Kama tahu kemana arah pembicaraan itu. “Nggak tau. Papa emang gak cuma sekali bilang mau nikah serius, tapi gue gak pernah peduli siapa yang Papa maksud. Karena gue gak pernah merestui,”

“Kenapa gue gak pernah tau kalo lo anaknya Om Danis?”

“Gue juga gak pernah tau, Mit.”

“Jadi sebenernya kita saudara satu Ayah?” Kama diam, tak ada niatan untuk membalas ataupun menjawabnya. Sebab, jika Kama boleh jujur dia tidak siap. Tidak siap untuk menerima kenyataan, tidak siap untuk menerima orang baru yang akan menjadi keluarganya. Semuanya terlalu tiba-tiba, dan Kama sampai kapanpun tak akan pernah siap.

Jika boleh memilih, lebih baik Kama ikut Bunda. Jauh dari kenyataan pahit. Jauh dari tempat menyakitkan ini. Kama ingin hidup bahagia dengan Bunda, hanya berdua. Tanpa rasa sakit.

“Kalo gue bilang, gue gak siap dengan semua ini... Gimana, Kam?” Kama mengangguk. “Kalau begitu, gue pun sama, Mit. Bukan belom siap, tapi gak akan pernah siap.”

7'Rotasi Mimpi ; Alstroe Arts ComunityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang