🌼19. | Kama ; The Real Actor |

50 12 16
                                    

Don't forget to vote, comment and follow

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Don't forget to vote, comment and follow.

Thank you🐝

ılıılıı

“Saya pikir, kamu betulan tidak ingat rumah.” Suara wanita paruh baya sontak membuat Kama jantungan. Ia yang sedang mengemas barang pun kontan menoleh ke arah wanita—yang sebentar lagi akan menjadi Ibu sambungnya, Mama nya Mitra.

Kama diam saja, tak berminat untuk membalas perkataan wanita itu. Biarlah dikata tidak sopan, sedari awal. Kama tidak menyukai wanita itu, entah alasannya. Namun feeling nya berkata, bahwa wanita itu kurang baik, menurutnya.

“Bagus kalo kamu mau pergi. Beban saya sedikit berkurang, jika saya menjadi istri Papa kamu nanti, saya gak perlu repot-repot ngurusin kamu. Kalo perlu, bawa Mitra pergi.”

Kama tersenyum asimetris, sembari menggendong ranselnya, laki-laki itu menatap tidak suka ke arah wanita yang tengah bersedekap dada di ambang pintu.

“Haha, iya Tante. Selamat atas pertunangannya. Ditunggu undangan pernikahannya, InsyaAllah saya gak datang. Oh, iya. Mitra bukan tanggungjawab saya, gak urus lah kalian mau jungkir balik kek, mau morotin si bego Danis kek, atau apalah. Saya, gak, peduli. Sekian, saya pamit undur diri. Do'ain aja yang terbaik, semoga saya gak balik.” Kata Kama santai.

Laki-laki itu berjalan untuk meninggalkan kamar nya yang bernuansa macam Studio Marvel. Sebelum benar-benar pergi, laki-laki itu terlebih dahulu berdiri di hadapan Mama nya Mitra.

“Puas-puasin. Mumpung Bapak saya kaya, porotin yang banyak, hehe.” Kata Kama.

“Dadah Tante, Kama pamit ya. Bye! Semoga gak tekanan batin tinggal sama Danis!” Kata Kama lagi, kemudian ia melenggang pergi seraya berdadah ria ke arah wanita yang sebentar lagi akan mendapatkan gelar ‘Istri ke-3’ Papa nya.

Anak itu berhasil lagi menjalankan perannya.

Di pertengahan tangga, tak ada raut wajah seolah ia baik-baik saja. Netra binar nya meredup, kemudian ia berhenti di anak tangga ke tujuh dari bawah. Menatap sekeliling rumah nya. Rumah yang hangat, sebelum Buna pergi meninggalkan luka hingga trauma pada Kama. Menjadikan laki-laki itu seolah baik-baik saja, meski diperlakukan buruk oleh mantan-mantan istri Papa nya.

Trauma itu, masih membekas. Trauma akan sosok Ibu sambung, tak akan mudah hilang begitu saja. Seperti kejadian di anak tangga ke tujuh, tempat Kama berdiri saat ini. Sepuluh tahun silam.

“Ibu... Kama gak mau... Maafin Kama, Bu. Jangan hukum Kama...”

“Diam kamu! Jadi anak kok nyusahin doang! Bisanya cuma rewel nyariin ibu kamu yang udah mati! Dia udah gak ada! Gak usah dicari!”

“Ibu... Maafin Kama... Kama janji gak nakal lagi...”

Plak!

Itu adalah kali pertama dala hidup Kama yang dimanja, penuh oleh tuntutan. Dia seringkali mendapatkan kekerasan. Baik fisik maupun batin, tanpa sepengetahuan Papa. Jelas, dia—yang mengaku sebagai Ibu sambung Kama—bersandiwara sedemikian rupa, berkata bahwa dia menyayangi Kama, berkata bahwa dia bersedia merawat Kama seperti anak sendiri. Membuat Kama pun, terbiasa berbohong dan bersandiwara. Mengikuti alur cerita yang dibuat-buat oleh mantan istri Papa.

7'Rotasi Mimpi ; Alstroe Arts ComunityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang