05. Dia Sombong

128 42 47
                                    

Kadang kita harus keluar dari zona nyaman buat bertahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kadang kita harus keluar dari zona nyaman buat bertahan.

-o0o-

Siang hari di SMA Cakrawala. Magenta dan Visha duduk di pinggir lapangan basket menunggu pertandingan basket antar kelas. Pertandingan dadakan ini sudah rutin terjadi jika guru rapat. Karena kantor guru lumayan jauh dari lapangan basket, hal itu menguntungkan para murid yang bosan untuk bolos sekolah.

"Sha, lo ada lowongan pekerjaan gitu?" tanya Magenta yang masih larut dalam kejadian tadi malam.

"Ada sih sebenernya, tapi lo gak takut sama kak Laskar? Kayaknya dia serius banget sama ucapannya," jawab Visha.

"Kepikiran sih kepikiran, Sha. Tapi trobos aja deh, kalau gue gak kerja, ntar gue makan pakai apa coba? Gue udah capek banget. Tadi pagi aja gue cuman makan telur mata sapi satu biji soalnya bahan makanan mulai menipis, tadi gue juga bareng lo soalnya gak ada uang lagi buat minta jemput mas-mas ojek," jawab Magenta. Ucapannya itu terdengar sangat menyedihkan.

"Lo mau pinjam uang gue dulu? Gue ada sih sekitar 2 juta," tanya Visha ikut gelisah.

"Gue gak butuh pinjaman, Sha. Gue butuhnya kerja. Percuma kalau pinjam, toh pada akhirnya bakal habis dan gak bisa gue balikin lagi," balas Magenta.

"Iya juga sih." Visha juga bingung, dia tak tahu harus bereaksi seperti apa selain ikut merenung.

"Sha, bagi info loker dong. Sumpah gue butuh!" mohon Magenta. Dia tahu bahwa Visha memiliki info lowongan pekerjaan. Tapi, Visha tak ingin membuatkan Magenta bekerja.

"Gen, lo yakin? Gak capek?" tanya Visha.

"Namanya hidup pasti capek, Sha. Tapi kalau kita nurutin capek, ya gak ada harapan buat hidup. Kadang kita harus keluar dari zona nyaman buat bertahan," tutur Magenta putus asa. Manusia akan selalu lelah, tapi jika kita memanjakan diri untuk terus menghindari rasa lelah itu, maka tak akan ada kesempatan untuk tumbuh.

"Lo mau kerja di toko bunga punya tante gue nggak? Lo bisa kerja part time dari jam 5 sore sampai jam 8 malam. Kalau hari Sabtu libur, hari Minggu bukanya pagi dari jam 7 sampai jam 12 siang. Mau?" tanya Visha.

"Mau banget Sha!" balas Magenta dalam sekejap. Dia sangat bersemangat dan memohon pada Visha. Tidak ada jalan lagi selain bekerja untuk tetap hidup.

"Okey, gue nanya tante dulu ya," ucap Visha.

Tanpa permisi Magenta memeluk bahu Visha, menjadikan bahu kanan Visha sebagai penopang kepala Magenta. 

"Makasih banyak Vishaka."

-o0o-

Untung saja kemarin Laskar memberi uang 50 ribu secara cuma-cuma karena Magenta jauh-jauh mengunjungi kafe tempat Laskar bekerja. Sudah 45 menit lamanya Magenta menunggu di halte bus dengan barang banyak barang bawaan dan berat. Dia membawa gitar, tas bekal, dan tas ransel yang nampak nyata sangat berat. Karena hemat, dia memilih naik bus dari pada menyewa mas-mas ojek. Rambutnya sudah lepek karena panas matahari saat menunggu di halte bus. Bahkan bandana magentanya sudah setengah basah karena keringat. Ini yang dimaksud keluar dari zona nyaman, dengan mencoba hal baru meskipun berisiko. 

Sebelum dia mendapat gaji, Magenta harus prihatin dan menghemat keuangan supaya bis cukup sampai tanggal 2.

Tak berselang lama akhirnya bus datang. Buru-buru Magenta masuk. Tapi di dalam bus keadaannya penuh. Tak ada kursi tersisa, terpaksa dia harus berdiri. Magenta berharap ada orang yang turun, namun ternyata tidak ada.

Akhirnya Magenta berdiri di kursi paling belakang. Sesekali orang-orang membicarakannya karena barang bawaannya yang terkadang menyenggol tubuh orang lain.

"Maaf!"

"Maaf buk!"

"Yaampun maaf ya pak, saya nggak sengaja,"

"Maaf banget ya kak!"

Meskipun berdiri dengan menahan malu, Magenta tetap melakukannya. Bus mulai bergerak, tangannya sangat pegal karena harus membawa barang-barangnya.

Saat supir menginjak pedal rem dengan tiba-tiba, tubuh Magenta terhuyung ke belakang. Beruntungnya seseorang mencekal pergelangan tangannya sehingga Magenta tak sampai mencium lantai bus.

"Makasih," ujar Magenta dengan keringat dingin bercucuran. Hampir saja dia menambah masalah.

Magenta menoleh ke samping, nampak sosok pria mengenakan seragam yang sama dengannya. Dia murid SMA Cakrawala, badgenya menyatakan bahwa dia kelas 11 yang berarti seangkatan dengan Magenta. Perawakannya cukup tinggi sekitar 175 CM. Matanya berwarna hitam pekat, alisnya tebal, tatapannya datar, dan rambutnya bukan tipe terlalu rapi tapi juga tidak acak-acakan. Mata Magenta fokus pada tag nama yang melekat di kemejanya. Dia Xabiru K. Alsaki.

Tanpa bicara, Xabiru berdiri dan sedikit mendorong Magenta untuk mempersilahkan dia duduk. Sebagai seorang lelaki, dia paham bahwa ada yang lebih perlu tempat duduk.

"Loh? Gak apa-apa?" tanya Magenta tak enak.

Tidak ada jawaban. Xabiru hanya fokus menatap depan dan menggenggam pegangan gantung supaya tidak jatuh.

"Beneran gak apa-apa?" tanyanya lagi. Namun, sekali lagi dia tak mendapat respons.

Menyadari itu, Magenta jadi lebih berani. Dia menepuk pelan lengan Xabiru hingga membuat sang pria menunduk untuk menatapnya.

"Xabiru?" panggil Magenta.

"Beneran boleh?" tanya Magenta lagi.

Kini yang didapat adalah anggukan.

"Makasih ya," ucap Magenta.

Lagi-lagi Xabiru mengangguk, lalu kembali fokus pada arah depan.

"Gue Magenta 11 MIPA 3! Salam kenal!" ujar Magenta sambil menggantungkan tangannya tanda mengajak berjabat tangan.

Xabiru tak langsung membalas jabat tangan itu, dia menunduk lagi untuk menoleh pada Magenta.

"Gue Magenta!" ulang Magenta, berharap Xabiru membalas jabatan tangannya. Namun yang didapat adalah sikap tak acuh dari pria itu.

"Sombong banget sih!" gumam Magenta pelan, namun dapat didengar oleh Xabiru dan orang yang duduk di sampingnya.

Magenta menurunkan tangan dengan kesal. Baru kali ini dia menemukan seseorang yang enggan dia ajak berkenalan, baru kali ini juga Magenta tak diacuhkan.

Seandainya Magenta tahu bahwa dia adalah Xabiru. Pria yang belum lama ini menjadi topik utama di SMA Cakrawala. Seandainya juga Magenta paham bahwa ada alasan mengapa Xabiru bersikap tak acuh padanya. Dan seandainya Magenta paham bahwa Xabiru kehilangan kemampuan untuk bersuara. Jika saja Magenta paham, dia tak akan menganggap Xabiru pria sombong, namun Magenta lah yang pantas disebut gadis sombong.

Memang sejatinya, kita tak akan pernah tahu sebuah ungkapan tanpa suara, tapi bukan berarti setiap hal harus diutarakan. Jika diamnya tak membawa petaka, maka lebih baik bungkam saja dari pada harus repot menyobek kertas untuk bicara. Karena Xabiru percaya pepatah tentang diam adalah emas itu nyata.
-
-
-

Haiii, balik lagi sama Orchy!

Vote komennya jangan lupa ya ^^

Alunan Sajak XabiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang