Akan lebih perih ketika kita membunuh perlahan orang yang kita cintai tanpa sadar. Setelahnya, hanya ada penyesalan hingga ingin mati rasanya
-o0o-
Bus kota mengingatkan Magenta pada pertemuannya dengan Biru. Saat itu mereka adalah dua remaja yang tak saling mengenal. Magenta menganggap Biru si pria sombong karena tak merespons ucapan Magenta. Magenta merasa sangat bodoh jika mengingat peristiwa itu.
Dua remaja itu duduk dengan tenang. Bus sedang ramai, tapi semua orang mendapat tempat duduk. Magenta sama sekali tidak tahu ke mana Biru akan membawanya pergi. Dia hanya mengikuti langkah Biru, selayaknya seorang anak mengikuti bapak.
Di bus, tak henti Magenta menatap wajah Biru. Hari ini adalah Minggu, Magenta cukup puas melihat senyumnya. Seseorang yang irit senyum memiliki daya tarik seribu kali lipat ketika tersenyum. Lesung pipi itu tak pernah berhenti membuat Magenta takjub.
"Kenapa harus Minggu, Biru?" tanya Magenta tak lupa ikut tersenyum.
Biru membalas tatapan Magenta sambil tersenyum. Dia menulis pada selembar kertas.
"Karena hanya di hari Minggu aku bisa bahagia," tulis Biru.
Magenta masih bingung, tapi hatinya menghangat karena Biru menjawab pertanyaannya.
"Ternyata capek ya hidup sendirian," ungkap Magenta sambil tersenyum miris. Baru saja kemarin Kakaknya ditangkap polisi, sekarang Magenta sudah merasa hari-hari berikutnya semakin buruk. Lelah sekali berpura-pura tertawa untuk kepuasan orang lain. Magenta selalu menampilkan raut bahagia jika bersama Elisa dan Yudha, padahal senyum itu hanya sebatas bohong. Kenyataannya, dia tak sehebat itu untuk mampu berlapang dada menerima semua bencana ini.
Dalam sekali Biru menatap Magenta. Tatapan itu selayaknya meminta Magenta untuk berhenti berbohong. Biru membawa kepala Magenta untuk bersandar di bahunya. Seperti mengatakan, tak apa jika lelah. Biru menggenggam tangan Magenta, berniat menyalurkan sebuah kekuatan hangat.
Tangan kanannya berusaha menulis sepenggal kalimat, kemudian diberikan pada Magenta. "Tak apa jika bersedih. Aku ada di sini bukan ingin melihat bahagiamu" begitu tulisnya. Biru tak berharap Magenta bangkit di esok hari, karena dia tahu itu tidak mungkin. Biru paham, butuh waktu untuk mengobati yang terluka. Dia juga tak bisa berjanji bahwa akan tiba pelangi selepas hujan, karena kenyataannya pelangi tak selalu terlihat selepas hujan singgah. Biru hanya mampu menyediakan diri untuk menemani tangis Magenta, itu adalah cara terbaik.
Bus kota berhenti, tepat di depan pemakaman umum. Magenta membawa bunga edelweiss hasil rangkaiannya. Sedangkan Biru menggenggam mawar merah. Magenta bingung, untuk apa Biru mengajaknya mengunjungi pusara manusia. Tanpa bertanya, Magenta mengikuti langkah Biru. Pemakaman ini cukup terawat, bahkan setiap gundukan tanahnya tumbuh rumput hijau yang segar.
Langkah Biru terhenti, dia berjongkok pada salah satu makam yang disekat oleh keramik di pinggir-pinggir. Sepertinya, hari ini tak hanya Biru yang datang, karena terdapat taburan bunga yang masih segar. Meskipun terik matahari begitu betah menyinari bumi, Biru tak merasa panas karena terdapat pohon kamboja besar yang menghalangi panas matahari.
Magenta ikut berjongkok. Dia mengamati tulisan di batu nisan. Namanya Kenzi Aprillio. Lahir di Jakarta 16 Februari 1974, meninggal pada 18 Mei 2016.
Biru mengambil alih bunga dari genggaman Magenta dan meletakkan di atas makam.
"Dia ayahmu ya?" tanya Magenta yang langsung mendapat anggukan dari Biru.
Mata Magenta fokus pada makam hadapannya. Tiba-tiba saja Magenta tersenyum.
"Selamat siang, Om. Saya Arshavina Haira Magenta, teman Biru. Om apa kabar? Semoga selalu tenang ya di sana. Terima kasih ya karena sudah membesarkan Biru hingga menjadi sosok malaikat untuk saya. Saya punya banyak sekali penyesalan, salah satunya adalah gagal menjadi seorang anak dan seorang adik. Tapi, dengan penuh kasih, Biru datang membuat hari-hari saya lebih baik," ungkap Magenta pada pusara tempat beristirahat Kenzi.
Biru mengusap pelan punggung Magenta. "Aku mau cerita, Biru," ucap Magenta. Manik legam mereka saling menatap.
"Kalau kisah hidupku ini ditulis sebagai novel, aku yakin ada campuran genre angst. Tentang remaja egois yang selalu menyalahkan orang lain atas sakit yang didapat. Aku menyesal, Biru. Bukan menyesal telah lahir di dunia, tapi menyesal banyak karena menuntut lebih dari sekadar diberi kesempatan hidup. Kakak itu segalanya, tapi sayangnya aku bikin sejuta luka buat Kakak. Aku itu egois, maunya dimengerti tapi gak mau mengerti. Seandainya waktu bisa diputar, aku pengen selalu kasih hal positif untuk Kakak," ucap Magenta dengan derai air mata yang mulai menetes.
"Aku nyesel udah jadi anak egois, yang selalu tutup telinga dan mata padahal Kakak butuh. Seandainya aku peluk Kakak lebih awal, aku gak akan pernah ngerasain penyesalan sehebat ini. Aku gak gunain waktu dengan baik. Aku bodoh Biru, rasanya selalu sesak. Bahkan tidur aja susah. Pikiranku cuma tentang, kapan waktu bisa diulang. Bahkan, aku pengen mati aja biar gak ngerasa sesakit ini." Isak tangis Magenta tak bisa dibendung. Rasanya sakit hingga kadang, dia kesulitan bernapas.
Tak banyak yang bisa Biru lakukan selain memeluk hangat Magenta. Otak Biru juga termenung memikirkan seuntai kata-kata Magenta. Penyesalan selalu datang di akhir, memberi bumbu perih dalam kisah insan. Memang terkadang, manusia itu egois, hanya mau dimengerti tapi enggan mengerti orang lain. Magenta telah menyia-nyiakan cinta hebat yang dibangun Laskar. Melihat punggung Laskar menjauh untuk masuk ke dalam tempat rehabilitasi, membuat Magenta sadar kebodohannya. Tentang sejuta rasa dari Laskar untuk Magenta, gadis itu hanya mampu mengembalikan satu rasa. Sisanya adalah keegoisan Magenta.
"Aku terlambat, Biru. Meskipun suatu hari nanti kakak keluar dengan senyuman, aku tetap menyesal memberikan luka sehebat ini." Tidak ada yang bisa Biru lakukan, dia hanya memeluk Magenta dengan diam, tanpa mengusik atau menghentikan tangisnya.
"Biru, ajak aku pergi jauh. Ayo kita bangun sebuah rumah kecil di sisi lain bumi dan melupakan memori di sini. Tolong ajak aku, Biru. Aku pengecut yang pengen lari dari kenyataan. Gak ada cara lagi selain pergi, atau lebih baik mati," ungkap Magenta. Bicaranya sudah melantur, Biru sendiri dibuat bingung oleh permintaan itu.
Waktu telah berlalu, tangis Magenta mulai mereda. Sinar matahari juga sudah memudar, ditutupi oleh kelabu awan sore. Magenta melepas peluknya, dia mengusap sisa air mata di pipi.
Biru mengambil secarik kertas dari sakunya. Biasanya dia akan meletakkannya di depan nisan, tapi sekarang dia memberikan pada Magenta terlebih dahulu. Magenta mulai membuka kertas itu, lalu membacanya.
Bagaimana kabar ayah hari ini? Ayah selalu tenang 'kan? Kyle selalu berdoa agar Ayah senantiasa bahagia.
Hari ini Kyle tersenyum, hanya untuk ayah, Kyle selalu tersenyum. Tulisan ini selalu sama, Ayah. Tentang Kyle si pengecut. Menjadi Biru itu tidak buruk, tapi tetap saja tidak sekeren Kyle.
Sulit sekali mengembalikan Kyle, seakan-akan Kyle sudah mati. Ayah yang membawa jiwa Kyle pergi, ya? Tulisan Kyle selalu sama, Yah. Kyle tidak diharapkan, tapi Biru juga tak pernah dianggap ada. Kyle itu pantas dihukum dan Biru adalah bentuk hukumannya.
Ayah, maaf karena sudah menjadi luka untuk Bunda. Tapi, Kyle sendiri tak tahu harus menjadi seperti apa pada Bunda. Lagi-lagi Kyle pengecut, Kyle enggan bicara pada Bunda.
Belum rampung Magenta membaca seluruh isi kertas itu, tiba-tiba saja Biru menjauh meninggalkan Magenta karena dering ponsel di sakunya. Magenta pikir Biru hanya pergi sebentar, ternyata tidak sesingkat itu.
Ayah, tolong yakinkan Kyle untuk kembali pada Bunda dengan suara yang telah hancur di hari itu. Bangkitkan kembali jiwa yang menghilang dan semesta yang pernah menjadi penyesalan. Tolong doakan Kyle.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alunan Sajak Xabiru
Fiksi Remaja"Katanya setiap manusia berhak mendapat kesempatan yang sama. Tapi, mengapa aku tidak?" Tulis Biru dalam selembar buku catatannya. ----- Magenta adalah sosok tuan putri yang dianugerahi kebahagiaan sebelum Mama berkhianat pada keluarga. Di umurnya...