Rumah bukan sekadar tempat untuk tidur. Namun, sebuah tempat yang memberikan ketenangan dan kehangatan pada seluruh penghuninya. Sulit sekali menemukan rumah seperti itu
-o0o-
Rumah Biru kini menjadi tempat berteduh untuk sementara. Ajeng juga menyambut Magenta dengan hangat hingga gadis itu merasa nyaman. Hari ini, setelah sekian lama akhirnya Biru dan Ajeng duduk di satu sofa yang sama.
"Biru, tolong pinjamkan Magenta baju ya, kasihan kedinginan," pinta Ajeng. Biru beranjak dari duduknya, lalu pergi ke kamar.
"Tante, maaf ya Magenta merepotkan," sesal Magenta.
"Enggak kok, Nak. Tante malah senang bisa membantu. Kalau boleh tahu, Magenta kenapa?" tanya Ajeng berhati-hati.
Magenta diam sejenak. Memikirkan kejadian tadi membuat hatinya kembali sakit. Sialnya air matanya jatuh tanpa permisi.
"Magenta diusir Mama. Magenta bingung harus apa," ucap Magenta dengan suara bergetar.
Tatapan Ajeng seketika berubah jadi nanar. Dia menarik tangan Magenta untuk digenggam. Sebuah sentuhan hangat seorang yang berpengalaman menjadi Ibu.
"Sekarang Magenta butuh apa selain rumah?" tanya Ajeng.
"Definisi rumah bukan hanya tentang tempat tidur 'kan? Magenta butuh rumah yang bisa buat berbahagia, bercerita, dan sebagai tempat beristirahat. Setiap pulang, Magenta pengen ditanya tentang bagaimana hari ini, Magenta pengen didengar, Magenta pengen dipeluk, Magenta pengen dipastikan selalu aman dan nyaman, Magenta pengen dapat semua itu dari penghuni rumah," jawab Magenta.
Ajeng mengusap puncak kepala Magenta. Dia sendiri tak tahu harus bertutur apa selain sabar, tapi Magenta tak butuh kata sabar.
"Rumah kayak gitu mustahil, ya?" gumam Magenta.
Ajeng tidak menjawab, dia sendiri bingung mau bereaksi seperti apa. Dia tak memiliki alasan untuk menumbuhkan kepercayaan Magenta bahwa rumah seperti itu memang benar adanya, karena Ajeng sendiri juga masih memperjuangkan rumah itu.
"Tante sendiri juga pengen punya rumah seperti itu. Tapi, rasanya sulit. Meskipun sulit, bukan berarti mustahil. Tante percaya rumah itu ada, tapi tidak sekarang," tutur Ajeng. Hal itu membuat Magenta bingung, siapa yang dimaksud Ajeng sebagai rumah yang didambakan? Jika Magenta, tentu Magenta menjawab Mama dan Laskar, tapi nampaknya untuk saat ini itu tidak mungkin.
"Maksud Tante, Biru?" tanya Magenta.
"Kesalahan terbesar Tante adalah merebut semestanya. Dan sekarang, Tante merasa hukum karma," ungkap Ajeng.
Tangis Magenta terhenti, tak ada isak tangis namun masih tersisa perasaan sesak.
Belum rampung percakapan keduanya, Biru berdiri di anak tangga ke dua. Biru membawa baju untuk dikenakan Magenta. Ajeng tersenyum pada Biru sambil mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alunan Sajak Xabiru
Fiksi Remaja"Katanya setiap manusia berhak mendapat kesempatan yang sama. Tapi, mengapa aku tidak?" Tulis Biru dalam selembar buku catatannya. ----- Magenta adalah sosok tuan putri yang dianugerahi kebahagiaan sebelum Mama berkhianat pada keluarga. Di umurnya...