Keluarga adalah rumah, kalimat itu merupakan definisi paling sempurna saat anggota di dalamnya masih ada dan saling mencintai
-o0o-
"Magenta cuman bela teman, Kak! Mereka yang salah!"
"Tapi kamu gak bisa membenarkan tindakan kamu! Citra kamu jadi jelek, Magenta! Kalau si anak itu lapor ke BK terus kamu suruh panggil orang tua, siapa yang datang?! Papa udah meninggal, Mama udah gak peduli kamu, Kakak sibuk!"
"Kak, gak ada ceritanya citra jelek karena membela kebenaran!"
"Ada! Yang kamu lakuin itu salah satu contohnya! Gak usah neko-neko pengen bela orang lain, bela diri kamu sendiri! Lihat apa kamu bisa melawan? Kamu punya apa buat melawan?!"
"Kakak kenapa jadi marah sama Magenta?"
"Kakak khawatir sama kamu, Dek,"
"Kalau kakak khawatir, seharusnya kakak gak bikin Magen tambah sakit. Kalau kakak mau marah, bilang aja marah. Gak perlu mengkambinghitamkan khawatir! Karena marah dan khawatir adalah dua hal yang berbeda!"
Selepas mengatakan itu, Magenta memutuskan panggilan sepihak dan menenggelamkan wajahnya di meja kasir. Magenta tidak menangis saat menerima fitnah dari manusia berhati iblis yang sudah membuatnya seakan-akan menjadi jahat, tapi saat Magenta mendengar nada tinggi dari Laskar karena tak mempercayainya, Magenta menjadi bocah cengeng.
Seseorang mengunggah video pertengkaran Magenta dan menyorot saat Magenta menyiram si gadis dengan pop ice, video itu juga diunggah tanpa suara yang menyebabkan orang awam berspekulasi dengan imajinasi masing-masing dan menganggap Magenta jahat.
"Magenta kenapa, Sayang?" tanya Elisa panik.
"Magenta capek? Atau lagi sakit? Mau istirahat?" imbuhnya sambil mengusap pelan bahu Magenta.
Magenta mengangkat wajahnya. Wajah cantik itu sekarang terlihat frustrasi. Magenta bukan marah karena videonya, tapi dia marah karena cara Laskar membuatnya merasa bersalah.
"Tante, Magenta udah jauh sama Kakak. Sekarang Kakak udah beda banget, dia gak pernah tanyain kabar Magenta, dia gak pernah dengar cerita Magenta, bahkan malam ini dia marah ke Magenta karena fitnah orang orang lain. Kakak lebih percaya orang lain ketimbang Magenta," rengek Magenta pada Elisa.
Mendengar itu Elisa mengusap pelan bulir air mata Magenta. Dia memberi pelukan hangat untuk menyalurkan kekuatan untuk gadis rapuh ini.
"Tante, apa salah seorang adik menjadikan sang kakak sebagai sumber kekuatan? Tapi, kenapa Kakak tiba-tiba gini, Te? Rasanya sakit banget," imbuh Magenta dengan tangis yang semakin kencang.
"Magenta udah pernah ngerasain sakit luar biasa karena poros hidup Mama bukan lagi tentang Magenta. Apa Magenta harus merasakan sakit yang sama untuk kedua kalinya? Tolong Tante, rasanya sesak," rintih Magenta. Dia menegakkan tubuhnya, penasaran dengan jawaban Elisa tentang pertanyaan yang membingungkan. Magenta ingin jawaban, apakah pikirannya salah karena dia menyerahkan seluruh jiwanya pada keluarganya sendiri? Magenta bingung harus bagaimana.
"Magenta nangis dulu gak apa-apa, jangan ditahan. Sini tante peluk," tutur Elisa, dia membawa kembali Magenta dalam pelukannya.
Sudah lama sekali Magenta tidak dipeluk sehangat ini. Pelukan yang bukan sekadar menyatukannya tubuh, tapi juga menyatukan hati untuk memberikan kehangatan. Ternyata sudah lama Magenta menahan dingin akibat sikap keluarganya. Bukankah setiap manusia membutuhkan hangat sebuah keluarga? Namun, bagaimana saat keluarga itu tak lagi utuh? Atau bahkan tak mampu memberi sebuah kehangatan.
Sepuluh menit berlalu, Magenta sudah jauh lebih tenang. Di bawah pelukan Elisa, dia merasa lebih baik dan mampu mengontrol emosinya.
"Tante tutup toko dulu ya," ujar Elisa.
"Ini masih jam setengah delapan," balas Magenta dengan sisa isak tangis.
"Gak apa-apa, Tante lagi pengen tutup cepat," jawab Elisa.
Selepas membalik tulisan open ke close, Elisa mengajak Magenta duduk di samping jendela.
"Magenta, keluarga memang orang-orang terdekat kita. Bisa menjadi yang kita percaya. Bahkan sebuah ikatan yang menjadi cinta pertama kita. Keluarga itu penting, tapi ada hal yang lebih penting dari mencintai keluarga. Yaitu diri sendiri," tutur Elisa. Mata indah itu menatap dalam pada Magenta penuh ketulusan.
"Jangan mencintai keluarga jika kamu belum bisa sepenuhnya mencintai diri sendiri. Karena yang sedang melekat di ragamu adalah jiwamu, bukan jiwa keluargamu. Jadikan cinta diri sendiri sebagai sumber kekuatan hidup, dengan begitu saat bencana datang dan menghancurkan keluargamu, kamu masih tetap hidup," imbuh Elisa. Dia menggenggam tangan Magenta dan sesekali mengusap pelan.
"Magenta, nggak ada salahnya kamu mencintai keluarga, bahkan meski rasa cinta itu lebih besar dari luasnya semesta. Tapi, kamu harus paham bahwa selalu ada pulang ketika sudah datang. Baik atau tidaknya salam perpisahan, semua pasti meninggalkan rasa sakit. Termasuk dalam konsep keluarga. Untuk tetap hidup, jangan hanya terpaku dengan keluarga, tapi kamu harus menjadikan dirimu sendiri sebagai sumber kekuatan. Keluarga adalah segalanya, Tante percaya itu. Tapi keluarga bukan satu-satunya yang bisa disebut segalanya, tapi jiwamu yang menjadi alasan kamu tetap hidup," penuturan Elisa semakin membuat Magenta menangis.
Kembali dengan pelukan hangat Elisa yang diberikan kepada Magenta. Elisa memang tak memiliki anak, tapi dia ikut membesarkan Visha dengan penuh cinta. Elisa tahu bagaimana cara menghadapi Magenta yang rapuh. Elisa juga memiliki ilmu untuk menenangkan Magenta yang terluka. Meski Elisa tak menyembuhkan, tapi Elisa meredakan rasa nyerinya. Sembuh atau tidaknya, itu tergantung bagaimana cara Magenta merawat luka itu.
"Tante, makasih banyak. Magenta beruntung banget bisa kenal Tante," ungkap Magenta sambil menangis.
"Kamu anak hebat. Tante beruntung bisa kenal Magenta. Tentang semua hal yang terjadi hari ini, Tante yakin Magenta tahu apa yang harus Magenta lakukan. Tante percaya Magenta bisa melewati semuanya. Kalau ada masalah, jangan sungkan bilang Tante. Meskipun Tante gak bisa bantu banyak, tapi Tante mau jadi teman cerita Magenta," tutur Elisa. Dia berkata bahwa tak bisa membantu banyak, tapi malam ini Elisa membuktikan bahwa dia mampu menjadi pereda nyeri untuk Magenta yang terluka.
Magenta bisa sedikit tenang, Magenta memiliki kepercayaan diri untuk terus berjalan. Tentang Laskar dan keluarganya, bagaimana mungkin Magenta sanggup menandingi rasa cinta pada keluarganya dengan rasa cintanya terhadap diri sendiri? Karena sejak kecil Magenta tahu bahwa keluarga adalah segalanya. Tapi, benar kata Elisa. Selalu ada datang dan pulang, tak terkecuali keluarga.
Dahulu, Magenta mendefinisikan keluarga sebagai rumah, yang di mana saat kita lelah, jatuh, sakit, selalu ada keluarga untuk pulang. Namun kini, bagaimana bisa Magenta melihat keluarga sebagai rumah padahal seluruh bagiannya sudah hilang.
Keluarga adalah rumah, kalimat itu merupakan definisi paling sempurna saat anggota di dalamnya masih ada dan saling mencintai. Namun, jika anggota di dalamnya sudah hilang dan mereka sama-sama asing, maka keluarga tak pantas disebut rumah.
Magenta ingin mendefinisikan keluarga sebagai rumah. Tapi, apa mungkin Magenta bisa bertahan dengan tiada kehangatan di dalamnya? Bahkan Magenta tak mampu menjamin bahwa anggota di dalamnya masih saling mencintai.
-
-
-Hai! Double update!
Gimana kabarnya? Semoga selalu sehat ya! Jangan lupa vote komen ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Alunan Sajak Xabiru
Genç Kurgu"Katanya setiap manusia berhak mendapat kesempatan yang sama. Tapi, mengapa aku tidak?" Tulis Biru dalam selembar buku catatannya. ----- Magenta adalah sosok tuan putri yang dianugerahi kebahagiaan sebelum Mama berkhianat pada keluarga. Di umurnya...