27. Biru itu Sakit

113 29 25
                                    

Selalu ada masa di mana kita merasa menjadi menusia paling bodoh sedunia

-o0o-

Pagi ini, Magenta dan Biru tidak masuk sekolah. Karena tragedi diusir, Magenta tak memiliki persiapan seperti membawa seragam sekolahnya. Harusnya, Biru masuk karena dia tak memiliki masalah. Tapi, dia lebih memilih menemani Magenta.

Magenta dan Ajeng duduk di meja makan yang sama. Di mana Biru? Dia menunggu Ajeng menyelesaikan makannya sebelum ikut masuk ke meja makan.

Magenta gelisah. Dia tak ikut andil dalam permasalahan keluarga itu, tapi Magenta bisa menyadari sebuah tembok besar tak kasat mata. Hawanya juga sangat dingin menusuk, sepertinya memang terjadi perang dunia. Padahal, Magenta tahu dari mata Ajeng bagaimana seorang ibu itu mencintainya.

"Maaf ya, Magenta. Biru memang tidak bisa makan dengan Tante," ujar Ajeng, dia menyadari raut bingung dari wajah Magenta.

"Kalau boleh tahu, kenapa?" tanya Magenta. Dia tak bisa menahan rasa ingin tahunya yang sewaktu-waktu bisa membuat kepalanya meledak.

Ajeng menghentikan aktivitasnya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi sendu. Jika sudah begini, Magenta menyesal telah bertanya.

"Tante pernah sakit, dan sakit itu juga menyakiti orang sekitar. Termasuk anak Tante. Namanya Xabiru Kyle Alsaki, tapi sekarang hanya tersisa Xabiru Alsaki. Karena Tante membunuh nama tengahnya," tutur Ajeng.

Magenta bingung, apa makna Kyle sampai Ajeng bilang dia telah membunuhnya. Xabiru masih hidup, dia bernapas dengan baik. Tapi, katanya Xabiru Kyle sudah mati. Apakah ada perbedaan antara Biru dengan nama lengkap dan Biru yang tak memiliki nama tengah? Dalam sudut pandang Magenta, itu terlihat sama. 

"Biru itu sakit, bahkan sampai sekarang. Bukan tentang sakit fisik seperti Tante, tapi batinnya. Tante yang menyebabkan rasa sakit itu," ujar Ajeng. Dia memang tersenyum tipis, tapi Magenta tahu bahwa Ajeng menahan tangis.

"Biru sakit apa?" tanya Magenta. Dia sangat haus jawaban. 

"Suara yang tidak bisa kita dengar sampai sekarang. Padahal dulu adalah semestanya," jawab Ajeng. Kepingan puzzle kini mulai diolah di otak Magenta. Dia tidak paham alur jelasnya seperti apa, tapi dia cukup mengetahui bahwa Biru tidak cacat sejak lahir. 

"Bu, yuk kontrol sekarang. Keburu antre," panggil seseorang dari dapur yang kini membantu Ajeng beraktivitas. Ajeng masih tidak bisa berjalan normal, harus dibantu dengan kursi roda dan dorongan mbak Anik. 

"Iya, sebentar Mbak," jawab Ajeng. 

"Biru! Bunda sudah selesai makan! Jangan lupa sarapan dan temani Magenta, ya! Bunda mau berangkat ke rumah sakit dulu!" teriak Ajeng untuk Biru yang masih berada di kamar tamu lantai atas. 

"Jemput Biru ya, Nak. Ajak dia makan bareng, sudah lama dia nggak makan bersama orang lain. Tante berangkat dulu," tutur Ajeng. Dia bersiap ke rumah sakit. Sebelum pergi, Magenta mencium punggung tangan Ajeng. 

"Hati-hati, Tante," ucap Magenta. 

Dia menunggu Ajeng benar-benar pergi, sampai akhirnya Magenta memutuskan naik ke lantai atas untuk menemui Biru. Sebelum masuk, Magenta menguping sebentar. Biasanya jika ada kehidupan akan ada bunyi-bunyian. Bukan tentang percakapan manusia, tapi tentang aktivitas yang menimbulkan suara. Tapi, kamar ini terdengar sepi. Hanya ada suara dari kipas angin. 

"Biru, makan bareng yuk," ajak Magenta.  

Beberapa menit Magenta menunggu, ternyata tidak ada respons. Magenta memilih masuk tanpa mengetuk. Ternyata di dalam sana, Biru masih tertidur di bawah selimut. Tapi, meski terlelap Magenta melihat bola mata dibalik matanya yang terpejam masih bergerak resah. Dia tidur tapi tidak tertidur. Lelapnya hanya menutup mata, bukan beristirahat. Keningnya beberapa kali berkerut karena tidak nyaman. Bahkan Magenta bisa melihat keringat sebiji jagung terus mengalir membasahi bantalnya. 

Alunan Sajak XabiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang