02. Letters about war

754 94 6
                                    

Taeyong lah yang sampai duluan di istana, dia begitu cepat memacu kudanya meninggalkan Mark yang terperangah melihat kemampuan sang kakak dalam menunggangi kuda itu. Walaupun ia sering melihatnya, tetap saja kemampuan sang kakak itu berada di atasnya.

"Mark, ada dimana?" Dia meneriaki adiknya yang baru saja sampai, rasa bercampur menjadi satu-satunya karena penasaean dengan apa yang ada di dalam surat yang dikhususkan untuk dia seorang.

Setelah turun dari kuda, Mark membalas dengan malas karena terlihat kakaknya ini terlalu bersemangat mengenai musuh, "Di ruangan ayah."

"Aahh itu ada di bagian barat istana, kenapa kau letakkan disana?!" Mark berkedip beberapa saat, di tentunya terkejut baru kali ini dia mendengar nada kakaknya seperti itu, seolah jengkel kepadanya. Padahal bukan dia yang meletakkan di ruangan sang ayah kenapa kakaknya itu marah kepadanya.

"Dia kenapa?" Mark bertanya pada dirinya sendiri lalu kembali mengikuti langkah Taeyong.

Lagi-lagi di tinggal, entah kenapa si cantik begitu bersemangat mengetahui isi dari surat yang di kirim oleh musuh. Bahkan pada bagian depan di tuliskan nama Taeyong, dan meminta untuk sang kakak lah yang membaca. Orang-orang menjadi aneh dalam sekejap, termasuk dirinya yang sekarang bingung kemana harus berjalan.

"Sial, aku lupa dimana ruangan Ayah." Ia bergumam, sangat malu jika menanyakan ini kepada para pelayan. Setelah bertahun-tahun berada di perbatasan untuk mengkondisikan hal yang memungkinkan terjadi musuh tiba-tiba menyerang, ia melupakan seluruh seluk beluk istana.

Dengan pengetahuan yang minim, ia berjalan menuju ke arah barat seperti apa yang di katakan sang kakak dimana letak ruangan ayahnya. Melewati jendela-jendela besar yang kini terbuka lebar, matanya tak sengaja menangkap sebuah cahaya berwarna biru menjulang menuju langit.

"Apa itu?" Kebingungan dengan apa yang baru saja di lihatnya, Mark memutar otak cerdasnya memikirkan segala hal untuk menemukan jawabannya.

"Mungkin kah batu memantulkan cahaya akibat sinar bulan? Tetapi sebesar apa batu itu hingga cahaya biru dapat dilihat oleh mata, bahkan bulan tak begitu terang malam ini?" Pemuda itu menoleh ke sekitar, tak ada orang yang berlalu-lalang lalu menatap bulan yang tertutup awan hitam di atas sana.

Saat ia melihat kembali ke arah hutan, cahaya itu menghilang. Mark mengerutkan dahinya dengan bingung, ia berfikir lagi bahwa dirinya saja yang mungkin berhalusinasi akan di lihatnya baru saja. Saat ingin melanjutkan langkah kakinya, Mark di kejutkan oleh sang kakak yang berjalan menghampirinya.

Semakin bingung dirinya melihat raut sang kakak, seperti baru saja melihat hantu. "Ada apa kak?"

Taeyong menyerahkan gulungan surat itu pada Mark, sang adik menerimanya dan membuka lalu membaca setiap kalimat tertulis di sana. Mark menatap sang kakak dengan raut menahan amarahnya terlihat jelas pada urat di lehernya yang menyembul, berbeda dengan Taeyong menjadi linglung seketika.

"Fuck." Mark mengumpat dan meremas kertas itu.

Ia ingin pergi, namun di tahan Taeyong. Kini keduanya beradu kekuatan. Si cantik yang mencengkram lengan adiknya, sedangkan Mark yang mencoba melepaskannya sekuat tenaga tetapi berusaha untuk tidak menyakiti si cantik.

Taeyong berucap begitu lirih, ia menatap sang adik begitu tajam "Mark..."

"Lepaskan aku." Sahut Mark sedikit emosi dengan perlakuan kakaknya.

"Pikirkan terlebih dahulu." Ia mengguncang tubuh adiknya pelan.

"Lepaskan aku, kak!"

"TIDAK!" Suara Taeyong begitu tinggi, membuat Mark semakin ingin memberontak.

EMPIRE • JaeYongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang