11. Plan B Failure

9.1K 619 4
                                        

"Huff, selesai." Alza menepuk tangannya. Ia berdiri di ruang bar yang sama, tapi dengan suasana yang berbeda. Lantai dan tembok banyak bercak darah, ada begitu banyak mayat di ruangan itu, mereka adalah orang-orang Rexer. Dengan senyuman kecil Alza menyingkirkan beberapa mayat yang menghalangi jalan dengan kakinya lalu ia menuju tangga dan turun ke lantai bawah.

"T-tuan Alva, apa anda baik baik saja?" tanya seorang bartender, itu adalah Renji. Ia tampak khawatir melihat banyak bercak darah di baju dan jaket yang dikenakan.

Alza tertawa, ia dipanggil Alva? Sepertinya penyamarannya lebih dari sempurna. Yah, memang ia saudara kembarnya. "BTW, aku Alza bukan Alva, aku hanya menyamar saja, tapi tenanglah, aku tidak akan terbunuh semudah itu. Ya meskipun tadi nyaris mati."

"Eh, begitukah? M-maafkan saya, Tuan, saya tidak bisa memberikan informasi ataupun hal lain yang membantu. Semua jalan komunikasi direntas oleh mereka," jelas Renji dengan penuh penyesalan sembari menunduk dalam.

"No problem, lagi pula semuanya sudah terkendali."

Alza menatap ke arah beberapa orang yang duduk ketakutan. Ia membiarkan mereka hidup karena mereka bukanlah bagian dari Rexer. Mereka hanya orang biasa yang sedang menikmati dunia malam.

"Uruslah mereka dulu, sisanya akan aku bereskan sebisaku. BTW, thanks ya, bagus juga akting pura-pura tidak kenalmu tadi, haha," puji Alza sambil menepuk pundak Renji dengan bangga.

"Maafkan saya dan terima kasih, saya akan mengurus sisanya," ucap Renji lalu mengevakuasi beberapa orang yang tersisa sampai mereka semua keluar dari bar tersebut.

"Oh iya, bocah yang bernama Nao ke mana?"

Renji berpikir sejenak. Ia bukanlah bagian resepsionis tapi sepertinya ia tahu siapa yang dimaksud. "Ada beberapa orang yang naik ke rooftop, 2 di antaranya terlihat dihormati dan dilayani."

"Oke, good information. Hanya tersisa 2 lantai teratas yang belum aku bereskan, seharusnya mereka hanya berjaga di lantai terakhir sebelum rooftop," gumam Alza sambil menatap tangga. Tak lama ia berjalan mendekati tangga itu, raut wajahnya langsung berubah malas ketika melihat banyaknya anak tangga.

"Astaga, kenapa bar ini tidak memasang lift saja."

---

Di rooftop. Nao diam merasakan semilir angin yang menyapu heliana rambutnya hingga menutupi kening. Tangan Sofiee bergerak menyingkirkan rambut itu lalu mengusap pipinya.

"Aku bisa membantumu karena aku adalah bagian dari sindikat pembunuh bayaran. Aku memiliki 1 orang teman, dia bagian khusus operasional. Kami pernah mendapatkan misi untuk membunuh Enigma itu. Tapi kami gagal dan aku langsung memintanya berhenti."

Sofiee diam sejenak. "Kenapa kalian berhenti?"

"Iya, karena misi yang kami terima terlalu janggal, kami hanya diminta membunuh saja. Tak ada informasi lebih lanjut tentang kapan dan di mana operasinya, bahkan tidak ada bala bantuan yang seimbang. Awalnya aku mengira Enigma itu sama seperti Alpha. Tapi setelah aku telusuri dan merentas beberapa data enigma. Aku langsung memintanya berhenti. Golongan berbahaya seperti itu, aku tidak mau harus mengorbankan temanku. Untuk sekarang, aku hanya berusaha menjaganya agar tidak diganggu Enigma itu."

Sofiee diam menatap kearah lain. Tak lama ia kembali tersenyum dan memeluk lengan Nao. "Begitu ya, baiklah, aku mengerti. Aku juga memiliki beberapa orang yang siap untuk melakukan apa pun, mereka juga selalu siap menyerahkan nyawa untuk mencapai tujuan ini."

Nao terkejut mendengar itu. "Um, tidak perlu seperti itu, aku tidak mau mengorbankan siapa pun. Tapi dalam data yang kurentas itu aku membaca ada anti-Enigma yang bisa membunuh tanpa harus mendekati Enigma itu. Aku pikir itu akan lebih membantu. Tapi sayangnya, tidak ada data yang menunjukkan di mana lokasi ataupun cara membuat anti-Enigma itu. Aku merasa kehilangan harapan."

I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang