38. Vol. 2; Useless Pawns

4.8K 299 17
                                        

"Voorh, lihat ini!" Raven tersenyum senang sembari memegang gulungan kertas. Ia masuk ke dalam ruangan di mana Voorh berada, di ruang lab yang penuh dengan alat-alat lab dan juga berkas.

Voorh menoleh. Matanya langsung fokus pada gulungan kertas itu. Tak lama Raven menghampirinya. "Sudah dapat, apa kamu mau mencobanya?"

Voorh diam sejenak. Ia tersenyum kecil lalu hendak mengambil kertas itu, namun tiba-tiba Raven menarik gulungan kertas itu dan tersenyum kecil. Voorh mengerti itu. "Apa yang kamu inginkan?"

Raven tersenyum mendengar itu. "Ah, Anda peka sekali, aku suka itu," pujinya senang. "Aku hanya menginginkan orang tua itu. Jadi jangan ikut campur urusanku dengannya, apa pun yang terjadi. Meskipun aku membakarnya di sarangnya, jangan pernah ikut campur. Paham?"

Voorh diam sejenak. Ia menghela napas pasrah lalu mengangguk pelan. "Baiklah, tapi aku harap kamu tidak terlalu keras padanya, bagaimanapun dia adalah ayahmu."

"Jangan menceramahiku," ketus Raven.

Voorh kembali terdiam. Kali ini ia hanya bisa mengangguk tanda menyerah. "Baiklah, aku tidak akan ikut campur lagi."

Raven kembali tersenyum. "Oke, deal!"

Setelah menerima gulungan kertas itu, Voorh langsung membukanya. Ia diam cukup lama, tak bereaksi sama sekali. Tapi tak lama ia senyum.

Raven ikut tersenyum singkat, lalu ia keluar setelah mengambil kunci mobil di meja dan pergi dari ruangan itu, meninggalkan Voorh bersama isi map yang tertulis sebuah resep pembuatan anti-Enigma.

Voorh kembali menatap tulisan di sana. Tak lama ia meletakkan kertas itu dan melirik pada sisi meja lain. Matanya menatap pada beberapa permen kecil di sana.

Senyumannya terulas saat menatap permen permen kecil itu. Tak lama Voorh mengambil beberapa permen kecil itu lalu memasukkannya ke dalam sakunya. Ia beralih pada meja lain, pada meja di mana ada amunisi anti-Enigma yang sudah terbongkar dan berserakan.

Netra Voorh fokus pada laci meja. Ia membuka laci tersebut lalu mengambil sebungkus kain putih. Ia membukanya dan terlihat ada amunisi lain di sana. Setelah tersenyum singkat, ia memasukkan amunisi terbungkus kain putih itu ke saku.

"Poin terakhir sudah menyelesaikan tugasnya."

---

Malam itu memiliki hawa yang sangat dingin. Langit gelap menjadi penanda bahwa malam sudah sangat larut. Sinar samar bulan menerangi jalan raya yang sepi. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi melalui jalan-jalan sepi sampai mobil itu berhenti mendadak dengan suara decitan rem yang cukup nyaring.

Bekas goresan ban yang cukup panjang terlihat di jalan itu. Pintu mobil itu terbuka, seseorang keluar lalu menutup pintu dengan kasar. Ia adalah Alza. Ia berjalan menjauhi mobilnya lalu berhenti di perbatasan jalan. Ia berjongkok, ia mencengkeram wajahnya sendiri dan terisak. Air matanya terus menetes dari dagunya hingga ia tersengguk.

Alza diam cukup lama. Ia berusaha meredam emosinya hingga ia tenang. Setelah merasa lebih baik, ia menurunkan tangannya. Terlihat ada titikan darah yang turun dari hidungnya. Ia menyeka darah itu perlahan lalu diam menatap tanah di depannya.

Hening cukup lama. Alza terus diam tanpa kata. Ia terus teringat bagaimana Reo menghajarnya hanya karena ia terlambat datang. Ia sadar kata terlambat itu tak bisa disandingkan dengan kata hanya. Namun alasan ia tak membaca pesan itu hingga terlambat karena ia lelah.

Ia lelah menghadapi Ann, ia lelah harus berpura-pura menjadi Alva. Bayang-bayang wajah bahagia Ann saat menatapnya sebagai Alva tentu menjadi rasa sakit tersendiri untuknya. Ia tak bisa terus berperan menjadi Alva. Meski ia tahu Ann akan sadar saat persalinannya, namun itu terlalu lama. Ia tak bisa terus berada dalam perasaan menyiksa itu, sendirian.

I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang