31. Vol. 2; Small Box

5.2K 343 10
                                        

"Bunda," lirih sebuah suara, itu adalah Ann. Pemuda itu duduk di lantai di hadapan sofa di mana sang Bunda sedang duduk. Ia mendekat lalu meletakkan kepalanya di kaki sang Bunda sembari menatap dengan raut polos. "Bunda," panggilnya lagi.

Yang dipanggil tak kunjung menjawab. Sang Bunda terus diam. Matanya memandangi sebingkai foto di tangannya. Pemuda polos yang memanggilnya sedari tadi mulai jenuh, hingga akhirnya ia menarik foto itu dan menutupinya dengan lengan jaket cokelatnya.

Seketika sang Bunda tersadar dari lamunannya. Ia langsung mengusap pipi basahnya. "Eh, ada apa, Sayang?"

Kini Ann yang terdiam. "Bunda menangis?"

"Tidak, Sayang. Bunda hanya ..." Sang Bunda terdiam. Bibirnya terasa tak bisa bersuara ketika menatap wajah polos pemuda itu. Entah kenapa ia justru melihat wajah Alva kecil pada Ann. Ia baru menyadari jika pemuda ini terlihat begitu mirip dengan putranya.

Tak sadar, air mata sang Bunda kembali mengalir, tapi ia segera menghapusnya. Sang Bunda beralih menarik Ann dan memintanya duduk di sofa. Ia mengusap surai dan wajah pemuda itu perlahan.

Mulut sang Bunda terbuka hendak mengucapkan kalimat tidak apa-apa, tapi ia tak bisa menyuarakan kalimat itu. Rasanya saat mengatakan kalimat tidak apa-apa air matanya justru terasa akan tumpah.

Tak lama Ann mendekat. Sang Bunda bingung sesaat, tapi saat Ann meletakkan kepalanya dipangkuannya. Ia langsung tertegun. Sebab apa yang dilakukan Ann ini adalah hal yang sering Alva lakukan dulu. Jelas hal ini membuat air mata sang Bunda tak bisa terbendung lagi.

Terlebih Ann tidur menghadap padanya, lalu menarik tangannya dan memeluk erat dalam posisi meringkuk seperti takut kehilangan. Dalam ingatan sang Bunda, jelas semua ini adalah hal yang sering Alva lakukan saat kecil. Seketika air matanya mengalir lagi. Sang Bunda menutup mulutnya menahan luka kesedihan dan kehilangan. Titikan air itu bahkan turun menetes dan membasahi kening Ann.

"Bunda, Bunda jangan menangis. Adik bayinya ikut menangis jika melihat Bunda menangis. Coba dengar, mereka menangis," lirih Ann sembari menarik tangan sang Bunda ke arah perutnya.

Sang Bunda terdiam mendengar itu. Ia tersenyum hambar saat mengikuti tarikan Ann. Ia menyentuh perut pemuda itu dan merasakan gerakan halus disana. Bayinya menangis? Ya, jelas mereka menangis karena telah kehilangan ayahnya. Air mata sang Bunda kembali menetes.

"Bunda belum berhenti menangis?" tanya Ann lagi.

Sang Bunda memalingkan wajahnya, ia menghapus air matanya dan berusaha menenangkan diri secepat mungkin. Tak lama ia kembali pada Ann dan tersenyum kecil. "Iya Sayang, Bunda tidak akan menangis lagi. Mata Bunda hanya perih saja."

"Begitu ya," gumam Ann. Tak lama, ia bangkit dan duduk lalu mendekati sang Bunda dan memeluk erat. Pelukan itu langsung mendapat balasan. Sang Bunda memeluk lebih erat sembari menyembunyikan wajahnya di bahu pemuda itu. Kali ini ia tak bisa menahan air matanya lagi, bahkan suara tangisnya juga tidak bisa ia sembunyikan.

Dari kejauhan, Xici melihat bagaimana Ibunya sangat berduka atas kematian kakaknya. Tentu ia juga ikut sedih dan tak bisa menahan air matanya lagi.

"Xici," panggil sang Ayah. Xici menoleh dan langsung memeluk sang Ayah, gadis itu diam menangis di pelukan ayahnya. Tak lama ia merasakan usapan lembut di surainya.

"Ayah minta maaf ya, Xici."

Xici diam cukup lama. Ia melepas pelukannya dan menggeleng. "Tidak, Ayah tidak perlu meminta maaf. Xici tahu ini bukan salah Ayah. Xici juga tahu ini bukan salah kak Reo. Xici hanya belum bisa menerima dan terbiasa, tapi Xici yakin Xici akan terbiasa tanpa kak Alva. Xici hanya belum terbiasa, Xici hanya ..." Isakan gadis itu terdengar lagi. Ia langsung menutup wajahnya dan menangis lagi.

I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang