Di vila keluarga, Nao dan Xici sedang duduk di meja makan menemani Ann. Mereka diam menatap pemuda itu asik memakan permennya sambil bermain handphone, namun tak berselang lama permen itu habis. Ann mulai cemberut. "Aku mau lagi," gumamnya. "Nao, ayo kita keluar, aku mau permen lagi."
Nao terkejut. "Eh, aku? Aku, aku tidak bisa, aku juga tidak membawa mobil!"
"Mobil Ayah ada," balas Xici.
Nao kembali tersentak. "Aduh, aku tidak nyaman. Maksudku aku tidak berani membawa Ann. Lagi pula kita harus menjaga Bunda di sini. Nanti saja keluarnya, ya?"
Xici mengangguk pelan, ia langsung paham kenapa Nao menolak. "Iya, lebih baik nanti saja," gumamnya. Tak lama ia beralih pada Ann. "Kakak ipar, mau makan nastar?"
Ann diam tak bereaksi, tapi tak lama ia turun dari kursi dan pergi begitu saja.
Di sisi lain, di ruang tamu. Voorh dan sang Bunda masih duduk di sofa. Voorh mengusap pipi sang Bunda pelan dan tersenyum.
"Sudah, tenang, ya? Aku akan pergi dulu."
Sang Bunda mengangguk, lalu setelahnya Voorh pergi keluar. Sang Bunda diam cukup lama mengusap matanya, tapi tak lama perhatiannya langsung teralihkan pada Ann. Pemuda itu datang menghampiri lalu memeluk lengannya.
"Ada apa, Sayang?"
Ann diam cukup lama, ia menatap sang Bunda dengan wajah lesu. "Bunda, Alva kenapa belum datang? Ann mau jajan."
Sang Bunda diam seketika, rasa sedih yang sempat hilang kini terasa kembali lagi. Ia tak bisa menyembunyikan wajah sendunya. "Ann, Sayang," panggilnya pelan. "Ann tunggu sebentar lagi, ya? Nanti Alza dan Ayah akan pulang."
Hening sejenak. Ann semakin murung. Netranya langsung beralih pada pintu. Ia membuka pintu dan melihat Voorh masih berdiri di depan teras. Tak lama Voorh menoleh, ia tersenyum saat melihat pemuda itu.
Tatapan Ann terus terpaku pada kantong saku Voorh. Voorh sadar hal itu, ia langsung merogoh sakunya dan memperlihatkan isi sakunya. Sebuah benda kecil, yakni cincin hitam bercorak merah milik Alva.
"Mau ikut, Nak? Alva sedang menunggumu."
---
Di ruangan yang dingin. Suasana yang sunyi dan senyap tiba-tiba berubah ketika Raven membuka matanya. Ia tersentak saat tiba-tiba ada sesuatu yang masuk ke mulutnya.
Netranya buram sesaat, ia berusaha mencerna sekitar dan langsung melihat ujung kaliber terarah tepat di kepalanya. Mulutnya di sumpal dan ada hawa dingin yang menempel di lehernya.
Saat sadar berada di ruang labolatorium, Raven tahu bahwa benda-benda itu diacungkan oleh ketiga orang ini. Reo berdiri di atasnya menggenggam kaliber. Alza memasukkan pistol ke mulutnya dan Sofiee mencengkeram pisau. Tatapan ketiga orang itu tampak sangat siap menghancurkan kepalanya. Ia juga sadar kedua tangannya diborgol di brankar medis. Mereka diam cukup lama sampai sebuah suara mengalihkan perhatian.
"Astaga! Apa yang kalian lakukan!"
Sang Ayah mendekat dengan cepat. Ia menarik Sofiee, mendorong kaliber Reo dan mengambil pistol Alza, lalu meminta Reo turun dari atas brankar. Namun Reo masih diam menatap tak suka. Ia terus menatap sinis. "Berjaga-jaga," ketusnya. Ia diam sejenak, tak lama ia menarik kalibernya dan melompat turun dari brankar.
Sang Ayah diam mendengar itu, ia menghela napas pelan lalu beralih pada Raven. "Nak, kamu sudah sadar? Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang sakit? Ayah—"
Raven menepis tangan sang Ayah, yang mana tangan itu tadi terborgol. Sontak, Reo, Sofiee dan Alza hendak mendekat, tapi sang Ayah langsung menahan mereka. "Tolong, jangan, Ayah mohon."
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]
RomanceAnn, seorang pembunuh bayaran yang beralih profesi menjadi barista, tetapi diam diam ia bekerja lagi dengan seorang Enigma berbahaya bernama Alva Edison, kerjasama yang dibangun secara sepihak ini membuatnya harus memutar otak untuk menolak setiap m...
![I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]](https://img.wattpad.com/cover/269864739-64-k685366.jpg)