Satu minggu kemudian, pagi itu di laboratorium yang sama dan dengan suasana yang tenang. Nao duduk di pinggir brankar medis sembari menghadap sang Ayah karena ia sedang menjalani pemeriksaan terakhir.
"Kamu bisa kembali sekarang. Dna jika terjadi sesuatu dengan lukamu segera hubungi nomor ini ya," ucap sang Ayah sembari memberikan sebuah kartu nama yang tertera nomor telepon khusus.
"Iya, terima kasih, Pak ... Edgar," ucap Nao sambil membaca nama yang ada di jas putih milik sang Ayah.
Sang Ayah tertawa kecil. "Panggil ayah saja, itu terdengar lebih nyaman. Sekali lagi maaf telah membuatmu terluka ya, Ayah pastikan kamu akan sembuh dengan cepat."
"Iya, Ayah, tidak apa-apa, lagipula ini salahku juga."
"Sudahlah, Ayah akan mengganti perbanmu."
Setelah mengganti perban menjadi lebih tipis, Nao turun dari kasur. Saat kakinya menyentuh lantai, tangannya langsung dicengkeram oleh Alza. "Pelan-pelan, perbanmu itu tipis. Tipis bukan berarti kamu sudah bisa lari ya, perbannya tipis agar kamu mudah beraktifitas saja."
"Aku sudah mengerti."
"Oh, baguslah. Oke, sudah semua, kan? Aku akan mengantarmu pulang."
"A-apa? Ti-tidak perlu repot-repot, aku akan pulang sendiri."
"Sudah, jangan banyak bicara, ayo. Tenang saja aku tidak akan melakukan apapun padamu di rumahmu sendiri. Aku akan mengantarmu, titik."
Nao langsung diam, ia memilih mengangguk dan menurut ketimbang melawan lagi karena keadaannya sangat tak mendukung untuk melawan. Setelah berterimakasih dan pamit dengan sang Ayah. Akhirnya Nao diantar sampai ke rumah. Lebih tepatnya di apartemen yang tak jauh dari gedung apartemen Ann.
"Terimakasih banyak," ucap Nao saat sudah keluar dari mobil Alza sembari memeluk bajunya yang sobek karena bekas tembakan. Pastinya Nao selalu memakai pakaian khusus ketika dirawat hingga saat ini.
Alza tersenyum kecil. "Oke, besok jika kamu sudah masuk kerja jangan lupa ke ruanganku dulu, ya."
"Kenapa?" tanya Nao curiga. Sekarang ia sedikit enggan dengan Alza jika berkaitan soal pekerjaan kantor, sebab ia sudah tahu posisinya sebagai bawahan.
"Besok kamu akan tahu sendiri. Intinya kamu harus pergi ke ruanganku. Ayah sudah menyerahkan pengawasanmu padaku jadi jika terjadi sesuatu padamu maka aku yang akan dihabisi, paham?"
"O-oh, baiklah, aku mengerti, sekali lagi terima kasih banyak," ucap Nao sembari menunduk singkat. Alza tersenyum kecil, tak lama ia langsung melajukan mobilnya meninggalkan apartemen tersebut.
Di tempat lain, mobil Alva berhenti di depan vila keluarga. Ann turun lebih dulu menunggu pria itu memarkirkan. Hari ini Ann datang ke vila keluarga lagi atas permintaan sang Ayah. Mau tak mau Ann memenuhi permintaan itu sebagai calon keluarga.
Saat mengedarkan pandangan, Ann melihat sang Bunda sedang menyiram tanaman di samping vila. Ann berinisiatif menyapa sang Bunda terlebih dahulu. Baru saja ia melangkah masuk ke teras, sang Bunda sudah menyadari kehadirannya. "Ann, Sayang!"
Sang Bunda langsung meletakkan selang airnya dan berlari ke arah Ann. Melihat seorang Bunda yang sudah berumur lari membuat Ann panik dan ikut mendekat dengan cepat. Saat jarak terkikis, tangan sang Bunda langsung memeluk erat dan ada titikan air mata yang mengalir di wajah wanita itu.
"Ann, Sayang. Bunda kangen. Bunda membuatmu tidak nyaman ya, sampai tidak mau jalan-jalan dengan Bunda? Bunda minta maaf ya, Sayang," ucap sang Bunda sambil terus memeluk dan mengusap surainya lembut.
Ann diam kebingungan, ada apa lagi ini? Ia tidak tahu apa yang sudah terjadi di vila sampai sang Bunda berkata seperti ini. Tak lama Xici muncul dari dalam vila dengan wajah riang. "Eh, kakak Ipar sudah datang! Bunda, ayo ajak kakak ipar masuk, omeletnya sudah siap!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]
Любовные романыAnn, seorang pembunuh bayaran yang beralih profesi menjadi barista, tetapi diam diam ia bekerja lagi dengan seorang Enigma berbahaya bernama Alva Edison, kerjasama yang dibangun secara sepihak ini membuatnya harus memutar otak untuk menolak setiap m...
![I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]](https://img.wattpad.com/cover/269864739-64-k685366.jpg)