40. Vol. 2; Danger

13.3K 396 48
                                        

Dering telepon terdengar di vila keluarga. Lebih tepatnya di dapur, dari telepon milik Xici. Tak lama Xici muncul menghampiri handphone miliknya dan segera mengangkat telepon itu.

"Kak Alza! Kak, Ayah—"

"Ann masih di rumah, kan?"

"Eh, Kakak ipar ... Kakak ipar sedang keluar bersama Kak Nao."

"Keluar? Ke mana?"

"Mau jemput Ayah," jawab Xici. "Tadi kata Pak Voorh, Kak Alza sudah bertemu Ayah. Ayah sudah selamat, jadi pak Voorh pergi mengantar Ann ke sana. Kakak Ipar juga mau beli jajan, jadi kata Pak Voorh sekalian jalan ke sana."

"...." tak ada jawaban.

"Kak? Ayah tidak apa-apa, kan? Kakak ipar sudah sampai di sana?" tanya Xici. Tapi tak ada jawaban dari telepon itu. Tiba-tiba saja telepon itu terputus.

Sementara itu di sisi lain, di ruang laboratorium, handphone milik Alza sudah retak karena sang empunya mencengkram erat handphone itu. Suasana hening seketika saat mereka semua mendengar jawaban Xici.

Pergi bersama dokter? Tak ada orang lain yang memiliki sebutan dokter di lingkungan mereka selain sang Ayah dan juga Voorh.

"Fuck!" umpat Alza mengisi kesunyian ruangan itu.

Sang Ayah yang mendengar percakapan itu langsung terjatuh lemas. Ia menatap tak percaya pada lantai putih di depannya. "Ann ... Ann dalam bahaya, kita harus selamatkan dia. Ayah tidak mau dia terluka!"

"Oh, jadi selain mengepungku, dia sengaja mengumpulkan kalian semua di sini agar dia bisa mengambil anak itu dengan mudah? Hm, licik juga idenya."

Sofiee dan Reo langsung bertatapan. Mereka baru sadar semua orang yang bertugas menjaga ada di laboratorium, dan tak ada satu pun yang tinggal di vila. Mereka semua lengah dan terlalu fokus pada Raven yang ternyata hanyalah pion pengalihan. Mereka semua terkecoh.

"Tunggu," ucap Reo. "Alza, Xici berkata Nao juga ikut, kan? Coba hubungi dia."

Seketika Alza mencari nomor Nao dan menghubunginya. Bunyi telepon masuk terdengar. Tapi setelah sekian lama menunggu, telepon itu tak kunjung masuk dan justru terputus.

"Nao tidak bisa hubungi."

"Mau coba melacaknya?" tanya Raven.

Alza diam sejenak. "Tidak bisa, handphone Nao tidak bisa dilacak. Handphone miliknya berbeda."

"Oh, bagus, kalian sudah buntu sekarang? Mau pasrah dengan keadaan, hm?"

Sontak Reo terpancing emosi. Ia menarik kerah Raven. Tangannya mengepal hendak meninju wajah pria Enigma itu. Tapi tangannya langsung ditahan dengan mudah.

"Tenanglah, apa kamu mau menghabisi satu-satunya petunjuk yang tersisa? Jangan lupa, aku pernah bersama bajingan itu, sepertinya aku tahu ke mana tujuan mereka."

---

Di sisi pusat kota, sebuah mobil berjalan perlahan dan berhenti di depan tempat yang cukup sepi. Pintu itu terbuka menampilkan figur Voorh. Ia keluar dari kursi kemudi lalu menatap sebuah handphone yang terus berbunyi sejak tadi, ada nama Alza di sana.

Telepon itu Voorh jatuhkan begitu saja lalu ia menginjak sampai handphone itu hancur. Tak lama, ia beralih pada pintu mobil di belakang dan membuka pintu itu, sosok Nao langsung jatuh dengan kepalanya yang sudah mengalirkan darah.

Netranya menatap dingin pemuda itu sejenak lalu menyingkirkan tubuh itu dari hadapannya. Ia beralih menatap ke kursi di sampingnya, tepatnya pada figur Ann yang tertidur dengan beberapa sisa bungkus permen di tangannya. Permen yang ia berikan itu benar-benar dimakan oleh pemuda itu. Tanpa ia sadari, ada obat tidur di dalam semua permen-permen itu.

I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang