36. Vol. 2; Unread Message

4.8K 281 11
                                        

Sebuah mobil berhenti di area laboratorium, Reo keluar dan langsung masuk ke dalam sana. Ia melewati lorong dan beberapa pintu ruangan lain, menuju ruang kantor pribadi sang Ayah. Ia membuka pintu itu dan pandangannya langsung mengedar mencari sesuatu.

"Cari apa?"

Reo kaget bukan main. Ia langsung menoleh keasal suara itu, di belakangnya. Rupanya Sofieelah yang ada di sana, gadis itu sudah bersedekap sambil bersandar pada bibir pintu.

"Aku mencarimu."

"Aku? Kenapa?" tanya Sofiee.

Reo diam sejenak. "Tentang ingatanku waktu itu ... Aku ingat aku, Alva dan Ann tidak sendirian di rooftop itu. Ada orang lain, tapi aku tidak yakin itu siapa."

Sofiee diam tak bereaksi, ia menunggu Reo berpikir. Tak lama Reo kembali bersuara. "Sebenarnya saat di ruang perawatan, aku bermimpi Alva mencekikku, tapi aku yakin Alva tidak akan berbuat seperti itu. Aku juga ingat suara Alva berbeda, dan suara itu mirip dengan suara saat aku berada di rooftop. Dan aku rasa orang itu—"

"Yang ribut dengan Ann kemarin, right?"

Reo terkejut. "Darimana kamu tahu?"

"Aku ada di sana kemarin," jawab Sofiee. "Aku sengaja mengikuti orang itu. Sejak awal aku curiga dengannya, lalu kecurigaanku benar. Ann sendiri yang mengonfirmasi orang itu 'jahat' dan langsung mengamuk saat melihatnya. Lalu sekarang kamu juga ingat dengan suara orang itu, jadi sudah bisa di konfirmasi dialah orangnya."

Reo diam sejenak. Ia baru tahu jika Sofiee sudah memiliki kecurigaan. "Sejak kapan kamu mencurigainya?"

"Sejak pertama aku melihatnya."

"Di mana?"

Sofiee tak langsung menjawab, ia berpikir cukup lama. "Di vila keluarga."

"Apa? Dia sudah pernah ke vila?"

Sofiee mengangguk. "Dia sopir dokter Voorh."

"Pak Voorh?" ulang Reo. Kali ini ia terdiam cukup lama. "Jika dia sopirnya pak Voorh, maka cukup wajar dia ada di ruang perawatan," gumamnya, lalu menyentuh kepalanya sendiri. "Atau aku hanya berhalusinasi saja? Tidak mungkin pak Voorh berkaitan dengan ini, kan?"

Reo mulai meragukan asumsinya. Ia merasa itu hanyalah halusinasi karena ia tahu Voorh tak mungkin melakukan hal buruk. Di samping itu Sofiee hanya diam menatap Reo. Ia tahu Reo mulai meragukan asumsinya sendiri.

Suasana menjadi hening. Tak ada yang bersuara sama sekali. Reo diam berpikir, dan Sofiee terus menatapnya. Kian lama Sofiee sadar raut wajah Reo mulai berbeda. Tampak gelisah dan tidak nyaman.

"Ada apa?"

Reo menggeleng pelan. "Tidak, mungkin ini karena teringat mimpi buruk itu. Aku akan baik-baik saja, aku hanya perlu menenangkan diri sebentar."

"Mau minum?"

"Tidak, tidak perlu, aku ke sini hanya membicarakan itu saja. Aku harus cepat kembali ke kantor. Dan oh, tadi Alza juga memintaku untuk membelikannya kopi, kamu mau juga?"

Sofiee menggeleng. "Tidak, tidak perlu. Daripada itu, apa kamu tidak istirahat dahulu? Yakin akan pergi dalam keadaan itu?"

Reo diam sejenak, ia menatap tangannya sendiri yang gemetar samar. Perasaan gemetar ini membuatnya teringat lagi dengan adiknya. Ia tahu betul dulu ia akan bereaksi seperti ini saat terkena feromon adiknya. Tunggu, kenapa ia bereaksi seperti ini? "Apa ruangan itu bocor?" gumamnya.

"Ruangan kedap udara?" tanya Sofiee.

Reo terkejut. "Kamu tahu?"

"Iya, aku tahu. Alza yang memberitahuku. Katanya ruangan itu digunakan untuk menahan penyebaran feromon milik Alva saat masa rut. Aku juga menemukan ruangan semacam itu di vila pribadinya."

I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang