12. Lost Control 🔺

16.9K 834 8
                                        

Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Kafe ramai seperti biasanya setelah libur internasional selama 1 hari, tetapi ada yang berbeda dengan kafe hari ini.

"Ann terlambat ya? Tumben di jam ini belum datang, biasanya justru datang lebih dulu," keluh Via sambil menatap handphone-nya dan menulis pesan pada Ann, tapi semua chat-nya tak ada yang masuk.

"Acara dadakan lagi mungkin," balas Roma sambil mengangkat beberapa gelas untuk dibawa ke belakang.

"Tapi biasanya dia memberi kabar, kan? Ann memang jarang memberitahu dia sedang apa dan kemana, tapi biasanya Ann memberi kabar pada bos kafe, tapi bos kafe juga tidak ada chat apa pun."

Via masih mengotak-atik handphone-nya sambil memasang wajah cemberut. Ia menoleh pada Roma yang ternyata sudah tidak ada di tempat. "Yah, aku berbicara sendiri."

Tak lama, Roma keluar dari ruang belakang. "Coba tanyakan pada Nao, katanya Ann selalu memberikan kabar padanya, kan?"

"Tapi terakhir kali Ann justru tidak memberi kabar pada Nao, kan? Tapi ... Lebih baik dicoba saja, aku juga penasaran kenapa Nao tidak datang ke kafe hari ini."

Via langsung menghubungi nomor Nao. Tapi semuanya hanya masuk dan tak dibuka sama sekali bahkan terakhir dilihatnya juga kemarin. Via menunggu dengan raut cemberut sambil melayani beberapa pelanggan yang datang.

"Kak kitten cappucino-nya 2, ya," ucap seorang remaja.

"Eh, maaf ya, barista yang membuat cappucino spesialnya sedang tidak hadir," balas Via dengan senyuman ramah.

"Yah, begitu ya, besok ada kan, Kak?"

"Saya kurang tahu, baristanya sedang ada urusan. Nanti akan kami kabarin lewat sosmed ya," balas Via lagi, dan remaja itupun pergi. Via langsung menghela napas panjang lalu memeriksa handphone-nya lagi. Chat-nya masih belum terbuka. Ia sedikit bingung karena biasanya Nao akan selalu fast respon ketika dihubungi, terlebih di jam-jam kantor seperti ini.

"Mereka berdua sedang sibuk, ya?"

"Sudah online?" tanya Roma dari belakang.

"Belum ada tanda kehidupan."

Roma tertawa. "Tanda kehidupan? Haha. Mungkin mereka berdua sedang ada kesibukan saja, namanya juga karyawan kantor. Waktu Nao duduk di pojokan, dia juga selalu menatap laptopnya dari pagi sampai malam, kan?"

"Iya, benar juga," gumam Via lalu meletakkan handphone-nya dan melayani pelanggan yang kian berdatangan, hingga hari itu berlalu tanpa Ann dan kabar darinya.

---

Di tempat lain, di sebuah ruangan serba putih yang cukup besar, berbagai alat medis berhamburan di sana. Aroma obat-obatan tercium pekat. Di ruangan itu, beberapa orang berdiri menatap seorang pria yang tengah bersimpuh di hadapan seorang dokter berbaju hijau dengan noda darah yang menghiasi. Dokter itu melepas baju hijaunya lalu mengganti dengan jas putih biasa. Pria yang bersimpuh itu—Reo—menunduk dalam dengan titikan air yang terus mengalir dari matanya.

"Ayah, aku minta maaf."

Sang ayah yang terbalut jas putih itu diam sejenak lalu ikut merendahkan diri dan menepuk pelan pundak putra pertamanya. "Sudah, dia selamat, tidak apa apa."

"Ayah, Xici minta maaf," Dari sisi lain, gadis kecil itu menangis sesegukan sembari memeluk sang ayah.

Ruangan itu hening. Beberapa menoleh pada seorang pemuda yang sedang terbaring di brankar medis. Berbagai alat medis serta kabel kabel kecil menempel di tubuhnya. Alza mendekat dan menyentuh tangan pemuda bernama Nao itu.

I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang