Di ruang yang cukup kecil dan sangat terang. Warna putih menghiasi setiap sudut seluruh ruangan itu. Suasana tenang mendadak berisik karena seorang pria yang tiba-tiba didorong masuk dengan paksa.
Tangan pria itu diikat dengan sebuah borgol. Matanya ditutup menggunakan kain putih, bahkan seluruh pakaian juga berwarna putih. Ia jatuh di lantai dingin. Ia berusaha bangun. Tangannya mengepal kuat menghancurkan borgol dengan mudah. Ia menarik kain yang menutupi matanya.
Ia memekik sesaat ketika matanya bertemu cahaya putih yang sangat menyilaukan. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan ruangan yang sangat terang itu. Ia menoleh ke sana-kemari mencari seseorang yang sudah mendorongnya, namun di sekelilingnya hanya ada dinding putih, dan sebuah kasur putih. Perabotan minimalis yang semuanya berwarna putih.
"Ini ... dimana?"
Ia bangkit perlahan sambil bertumpu pada dinding. Ia bergerak pelan karena tubuhnya terasa lemah, bahkan wajahnya juga pucat. Netra semerah darahnya mengedar kesegala arah mencari sebuah pintu, tapi ia tak menemukannya di mana pun. Seluruh sisi ruangan ini adalah dinding yang seakan-akan mengurung dan tak bisa ditembus.
Ia menelan salivanya kasar. Keringat dingin mulai turun membasahi wajahnya saat sadar di mana ia berada. Ia memukul setiap sisi dinding mencari celah yang mungkin saja itu adalah jalan keluar yang disamarkan. Tapi seluruh dinding ini terasa keras dan padat. Tak ada celah atau ruang tersembunyi. Ia benar-benar terkurung oleh dinding-dinding ini. Terkurung di dalam ruangan yang seluruhnya berwarna putih, ini ... ruangan yang berbahaya.
"Ti-tidak, aku harus keluar. Aku harus keluar! Keluarkan aku! Keluarkan aku! Tolong!"
Teriakannya tak menggema di ruangan itu. Ia sadar itu ruangan kedap suara. Suaranya pasti tak terdengar siapa pun di luar sana, yang artinya ia benar-benar terjebak di tempat ini. Tempat berbahaya yang akan membunuh memori dan jati dirinya perlahan. Tempat penyiksaan yang dikenal dengan nama white torture room.
---
Siang hari menjelang sore, di kantor seperti hari-hari biasa. Nao berjalan ke ruangan CEO sambil membawa beberapa berkas. Ia mengetuk singkat pintu itu dan masuk ke dalam setelah memberitahukan dirinya akan masuk.
"Tuan Ray, saya membawa hasil meeting hari ini. Ini—" Nao terdiam ketika melihat Alza tertidur di atas meja kerjanya. Tumpukan kertas berserakan di meja menjadi fokus utama. Sepertinya ada banyak berkas yang harus ditangani Alza hari ini.
Tanpa menunggu lama, Nao merapikan semua berkas-berkas itu dan menata di sisi meja. Netranya menatap wajah damai yang terlelap lelah itu. Ia paham jika Alza sekarang begitu kelelahan, ini semua pasti karena Ann. Ia juga tahu bahwa sekarang Ann sedang menganggap pria itu sebagai Alva. Ada rasa iba ketika melihat Alza harus menggantikan saudaranya yang sudah tiada. Pastinya ada beban tersendiri yang ia tanggung.
"Dia tidur?" tanya sebuah suara. Nao menoleh dan melihat Reo masuk tanpa mengetuk. Kedatangannya seperti angin yang tak diduga.
"Iya, Apa Ann rewel lagi kemarin?"
Reo mengangguk pelan lalu meletakkan map di sisi meja lain. "Kemarin Ann memukuli orang asing di supermarket."
"Apa?" pekik Nao tak percaya. "Lalu bagaimana?"
"Hanya dipisahkan security."
"Lalu bagaimana orang itu?"
"Tidak apa-apa, bukan orang itu yang terluka, tapi Alza. Dia yang banyak terkena pukulan Ann," jelas Reo sambil melirik Alza. Rupanya orang yang dibicarakan sudah terbangun.
"Apa?!" ketus Alza kesal.
"Alza, tadi kata Reo kamu dipukuli Ann, kamu tidak apa-apa? Kamu terluka?" cemas Nao.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]
RomanceAnn, seorang pembunuh bayaran yang beralih profesi menjadi barista, tetapi diam diam ia bekerja lagi dengan seorang Enigma berbahaya bernama Alva Edison, kerjasama yang dibangun secara sepihak ini membuatnya harus memutar otak untuk menolak setiap m...
![I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]](https://img.wattpad.com/cover/269864739-64-k685366.jpg)