30. Vol. 2; Funeral

5.7K 342 19
                                        

Suara tembakan terdengar. Kegelapan perlahan berubah seiring munculnya cahaya samar. Pemandangan sekitar kian terlihat, namun hanya ada kekosongan dan cahaya remang dari bulan purnama yang mengisi mata.

Mimpi, ini terasa seperti ini. Dingin, sakit, dan rasanya seperti sekarat. Apa ini hanya mimpi? Atau ...

Samar-samar ada suara langkah kaki yang mendekat. Sepasang kaki jenjang kian terlihat dan berhenti tepat di depan. Tak lama kaki jenjang itu berjongkok. Tiba-tiba ada rasa sakit ketika daguku ditarik paksa. Sosok pria bersurai abu dan senyuman kecil yang terlihat mengerikan itu menatapku. Sosok itu ... siapa?

"Romeo Caspian Edison, bagaimana rasanya selalu gagal menyelamatkan orang lain?"

Gagal, apa aku gagal? Aku gagal? Apa yang sudah kulakukan hingga aku gagal lagi? Apa yang sudah terjadi?

"That's funny, right? My 'lil brother."

Adikku? Adikku ... Alva!

Tiba tiba Reo tersentak. Ia terbangun bersama suara hotler yang berbunyi kencang. Napasnya berat, bahunya sakit dan nyeri. Reo mengedarkan pandangannya panik. Hanya ada warna putih di matanya dengan bau obat-obatan yang sangat pekat.

"Reo!"

Suara itu menarik perhatian Reo. Pandangannya buram. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali berusaha memfokuskan pengelihatan. Ada seseorang yang familier mendekat, Alva? Itu Alva!

"Tu-tunggu sebentar, aku akan memanggil dok—"

Seketika tangan Reo menahan lengan Alva. Ia terus menatap wajah adiknya, sampai ia tersadar dengan iris mata gelap di sana. Ini bukan Alva, melainkan Alza. Reo langsung mengedarkan pandangannya lagi, mencari adiknya yang memiliki netra semerah darah itu. Tapi ia tak menemukannya di manapun. Ia hendak turun dari brankar tapi Alza langsung menghentikannya.

"Reo, jangan bergerak dulu, lukamu—"

"Alva di mana? Apa aku gagal menyelamatkannya?"

"Eh?" Alza terdiam, ia menelan salivanya kasar lalu melepaskan cengkeraman tangan Reo dari lengannya. "Al-Alva ... baik-baik saja, dia sedang beristirahat, jadi aku akan panggilkan dokter untukmu dahulu, oke?"

Alza langsung lari. Reo hendak menghentikannya, tapi Alza sudah keluar dari ruangan, menyisakan dirinya sendiri.

---

Pagi itu, di vila keluarga. Hawa yang biasanya cerah, tenang dan tentram kini terasa berbeda. Di ruang tengah, beberapa orang berkumpul. Cukup banyak orang di sana. Sang Ayah, Xici, Nao, Roma bahkan Via juga hadir di sana. Namun berkumpulnya mereka di sana tak membuat suasana menjadi ramai. Justru mereka semua tertunduk. Mereka dia menatap sang Bunda yang terus memeluk bingkai foto.

Sang Ayah duduk di lantai, di depan sang Bunda sambil terus menggenggam erat tangan istrinya. Ia menunduk sesal saat matanya menatap bingkai foto itu, sebab itu adalah foto putranya, Alva.

Empat hari sebelum pelaksanaan eksekusi mati, Alva dinyatakan meninggal karena luka yang cukup parah di kepalanya. Benturan terhadap batu karang itu terlalu parah hingga membuatnya tak bisa bertahan lama. Hari ini adalah hari kematian Alva, namun tanpa ada proses pemakaman.

"Bunda, Ayah minta maaf," lirih sang Ayah untuk yang kesekian kalinya. Ia terus mengusap tangan istrinya lalu memeluk erat. Namun tak lama sang Bunda mendorong dan menarik kemejanya.

"Ayah ... Ayah kenapa berbohong? Kenapa Ayah tidak mengatakan yang sebenarnya pada Bunda? kenapa Ayah tega berbohong tentang anak Bunda sendiri? Alva tidak mungkin seperti ini! Alva itu anak Bunda, Alva itu kuat! Bunda yakin Alva masih ada! Ayah, Alva di mana? Alva di mana? Bunda mau bertemu Alva, Alva di mana?"

I'm not Enigma [TERBIT-edisi revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang