13. Give Up!

28 11 1
                                    

𝒟𝒾𝒻𝓇𝒶𝓀𝓈𝒾

”Nggak kuat Kir....”

Bahu gadis berambut dikepang itu lemas, ia terduduk dilantai. Mengambil boneka boba berwarna kuning sebagai sandaran, menatap sang sahabat yang sedang asik scroll vidio di sebuah aplikasi populer.

"Baru juga tiga hari aelah, masih empat lagi. Mau nggak Kalla bertekuk lutut sama lo. Udah disakitin berkali-kali juga masih sayang aja Dif, inget!Lo itu cantik, pinter, dan manjanya ya ampun,,”

Difra mendongak, tatapan sadisnya keluar saat indra pendengarannya mencium kata manja. Emang cari masalah nih anak satu!Manja dari mananya coba, orang dia itu dewasa dan juga cantik, kalau pintar sih memang jangan di ragukan. Sekali-kali memang harus membanggakan diri sendiri untuk menghilangkan sakit hati!

"Ini beda tahu! Nggak bisa aku itu marah selama ini Kir, kamu juga tahu sendiri kan?Apalagi marah sama papa, sehabis papa nampar kemarin juga aku langsung minta maaf kok. Takut aja dosa karena bentak papa, apalagi ungkit masa lalunya yang pedih itu.”

"Nggak bisa pokoknya!" gadis itu berdiri dari duduknya.

"Assalamualaikum..Aku pamit pulang." nyelonong begitu saja meninggalkan kamar bernuansa putih milik Kirana.

"Pintunya jangan lupa tutup Dif" teriaknya dari dalam kamar, rumahnya ini tak ada ART. Jadi apa-apa harus mandiri. Nggak juga sih karena Ibunya yang akan bersih-bersih nanti. Ibunya itu IRT, dia mengurus rumah sedangkan sang ayah pergi bekerja di sebuah kantor perpajakan. Keluarga sederhana yang katanya Difra iri.

**

”Sekarang jelaskan semuanya..” kata Difra, menatap pria didepannya dengan pandangan sendu. Ingin menangis rasanya, beban dipundaknya terlalu berat. Tapi rasa malu menyelimuti dirinya, naasnya matanya berkhianat, mengembun berniat mengeluarkan isinya.

”Maaf, maaf, dan maaf.”

"Untuk?”

"Lo tahu segalanya, gue butuh lo Dif. Ada rasa yang nggak bisa gue jelasin secara rinci. Hal lain adalah tentang Aqila, gue bingung dengan perasaan ini. Tapi yang pasti dan lebih seorang Kalla butuhkan adalah Difra. Mungkin untuk berteman dengan Aqila masih.” kata pria itu menggenggam tangan Difra semakin erat, gadis itu ingin menarik tangannya dari genggaman Kalla.

"Masih mencintai Aqila Kal kamu?" dimobil tersebut Difra menatap mata tajam Kalla, mencoba mencari celah dan memastikan kalau jawaban yang akan didengarnya adalah sebuah kejujuran dari dalam hati terdalam.

"No, only you and you should be!”

"Yakin untuk ini?”

"Hm.”

Tangan Difra dibawa Kalla mendekat ke arah dadanya, menempelkan disana. Menyuruh agar gadis itu memastikan sendiri tentang perasaan yang kian membuat Kalla bingung sendiri untuk menjabarkan.

"Dag dig dug dag dig dug dug dug dug dig dug dig”

"Bunyi Kall!" gadis itu histeris, entahlah Kalla sendiri terkekeh dibuatnya. Raut wajahnya seolah baru saja memenangkan undian makan seblak gratis selama setahun.

"Nggak bunyi mati lah Dif.” jawabannya berhasil mendapatkan sebuah cubitan kecil di lengan.

"Astaghfirullah. Hih mulutnya nggak boleh nggomong sembarangan Kal, nanti dikabulkan malah repot loh! Minta di apain nih mulut?" Difra menggunakan mata sendunya untuk menatap tajam Kalla yang justru membuat dirinya semakin lucu di mata pria itu.

"Mau di apa ya?" pria itu tampak berpikir keras, dengan jahil Ia menatap Difra.

"Cium boleh?"

"Hah?”

Kalla mendekatkan wajahnya ke kursi tempat Difra duduk, jangan katakan apa-apa dan cukup diam membaca. Jantung Difra beneran mau lari ditempatnya. Lebih cepat dari detak jantung Kalla tadi, apalagi kini wajahnya sudah semerah buah leci. Kalla tersenyum mencondongkan tubuhnya, dengan sekali tarikan membantu Difra mengencangkan sabuk pengaman. Kini malah Difra memejamkan mata, dalam bayangannya Kalla akan menarik pinggangnya dan mengambil first kiss miliknya.

Halu

"Mikir apa Dif?Kenapa pejamin tuh mata, hayo apa yang lo pikirin?" Kalla mendekatkan wajahnya, seketika itu juga Difra mendorong tubuh Kalla hingga tubuh tinggi itu terpentok mobil.

"Kalla itu ganteng dan manis asal nggak berulah, baru sebentar di diemin aja udah kebanyakan tingkahnya. Nggak denger apa sedari tadi Difra itu deng dengan. Tolong ya teruntuk kamu jaga jarak aman. Lawan jenis nggak boleh deket-deket. Hus sana-sana!” Difra mengibaskan tangannya sambil mendorong Kalla agar duduk di kursi kemudi kembali.

"Nggak boleh deket-deket tapi berduaan tuh konsepnya gimana Dif?”

"Ya nggak gimana-gimana!Asal jaga jarak aja gitu.”

"Nurut aja deh sama Difra, soalnya ini nggak baik buat kedua jantung kita. Besok libur kan Kal?Atau kita periksa aja ke rumah sakit, takut kenapa-kenapa. Soalnya detaknya cepet banget padahal nggak lari maraton.” cerocos gadis itu panjang kali lebar mengalahkan rumus matematika dan juga jalur rel kereta.

"Terserah.”

"Ini mau kemana Kal?” tanya Difra saat melihat Kalla kembali memakai seatbelt miliknya. Gadis itu juga heran saat pacarnya membawa mobil. Padahal sangat jarang Kalla memakai besi beroda empat  kalau tidak malam hari. Itupun saat mengajak dirinya keluar malam. Kalau nggak ya pakai motor kesayangan.

”Tumben pakai mobil?Oh iya Kal, kamu kok samperin aku sih?Mesti rindu ya?Untung tadi aku bertahan dan nggak nyamperin kamu duluan. Tau nggak kalau aku tersiksa banget harus pura-pura nggak kenal sama kamu. Tiga hari yang menyusahkan dan nggak bakal aku ulangi sih!” katanya menggebu-gebu mencurahkan isi hatinya. Sepertinya ia akan memberikan hadiah untuk sahabatnya itu, karena berhasil membuat Kalla mengungkapkan perasaan.

Makasih banyak Kir!

"Motor Gue rusak, mungkin akan lama di bengkel karena bodynya udah nggak bisa di kenalin” jawab Kalla, Ia kembali mengingat dua hari lalu. Dimana dengan mata kepalanya melihat Difra masuk ke dalam kelas mengunakan masker pink. Dia tahu alasan dan penyebabnya. Mau marah pun bingung ke siapa. Malam itu dengan keberanian ia meminta nomor asisten sang Ayah.

Menyuruhnya untuk mencari tahu pria bernama Ilsyas Bumiputera. Papa Difra, malam itu dengan segala tekad ia mengunjungi perusahaan besar di ibukota. Setara dengan perusahaan ayahnya, hanya saja perusahaan ayahnya lebih berkembang dan sukses di luar negeri dibandingkan di negeri sendiri.

"Kamu anak Bara?"

"Benar Om, saya ingin membahas sesuatu yang serius dan juga pribadi. Tentang Difra, agaknya Om sangat keterlaluan dengan anak gadis om satu-satunya. Main kekerasan bukan sifat laki-laki sejati.” pria paruh baya itu tersenyum kecil.

"Lantas apa maumu?”

”Jangan sekali-kali main tangan dengan Difra, nasehati dengan kata-kata. Jangan biarkan emosi mengendalikan Om. Maaf, saya tidak bermaksud mengungkit luka lama. Tapi tentang Mama Difra yang meninggalkan kalian bukan salah anak anda, ini murni kesalahan beliau. Saya sebagai anak bau kencur seperti ini sebenarnya tak pantas menasehati. Tapi kelakuan anda salah sebagai seorang ayah, kekerasan adalah hal yang tidak bisa di toleran. Apalagi kepada wanita” ini adalah sosok Kalla sebenarnya, bijak dalam segala aspek. Kalau lagi sadar:)

Dia itu memang masih seorang remaja, namun jika soal menghasilkan uang sendiri Kalla bisa. Apalagi menghormati orang yang lebih tua darinya. Walau uang tersebut ia kumpulkan dari sang Ayah juga. Asal orang yang dihormati pantas dan layak di beri rasa hormat.

"Difra harus tau tentang ayahnya Om dan saran saya jangan biarkan penyakit mengendalikan diri anda.”

"Saya pamit”

"Namun Om, tanpa mengurangi rasa hormat saya. Saya minta maaf untuk ini—”

Plak.

***

....
...
.

DIFRAKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang