𝒟𝒾𝒻𝓇𝒶𝓀𝓈𝒾
Gadis itu mematung, menatap sang Papa yang kini terbaring lemah di atas ranjang disertai oleh alat-alat yang menempel diwajahnya. Di sekeliling sudah ada Bumi yang mendampingi, jangan lupakan dokter pribadi keluarga mereka. Dokter Farhan, selaku dokter pribadi papanya.
"Kak Bumi, penjelasan apa yang mau kakak katakan sekarang? Papa kenapa? Setahu Difra dia baik-baik aja, bahkan kakak bilang kalau papa sedang di luar negeri karena menjalankan bisnisnya. Lalu apa ini kak?" dengan susah payah ia mengatur nafasnya, selama di perjalanan tadi berbagai pikiran buruk memenuhi otak dan berhasil membuat jantungnya berdetak cukup kencang.
"Penjelasannya nanti ya dek, papa mau bicara sama kamu tuh. Gih deketin papa" kata Bumi lembut walau kini dilubuk hatinya banyak ketakutan, dia menatap dokter Farhan agar keluar bersamanya.
"Di-fra.." lirih sekali suara yang lama tak di dengar Difra. Bahkan kini wajah sang papa sudah begitu kurus, sebegitu buruknya Ia sebagai seorang anak hingga tidak mengetahui kondisi dari orangtuanya sendiri.
Air mata Difra menetes bersamaan dengan sang papa yang tersenyum, begitu tampan. Andai saja senyum itu diberikan jauh-jauh hari, mungkin hubungan antara ayah dan anak tersebut tidak sedingin hari ini.
"Papa baik?" katakanlah ini hanya untuk basa-basi saja, Difra terlalu bingung untuk mencari topik. Yang jelas saat ini, dirinya ingin menangis. Dadanya begitu sesak, sosok yang Ia kenal sebagai sosok keras kini terbaring tak berdaya. Jika seperti ini Difra rela di pukul hingga babak belur daripada melihat titik lemah orang yang menjadi cinta pertamanya. Laki-laki tangguh yang membesarkan kedua anak-anaknya dengan begitu baik seorang diri.
"Putri papa cantik sekali,sini Dif duduk di samping papa" suara yang begitu lirih serta ucapannya tidak terlalu jelas membuat pertahanan Difra runtuh.
"Anak gadis papa nggak boleh nangis,nggak boleh cengeng. Difra kuat kok ya. Sebentar lagi penilaian akhir semester kan, belajar yang rajin ya sayang. Inget, perempuan juga harus bisa berkarir dan jangan hanya mengandalkan laki-laki saja. Itu pesan papa yang harus kamu tanamkan, maafkan papa Dif, wajah ini banyak papa torehkan luka. Maaf jika papa terlalu keras dalam mendidik kalian. Satu pesen papa, Difra harus bisa bangun dan lawan segala sakit yang ada. Nanti Difra akan selalu bersama Kak Bumi.Kalau kak Bumi nakal, nakalin balik!" Difra menghapus air mata yang mengalir di wajah papanya. Bersamaan dengan air mata yang bercucuran di wajah teduhnya.
Difra tak bisa membayangkan jika tak ada sang papa di hidupnya, pria paruh baya itu baik. Laki-laki terbaik yang pernah Difra kenal, walau tempramentalnya cukup tinggi. Ilyas Bumiputera hanya menginginkan hal terbaik untuk kedua anaknya. Di tinggal istri disaat masa terpuruk membawa pukulan menyedihkan di hidupnya. Wanita yang merupakan Mama Difra meninggalkan kedua anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang hanya karena enggan hidup susah.
Dan mulai saat itu sifat sang Papa mulai berubah, pria itu menjadi laki-laki yang tak akan percaya dengan wanita. Oleh sebab itu Ilyas tak pernah menikah lagi setelah di tinggal sang istri pergi. Kesalahannya adalah selalu mengingat akan masa lalu, yang malah membuat dirinya terjebak di dalam labirin setan.
"Difra harus semangat! Boleh peluk papa sayang, papa rindu pelukan Difra" lanjutnya lembut, suara yang di keluarkanpun semakin lemah.
"Tentu saja pa..Lantas bagaimana jika interaksi antara anak itu hanya sampai di situ saja. Difra menyesal karena tidak bersama dengan papanya lebih lama lagi. Difra menyesal tak mengetahui penyakit sang papa. Banyak penyesalan yang gadis itu punya.
"PAPA!KAK BUMI.. DOKTER FARHAN!" teriaknya begitu keras seperti orang kesetanan.
"Bumi, saya sudah semaksimal mungkin." dokter Farhan menatap Bumi dengan tatapan bersalah dan tanpa sadar pria yang tak pernah menangis itu meneteskan air matanya.
Dokter dan perawat melepaskan alat-alat yang menempel di tubuh seorang ayah yang berhasil mendidik anaknya seorang diri. Ayah yang melawan penyakitnya, Ilyas Bumiputera mempunyai penyakit mental, dia gampang emosi terhadap sesuatu. Awalnya di anggap bisa, lalu ternyata dia juga memiliki riwayat penyakit mematikan.
"Bumi jaga Difra.." dokter Farhan menatap gadis yang selalu tersenyum sedari kecil saat Ia rawat.
"Dek,,, dek. Hayy!!" Bumi menepuk pundak sang adik dengan keras, Difra merasa semuanya sudah hancur. Dadanya terasa sesak dan nafasnya semakin mengecil. Hingga dirinya luruh di lantai begitu saja. Menyisakan lara yang begitu luar biasa, Bumi Bhatara menatap kedua orang tersayangnya.
***
Malam harinya suasana di tempat camp tersebut begitu ramai. Banyak anak-anak yang membuat api unggun, lain halnya dengan Kalla. Pria itu sibuk mencari-cari Difra yang tak kunjung ditemukan. Tadi Ia disibukkan oleh guru khusus kesiswaan agar meramaikan malam ini dengan bermain gitar bersama anak musik lainnya. Jangan salah,senakal-nakalnya Kalla. Pria tersebut pandai bermain musik, ekstra yang Ia geluti juga musik dan futsal serta renang. Petikan gitar dan suaranya mampu menghipnotis siapa saja yang mendengar, termasuk Difra sendiri pastinya.
Pria itu melihat sekeliling,mencari keberadaan gadis yang dia cari-cari sedari tadi. Namun nihil, bahkan batang hidung Difra tak di temukan disana.
"Kall!" teman selaku anak musik menepuk pundak Kalla dikarenakan pria itu melamun.
"Jangan ngelamun di sini deh, tempatnya nyeremin! Tau-tau Lo kesurupan kan pada takut semuanya" ujar pria itu kembali mengembalikan Kalla ke fokusnya.
"Gue main satu lagu aja, habis itu di lanjut Shaka" kata Kalla membuat Shaka menatap kearahnya.
"Mau kemana emang Lo?" tanyanya, pasalnya hari ini dia sungguh malas untuk bernyanyi. Mager!
"Ada urusan bentar, gue satu lagu aja nanti gantian ya Sha. Ngomong- ngomong acara malam ini sampai jam berapa sih?" tanya Kalla, kini mereka tengah menatap alat musik yang akan di gunakan untuk memeriahkan malam ini.
"Nggak pasti juga, Pak Suprapto juga nggak bilang.Tapi nanti katanya batasnya jam 00.00 deh" jawab Rey, dia juga anak musik. Ray itu banyak mengikuti ekstra ,Ia juga ikut OSIS. Semua kegiatan pasti ada dia sebagai panitianya.
"Eh Bu Tyas! Ini bukannya wali muridnya Difra, kelas IPA 1. Itu loh yang pengusaha properti, kok di sini ada kabar kalau beliau wafat." ujar Pak Suprapto, dia mengeluti profesi sebagai guru juga seorang pengusaha yang lumayan berjaya. Ya walau tak setenar Ilyas Bumiputera selaku penguasa properti kancah internasional. Jangan lupakan juga Bumi Bhatara, pengusaha muda batu bara yang kini sedang mengepakkan sayapnya.
"Hoax kali tuh berita." jawab Bu Tyas"Kan tadi Difra ikut kesini, orang anak itu sempet ngobrol sama aku kok Pak.Masih ceria juga anaknya" Bu Tyas menjelaskan, dia itu guru seni kesayangan Difra.
Bu Asyara berjalan cepat lalu berbisik pelan"Pak Ilyas, ayah Difra meninggal. Nanti minta tolong sebelum acara di mulai kita doa terlebih dahulu ya Pak,ajak anak-anak sekalian." tutur perempuan itu pelan.
"Inalillahi wa inalillahi rujiun..."
Samar Kalla mendengar tiga guru yang tengah mengobrol tadi menyebut nama Difra, hingga hatinya berdenyut nyeri saat terdengar kata inalillahi.
"Ada apa dengan Difra Pak? Dia dimana sekarang?dari tadi saya nggak melihatnya" ucap Kalla membuat Bu Asyara menjawab.
"Difra pulang Kall, tadi kakaknya hubungi saya kalau keadaan ayahnya sedang nggak baik. Sore tadi Ia di jemput oleh supir suruhan kakaknya dan sekarang saya dapat kabar kalau ayahnya Difra meninggal"
Kalla mematung di tempat, Om Ilyas meninggal. Lantas bagaimana kini keadaan gadis itu. Secepat kilat Kalla berlari ke arah tenda Vano. Meminjam kunci motor guna kembali ke Jakarta. Ia tak akan menggunakan mobil karena keterbatasan waktu yang lama.
***
Hmm .
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFRAKSI
Teen Fiction"Kalla, bisa berhenti memainkan perasaan Difra?" ~• Difra Sandyakala. Gadis periang, cerewet, dan juga manja. Di balik kehidupannya, ia menyimpan banyak luka. Bimantara Askalla, orang yang ia anggap sebagai pelitanya, justru meredup. Ada hati yang r...