33. Tanpa Kabar

20 8 1
                                    


l𝒟𝒾𝒻𝓇𝒶𝓀𝓈𝒾 

Jika aku tidak di gariskan menjadi takdirmu, maka akan ku garis sendiri takdir kita-

____
Bimantara Askalla

Suara burung-burung berkicau terus bersahut-sahutan. Taburan bunga di atas tanah yang masih basah terus berjatuhan. Bumi terdiam melihat nisan yang baru saja di pasang. Udara dan semerbak bunga tercium hingga peraduan. Orang berlalu lalang menaburkan bunga dan mendoakan makan Ilyas, dari rekan bisnis yang bejibun dan keluarga jauh yang baru sampai. Papa Difra di makamkan pukul 09.00 pagi tadi.

”Papa nggak merasakan sakit lagi sekarang, nggak ada yang membuat papa tersiksa” elusan di nisan menjadi saksi betapa sakit pria itu, dadanya begitu sesak.

Kalla membantu Bumi untuk bangkit dengan memegang pundak laki-laki itu, dia sampai di ibu kota sekitar tengah malam dan sampai sekarang masih belum menemukan gadisnya. Disana ada Rafael juga, wajah Rafael bahkan pucat pasi karena melihat Difra begitu dingin dan pucat bersamaan dengan meninggalnya Ilyas. Difra di larikan ke sebuah rumah sakit yang menjadi langganan gadis itu.

Prosesi pemakaman berjalan dengan lancar tanpa suatu kendala. Yang memenuhi pikiran Bumi hanya satu. Adiknya, gadis ceria yang merasakan lara begitu luar biasa. Andai di sisinya ada seorang Ibu, pasti akan bahagia sekali adiknya. Setidaknya ada penguat disaat mereka terjatuh.

"Terimakasih  bantuannya, kalian bisa pulang" ujar Bumi kepada Rafael dan Kalla. Percayalah kali ini jiwa dan raganya benar-benar lelah.

”Ta—"

"Difra dimana Kak?" ucap Kalla,sedari tadi yang dirinya tahan untuk ditanyakan akhirnya keluar juga dari bibirnya.

"Difra adek saya, kalian pulang saja. Terimakasih juga karena sudah membantu prosesi pemakaman Papa " kata Bumi, Ia bangkit dari sofa guna berjalan menuju halaman depan.

”Bang Bumi tunggu!!" Kalla mengejar langkah kaki Bumi disaat pria itu berjalan meninggalkan mereka. Rafael sendiri terdiam di tempat memikirkan sesuatu, hingga Ia kemudian tersadar.

"Kal.."

"KAllA TUNGGU!!"

Rafael mengejar pria yang terlihat kalut itu. Bahkan lingkar mata Kalla begitu ketara karena sedari semalam belum juga tertidur.

"Lepasin Raf,gue mau kejar Bang Bumi!!" Kalla menepis tangan Rafael yang memegang pundaknya, dihempaskannya telapak tangan itu hingga membuat Rafael menatap nyalang.

"Mau ngapain?Lo nggak lihat pria itu pusing mikirin masalah yang lagi di hadapin. Gue kalau di posisi Bang Bumi nggak bakal kuat Kall, dan Lo seharusnya jangan nambah beban pikirannya. Punya otak kan? Udah gede jadi bisa mikir dua kali. Lo tahu dimana Difra, nggak gue jelasinnya seharusnya Lo tahu lah dimana gadis itu sekarang." perkataan Rafael membuat sekujur tubuh Kalla gemetar. Wajah pria itu memucat, trauma masa lalu yang coba Ia kubur dalam-dalam pada akhirnya muncul kembali.

"Jadi dia, Dif-difra..." perkataan Kalla terbata-bata. Ada seberkas rasa sakit yang tidak bisa di ucapkan dengan kata. Tangannya terkepal erat dan entah kenapa dadanya begitu sesak.

”Kall, Lo udah tahu duluan kan?" tanya Rafael memejamkan mata"Gue syok Kall, seharusnya gue tahu. Seharunya gue sadar akan tingkah Difra belakangan ini. Tapi kemarin hati gue bener-bener sakit, Difra Kall..Dia ternyata..”Rafael pernah merasakan kehilangan, dia pernah bodoh karena takut menjerat hidup seorang Difra Sandyakala dimasa lalu. Lantas disaat dia ingin memperbaiki segala, semuanya bagai puzzle yang sudah tak berbentuk bahkan enggan untuk di eratkan kembali.

"Gue.." Kalla meremas rambutnya, dia begitu frustasi memikirkan bagaimana sekarang keadaan gadisnya"Arghhh!!!"

"BUGH!!"

"BUGH!"

"BUGH!"

"Bego Lo!"

"Stop woy!"

"Kalian ngapain sih ha? Ini tuh rumah orang, kenapa malah berantem kaya gini? Kalian bukan anak kecil lagi!!" Albrama datang dengan kemeja hitamnya, mungkin pria itu yang tiba terlebih dahulu di Jakarta sedangkan teman-teman baru dalam perjalanan.

Kalla mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah, pria itu tak melakukan perlawanan. Atau enggan saja menanggapi Rafael yang sudah terbungkus emosi. Rafael itu cenderung pendiam dan jarang marah. Namun sekalinya emosi langsung meledak-ledak bak gas bocor dipercihkan api.

"Lo juga ngapain sih Raf, kontrol dong emosi Lo. Ini ada orang yang baru meninggal loh, bahkan keluarga besar beliau masih di sini. Ngapain sih pake berantem-berantem segala, dan Lo Kall, pergi sana obatin luka-luka di wajah Lo." Al menarik nafasnya, bukan dirinya saja yang merasakan lelah. Tapi kedua temannya ini pasti lebih lelah.

"Difra dimana btw, gue mau ngucapin bela sungkawa langsung ke dia" tanya Al, setelah berhasil meredamkan emosi Rafael dan memberikan pria itu segelas air putih. Albrama bertanya, Ia mengulurkan air putih kepada Kalla namun pria itu tak meminumnya dan langsung bangkit dari tempatnya duduk.

" Kall mau Kemana??"

"Lo tahu nggak tuh anak kenapa? Ada yang nggak beres sama Kalla. Dia sakit?Kenapa wajahnya pucet gitu?"Tanya Albrama, melihat gelagat aneh Kalla yang tidak biasa'. Bahkan pria itu menjadi pendiam dalam beberapa saat.

Rafael memijat pelipisnya"Lo tanya dimana Difra kan Al?Difra..gadis itu sekarang ada di rumah sakit. Dia ternyata selama ini menyembunyikan penyakitnya , dan yang membuat gue syok Al. Dia tahu kalau di sakit tapi malah maksain buat ikut kemah dan kegiatan-kegiatan di sekolah. Gue bodoh banget ya Al baru tahu sekarang kalau tuh anak sakit. Padahal Lo tahu sendiri kan, dari dulu bahkan padangan gue nggak teralihkan dari gadis itu. Hal sebesar ini pun gue baru tahu." Albrama terdiam cukup lama guna meresapi setiap kata yang keluar dari bibir Rafael.

"Kalla udah tahu kalau Difra sakit Raf?" yang sedang Al pikiran adalah ini. Sekarang jawaban dari betapa pucat dan lemasnya Kalla pasti berkaitan dengan Difra.

"Dia udah tahu lama Al, bahkan gue baru sadar selama ini. Alasan pria bodoh itu serahin Difra ke gue.” Rafael mengingat hal-hal yang membuat dirinya begitu tampak bodoh.

"Difra sekarang di rumah sakit mana?"

"Graha Almedika,"

"Lo susulin Kalla gih, gue takut kalau trauma masa lalunya kembuh saat lihat Difra terbaring lemah di brangkar rumah sakiit." Rafael bangkit dari tempatnya duduk.

"Lo mau kemana emangnya Raf?" tanya Al saat melihat Rafael bersiap meninggalkan rumah Difra.

"Cari solusi.."

"Emangnya sakitnya Difra parah??"

"Sama kaya penyakit almarhumah nyokap Kalla." jawaban singkat mampu membuat Albrama terdiam kaku.Takdir seolah-olah mempermainkan kehidupan dua manusia itu, Rafael mengambil kunci motornya di atas meja dengan terburu-buru, keluar dari sana berharap bisa mengejar Kalla, yang Ia takutkan pikiran buruknya benar-benar terjadi.

"Gue mohon Kall, jangan sampai Lo tumbang, gue tahu Lo kuat" gumam Albrama, Rafael sendiri sudah mengendarai mobilnya keluar dari pekarangan rumah. Mereka sama-sama berharap,dan akankah harapan yang Rafael pinta akan terkabul.

🍁Jika memang endingnya tidak seperti yang ku harapkan, ku mohon tetap disini. Setidaknya akan ku amati dari jauh siluet bayanganmu🍁

DIFRAKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang