-Bukan perpisahan yang menyakitkan, namun menghilangkan rasa terbiasa disaat semuanya direnggut begitu saja-
-
-Waktu itu bulan Desember, rintik hujan satu persatu turun membasahi tanah. Sosok pria dengan lapisan jaket berwarna hitam itu sedang turun dari mobilnya. Netra tajamnya menatap lurus ke depan, hingga berhenti saat melihat gadis berambut sebahu sedang berbicara dengan sosok perempuan yang memakai almet OSIS. Pria itu berlari menuju kelasnya, dia menyugar rambut yang tadi sempat basah karena terkena tetesan air.
Bunyi riuh kelas langsung menusuk indra pendengarannya, pria itu benci kebisingan. Kaki jenjangnya berhenti di bangku paling ujung sebelah kanan. Tepat disamping bangku kosong yang ia yakini pemiliknya belum datang.
”Lo kemarin nggak datang Kall, kenapa?" ucap Syavano, pria yang sedari tadi sibuk menyalin jawaban dari temannya itu terlihat menghentikan aktivitasnya.
"Nggak, gue sibuk." jawabnya singkat, Vano menghela nafas kasar. Sepertinya mood temannya yang satu ini sedang tidak baik.
"Bu Ratna datang woy..” Chiko, pria dengan rambut sedikit panjang itu berteriak heboh.
Kalla menatap lurus ke depan, telinganya bahkan sedari tadi tidak mendengar suara sang guru, lantas ia mendongak saat melihat gadis yang tidak begitu familiar, tengah masuk ke kelas saat jam pembelajaran sudah dimulai. Aneh, ada perasaan asing saat netra tajamnya menangkap rupa dari sang pemilik rambut sebahu itu.
Perlahan ia melepaskan air phone yang terpasang di kedua telinganya. Melihat bibir gadis itu seperti mengucapkan permintaan maaf kemudian berjalan perlahan menuju ke samping bangkunya.
Sebenarnya setelah hampir setengah tahun ia sekolah di SMA. Kalla belum terlalu mengenal penghuni kelasnya, atau dia memilih enggan mengenal. Paling yang dekat dengannya hanya beberapa sahabatnya saja.
Setelah mengamatinya sebentar, Kalla memilih melihat guru yang tengah menjelaskan.
"Sekarang kumpulkan tugas yang telah ibu berikan Minggu kemarin," mendengar hal tersebut, Kalla menatap Albrama dengan penuh tanda tanya?
"Halah, udah gue duga lo belum kerjain kan? Mampus deh lo Kall" Kalla menatap tajam, hingga kedua orang yang tengah berdebat itu berhenti saat mendengar suara gadis yang diketahui telat tadi.
"Maaf Bu sebelumnya, apakah boleh jika nanti saya saja yang mengantarkan tugas ibu ke kantor. Sekalian ada beberapa hal yang harus saya sampaikan," suara itu bagai balok es yang meredamkan kepala anak-anak yang belum mengerjakan tugasnya.
"Kalau begitu jangan lupa ya Dif, nanti taruh di meja saya. Saya akhiri pembelajaran pada hari ini" ucapnya kemudian meninggalkan kelas.
"Kalian masih ada waktu setengah jam untuk ngerjain tugasnya, segera kerjain habis itu kumpulin ke aku" ucap Difra, saat ia ingin meninggalkan kelas. Difra berhenti saat ada pria yang menghalanginya.
”Gue pinjem buku tugas lo," ucapnya datar.
"Nggak bisa ngerjain sendiri?"
"Gue mager," jawab Kalla enteng. Gadis itu tidak habis pikir, akan tetapi dia tidak serta merta memberikan tugasnya begitu saja.
"Nggak bisa, punya pikiran itu digunain. Kasian yang menciptakan kalau kamu males mikir. Lagian masih ada waktu untuk mengerjakan sendiri," jawabnya sebelum benar-benar meninggalkan kelas.
Kalla menatap punggung tersebut sebelum benar-benar menghilang dari pandangannya. Entah kenapa suara kecil namun terkesan tegas itu terus terngiang-ngiang di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIFRAKSI
Teen Fiction"Kalla, bisa berhenti memainkan perasaan Difra?" ~• Difra Sandyakala. Gadis periang, cerewet, dan juga manja. Di balik kehidupannya, ia menyimpan banyak luka. Bimantara Askalla, orang yang ia anggap sebagai pelitanya, justru meredup. Ada hati yang r...