Sebulan setelah Mora melenyapkan file Arcade's, rasanya SMA Aliedor semakin tentram. Tidak ada lagi tatapan ingin saling menerkam antara gadis-gadis Arcadis dan anggota-anggota OSIS. Tidak ada juga pertengkaran antara Mora dan laki-laki yang sering meledek Arcadis, walau hal tersebut biasanya akan menjadi pemandangan orang setiap harinya. Rasanya, sekolah itu akhirnya dalam keadaan tenang dan damai.
Saat Mora jalan di koridor pun, rasanya orang-orang sudah tidak se takut dulu untuk mendekati atau bahkan sekedar menyapa gadis itu, dan Mora menyukainya.
"DOR!"
"Anjrit!" Teriak Mentari kesal karena ulah Allison. Mora yang berada di sebelah Mentari pun mengumpat dalam hati.
"Lagian lo pada, bengong-bengong aja. Mikirin apa sih?"
"Mikirin masa depan lo. Suram."
"Kurang ajar."
"Gimana PDKT-nya sama ayang?" Mora bertanya, tujuannya meledek sih.
"AH UDAH GAK USAH DIBAHAS."
"Itu trending topic kita hari ini, sayang." Sembari menaik turunkan alisnya.
"GELI. JAUH-JAUH DEH LO MAHLUK ASTRAL!" Allison pun menjauhi meja mereka. Bisa-bisa wajahnya berubah menjadi semerah tomat kalau harus memikirkan Olvie memanggilnya 'sayang'. Walau sepertinya tidak akan terjadi.
Mora dan Mentari hanya tertawa cekikikan seraya Allison menjauhi mereka. Kemudian datang Romeo dengan parasnya yang menawan dan senyuman yang dapat melelehkan hati wanita manapun.
"Morning, princess."
"Morning."
"Nanti pulang sekolah gue mau ngomong."
"Kenapa gak sekarang?"
"Ini penting. Tolong kumpulin anak-anak Arcadis ya."
"Lo lupa udah gak ada geng lagi di sekolah ini?"
"Temen-temen lo maksudnya."
"Mau ngapain sih? Sok misterius." Mora mulai kesal karena batinnya dibuat bertanya-tanya.
"Nanti, cantik." Romeo kemudian pergi, meninggalkan Mora dengan sejuta kupu-kupu meledak di perutnya.
"HAHAHAHAHAHA, nanti, cantik." Ucap Allison menirukan cara Romeo berbicara, yang diikuti penghapus terbang hasil lemparan Mora.
"Sakit, cantik. HAHAHAHAHAHA." Gadis bule itu terus saja tertawa sampai perutnya terasa terbelit.
"Sinting." Ucap Mora pelan karena guru di pelajaran pertama sudah masuk ke kelasnya.
*****
"Oke, karena semua udah kumpul. Gue mau kasih kalian sesuatu."
"Apaan tuh."
"Karena sebentar lagi sekolah-sekolah kita bakal libur panjang, gue ngerencanain kita untuk liburan."
"Bayarin bang."
"Diem, ah! Kayak orang miskin aja." Sentak Olvie.
Galang yang dibentak, hati gue yang geter gimana tuh? Batin Allison.
"Tenang aja, semua tiket pesawat pulang pergi udah gue urus. Kita bakal ke Paris lusa."
Para gadis-gadis mulai berteriak kegirangan sementara para laki-laki tersenyum sumingrah ke arah Romeo. Terutama karena kalimat 'semua tiket pesawat pulang pergi udah gue urus'. Walau mereka adalah orang-orang tajir melintir, tetap saja namanya manusia suka dengan gratisan.
"THANKYOU SO MUCH!!"
"Ini mah langsung nikah aja sama Mora juga gue restuin." Romeo hanya tertawa sementara Mora menjitak temannya itu.
"Thankyou, Rom." Quinella tersenyum hangat. Tanpa sadar, Zanquen mulai menyungingkan senyumnya juga.
"Ciaelah, bang, kalo suka mah bilang jangan senyum-senyum bae." Ucap Galang meledek Zanquen yang langsung memasang muka temboknya lagi.
Mora hanya menatap Zanquen yang sedang menatapnya juga, lalu tersenyum, seperti merestui sahabatnya itu dengan dia. Dirinya dan Zanquen hanyalah masa lalu. Sekarang, Mora punya Romeo, dan terserah jika Zanquen ingin memilih untuk suka dengan wanita selain Mora. Lagi pula, semenjak Servina sudah sembuh, Servina mengajarkan banyak hal kepada Mora tentang pengampunan. Maka, Mora melakukannya.
"Liat tuh, minta izin dulu sama bu bos HAHAHAHAHA." Ucap Bertha.
"Harus izin sama kita juga tau, masa sama Mora aja." Mentari menimpali.
"Tau! Lo tuh mau mendekati seorang hantu Arcadis, harus izin kita semua!" Allison yang paling heboh.
"Berisik, ah!" Sepertinya Quinella merasa terganggu.
"Ampun, suhu."
"Ya, sebenernya gue mau ngomong itu doang sih." Romeo kembali buka suara, takut keadaan akan semakin canggung.
"Ya udah, sekarang kita pulang, siap-siapin barang yang mau di bawa. Nanti ke airport bareng aja."
"Siap, pak bos."
"Oke, thanks rapatnya." Kemudian mereka semua satu per satu meninggalkan tempat tersebut untuk pulang ke rumah masing-masing.
Sepulangnya Mora, ia langsung mendapati Servina di kamarnya sedang melukis. Servina memang mahir sekali melukis, bahkan Mora yakin, kalau Servina menjual karyanya itu, akan banyak miliarder yang membeli karyanya.
"Kak!"
"Hm?" Servina tak mengalihkan pandangannya dari kanvas lukis.
"Lusa gue mau ke Paris."
"Anjir, tiba-tiba banget."
"Besok kan udah mulai liburan panjang."
"Sama siapa?"
"Arcadis, Arcelos."
"Oh, yaudah, have fun."
"Mau ikut gak?"
"Gak, gue udah tua."
"Bego, tua dari mana?"
"Maksudnya, gak cocok lagi main sama anak baru gede."
"Ngeledek mulu lo kak."
"Siapa tau kangen ledekan gue."
"Ya udah, enjoy your own space deh."
"Ya, dadah Mora."
Sejujurnya Mora sedikit khawatir meninggalkan Servina di rumah. Walau memang ada banyak asisten rumah tangga yang sigap membantu Servina kalau ia kesulitan, tetap saja ia khawatir. Ia tahu Harris belakangan ini jarang pulang ke rumah karena urusan kantor yang sangat banyak, karena semenjak kemenangan Mora di Masterpiece Of Rebel Angels, banyak investor yang mau terlibat menjadi sponsor dalam kompetisi tersebut.
Karena lelah dengan pikirannya sendiri, Mora memutuskan untuk menonaktifkan ponselnya dan membawa dirinya ke alam mimpi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arcadis [SEQUEL OF 'BASKARA']
Teen Fiction"Gue gak pernah nyangka akan bunuh kakak kandung gue sendiri." "Gue juga gak nyangka bakal dibunuh sama adik kandung gue sendiri." - Moranna Friska Quinnix. Dia orangnya. Si ketua geng besar bernama Arcadis yang tidak pernah takut apapun. Lalu muncu...