• 32 : The Truth •

28 4 0
                                    

             Semalaman suntuk Mora terus saja memandangi kakaknya yang sudah tertidur di atas sofa ruang latihannya. Gadis itu tidak melakukan hal macam-macam yang membuat Mora semakin yakin bahwa sebenarnya Servina bisa sembuh secepat mungkin.

Mora mengecek jam di ponselnya, sudah menunjukkan pukul setengah satu pagi. Dirinya juga sudah sangat lelah, jadi Mora memutuskan untuk mengambil bantal di kamarnya. Dirinya mengernyit saat mendengar Harris berteriak agak kencang dari ruang kerjanya. Mora tidak mau ambil pusing.

"Kalau sampai Mora tahu! Kamu akan mati sama dia!" Mora menghentikan langkah kakinya. Lagi-lagi namanya dibawa, Mora langsung menempelkan telinganya di pintu ruang kerja Harris.

"Mora gak boleh tahu hal ini! Kamu tahu sendiri dia bagaimana. Saya akan kirim uang seperti biasa, tolong jangan hubungi saya lagi!"

"Gak! Gak boleh! Jangan kesini!!"

Harris menggebrak meja, "DILON!"

Deg.

Mata Mora membulat sempurna. Dilon?!

"Dilon, saya gak bisa, kamu mengerti keadaannya."

"T-tolong... Mora gak boleh tahu hal ini." Harris mengecilkan suaranya.

"Iya, saya akan berusaha. Tolong Dilon, tetap rahasiakan status kamu sebagai anak saya."

Mora meremas bajunya kuat-kuat, menahan air matanya agar tidak jatuh. Anak dia bilang?! Dilon anaknya Harris?!

"Oke, jaga diri kamu Dilon."

Brak!

Mora mendobrak ruang kerja Harris dengan mata yang sudah merah karena menahan amarah.

"Dad? Bener, Dilon anak kandung daddy?" Mata Harris membelalak saat Mora masuk ke ruang kerjanya. Sementara Mora masih berharap bahwa hal yang didengarnya hanyalah lelucon belaka. Iya kan? Ini semua lelucon?

"Maaf, Mora..." Harris menunduk membuat Mora meneteskan satu per satu air matanya yang berharga.

"Dulu mama kamu gak bisa punya anak, papa harus punya keturunan demi penerusan perusahaan. Setahun setelah Dilon lahir, ternyata mama kamu hamil Kak Servina. Maafin daddy." Harris menunduk penuh penyesalan. Mora menggeleng tak habis pikir. Jadi pikiran Harris selama ini anak itu hanya penerus perusahaan?!

Tanpa basa-basi, Mora keluar dari ruang kerja Harris, tak lupa membanting pintu nya. Berpakaian seadanya di kamarnya lalu pergi, melaju kencang dengan mobil Lamborgini hitam seharga dua puluh miliar miliknya itu.

Kalian mau bilang Mora tidak bersyukur memiliki ayah setajir Harris? Silahkan berada di posisinya. Mengetahui ibunya pergi meninggalkan dirinya seorang diri bersama ayahnya saja karena kecewa dengan perilaku ayahnya yang berselingkuh dengan wanita lain, bahkan memiliki anak. Tak sampai situ, ternyata anaknya Dilon. Ternyata orang yang paling Mora benci di seluruh dunia ini adalah kakak kandungnya sendiri.

Mora berteriak sekencang-kencangnya di dalam mobil, berusaha membersihkan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Tapi nama Dilon semakin tertanam di dalam pikirannya.

Semakin Mora berusaha menghilangkan nama Dilon, semakin nama itu menghantui dirinya.

"BANGSAT!!!" Mora membanting stir dan mengrem mobilnya tepat waktu di pinggir jembatan.

Mora meluruhkan pertahanannya dan menangis sekencang mungkin. Tak ada yang dapat ia percaya sekarang, tidak ada yang bisa membuatnya bisa mengungkapkan seluruh perasaan yang dialaminya. Lagi-lagi, Mora merasa kesepian dalam keramaian.

Dering ponsel gadis itu berbunyi membuat Mora rasanya ingin memaki orang yang memotong aktifitas breakdown-nya.

Incoming Call
Our Naive Romeo

Arcadis [SEQUEL OF 'BASKARA']Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang