• 50 : Is it the end? •

17 3 0
                                    

            Romeo sempat mematung sebentar saat melihat gadisnya itu terkapar di lantai dengan darah yang berceceran di mana-mana. Sementara Zanquen dan Rangga langsung menjauhkan Dilon dari Romeo, mereka berdua takut Romeo akan kehilangan kendali.

"BANGSAT!" Teriak Romeo kalang kabut dan benar saja, dia mendekati Dilon dengan amarah yang berapi-api.

"Rom, yang penting Mora." Ucapan Olvie membuat Romeo sadar dan segera membopong tubuh gadis itu menuju mobilnya. Laki-laki itu menangis di dalam perjalanan, jika benar ia akan kehilangan Mora hari ini juga, lebih baik nyawanya ia tukar dengan Mora. Romeo terus saja merapalkan doa selama ia mengendarai mobil sport-nya itu. Yang penting adalah Mora, ia tak peduli jika Arcelos harus bubar, atau ia harus lengser dari jabatan ketua OSIS nya itu. Yang penting adalah, MORA.

Sesampainya di rumah sakit terdekat, Mora langsung diarahkan ke UGD dan ditangani oleh beberapa dokter yang berada di sana.

"Maaf, anda tidak boleh masuk." Akhirnya Romeo hanya berdiri di depan pintu ruang UGD dengan tatapan kosong. Tidak, ia tidak boleh kehilangan Mora sekarang.

Setelah satu jam menunggu, akhirnya salah satu dokter keluar dari ruang UGD, "Apakah ada keluarga Moranna Friska Quinnix?"

"Saya, dok."

"Anda siapanya?"

"Suaminya." Dokter itu sempat meneliti raut wajah Romeo sesaat.

"Baik, untung saja sayatannya tidak mengenai nadi di lehernya, dia hanya tergores cukup dalam, tapi dia tidak apa-apa." Romeo bersyukur dalam hatinya sampai rasanya ia ingin berteriak kencang.

"Makasih, dok. Saya boleh ke dalam?"

"Boleh, tapi pasien masih tertidur. Kami memberikan obat bius untuk operasinya tadi."

"Terima kasih, dok."

"Iya, sama-sama."

Romeo melihat siluet Mora yang selalu sempurna di matanya. Bahkan di saat-saat seperti ini ia terlihat sangat cantik, dan.. damai. Romeo memegang tangan gadis itu, ia berharap sehabis ini tidak ada lagi kejadian seperti ini lagi. Ini adalah yang terakhir kali. Jika Romeo harus berubah menjadi laki-laki yang posesif, ia akan melakukannya untuk melindungi Mora.

Dering ponsel laki-laki itu kemudian memenuhi ruangan UGD.

"Halo, kenapa?"

"Dilon lo mau apain? Dia lagi nangis-nangis di sini."

"Kira-kira, Mora mau gue ngapain?"

"Jangan ikutin maunya Mora, buktinya maunya Mora selalu ngebahayain dirinya sendiri."

"Untuk sementara lo tahan dulu Dilon di rumahnya. Dia tinggal sendiri kan?"

"Iya."

"Kalian semua hari ini jaga dia, nanti gue suruh Allison, dan lainnya kesana."

"Oke."

Setelah itu Romeo menghubungi Allison, jika ini menyangkut semua kegiatan balas dendam Arcadis, tentu ia akan menyerahkan urusan itu pada yang bersangkutan. Ia tidak mau ikut campur lagi, walaupun Romeo sangat ingin menghajar Dilon sampai ia mati.

"Halo, gimana Mora?"

"Mora masuk UGD, dia bunuh diri, tapi sekarang udah gak apa-apa."

"UGD mana?" Nada Allison tenang, ia tahu Mora adalah perempuan gila.

"Itu gak penting sekarang, gue ada di UGD, gue akan jaga dia. Yang penting sekarang lo ke rumah Dilon, gue serahin dia sama lo dan temen-temen lo. Terserah mau diapain."

Arcadis [SEQUEL OF 'BASKARA']Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang