Amelie; prolog

133 15 17
                                    

Aku tak mengira, pada titik ini ketika dia berdiri di depanku. Mata pria yang pernah kucintai itu memerah, dia setengah berlutut di tanah lumpur basah bekas hujan semalam. Suaranya gemetar, wajah tampan itu pucat pasi, Fahri mengulang kata yang sama, "Maafkan aku, maafkan aku ...."

Langit masih mendung, gerimis mulai membasahi pucuk rambut kelabu Fahri yang mengingatkanku pada putriku. Aku masih bungkam, tak ada yang bisa kukatakan bahkan jika rasanya terseok-seok, perasaanku makin larut terdengar bisik-bisik di dalam kepala yang memintaku menikam tubuhnya, menghancurkannya, sekaligus mencongkel matanya yang indah itu, lantas—

Tidak.

Sepertinya aku kembali berpikir tidak jernih. Bryan pasti kecewa jika mengetahui hal itu, dia tidak suka jika aku memikirkan hal-hal sinting. Jadi di sini aku, dengan kuas dan kanvas ditemani rintik hujan, mengetahui aku depresi lagi Bryan memintaku untuk melukis— menenangkan diri. Aroma mawar yang mengelilingi, dengan bunga-bunga bermekaran setelah musim hujan turun, di bawah naungan gazebo kecil aku masih sibuk hingga pria yang kini berlutut menganggu. Memohon, meminta-minta, barangkali harus bersujud.

"Aku sungguh-sungguh, aku tak berpikir benar ...."

"Aku bajingan, sungguh bajingan ...."

"Aku gila saat itu ...."

Dia terus bicara. Bicara dan bicara. Pewajaran demi pewajaran yang kian deras mengalahkan riak hujan. Tidakkah dia tahu? Sebanyak apa aku harus menunggu hingga dirinya memohon-mohon, mengemis sebagai pecundang, bajingan. Selama 15 tahun dia kembali dengan wajah bersalah mengatakan banyak hal. Waktu yang berharga hancur karena kesalahannya, kesalahanku, kesalahan kami. Menghancurkan kami semua, menyakiti, merusak.

Aku berdiri, sepatuku mengetuk-ngetuk lantai pualam putih gazebo yang Bryan ciptakan untukku. Percikan hujan membasahi kaki, pakaian, masih dalam naungan langit-langit gazebo aku jongkok, tepat di depan wajah Fahri. Menatap wajahnya yang dekat membuatku teringat pada malam panas, ciuman pertama kami, malam penuh gairah juga penyesalan terdalam.

Fahri. Cinta pertamaku yang tragis, malang, aku terlalu senang mengasihani diriku sendiri, aku tak akan menyangkalnya. Meraup wajah tampannya yang basah, pria berumur 30-an dengan wajah ketimuran kental, mata sipit seperti bulan sabit yang menawan. Aku lebih suka menjadikannya fantasi dalam lukisan dibanding melihatnya dalam bentuk nyata.

Tanganku basah, lengan bajuku basah. Fahri membeku di tempat tapi tak berkomentar, dadanya naik turun, wajah merah tak karuan. Wajahku mendekat, hampir satu senti jika aku terdorong sedikit saja kami akan berciuman. Sayangnya itu takkan pernah terulang.

"Aku membencimu."

Satu kata itu berhasil melesat, kali ini dia menatapku dalam-dalam, bibirnya terbuka tapi tak mengatakan apa pun, basah air hujan entah pun air mata membasahi pipinya yang kian pucat. Mawar-mawar berjatuhan, derasnya hujan pun guntur bersahutan. Aku dapat melihat sirat keputusasaan yang kian menyeruak. Dia sepenuhnya basah, kacau, menatap penuh permohonan.

"Aku sungguh membencimu."

Suaraku dingin dan menyakitkan, bagai bisikan sesat iblis menyuruhmu mati. Kali ini dia memiliki mataku, jatuh dalam keputusasaan. Begitupula aku yang memiliki matanya— mata kejam pengkhianat. Tubuhnya terus gemetaran, tak berani mendekat membuat kepuasaan tersendiri di dalam dada. Hingga pada titik akhir kehancuran mereka tiba, aku berkata, "Inilah caraku membencimu."

Dia menunduk dalam-dalam.

"Ini semua kesalahanmu."

Kesalahan kami.

"Kau-lah penjahatnya, Frans. Selalu."

Aku yang menghancurkan semuanya.

Aku yang salah.

Pada akhirnya ini kesalahanku karena pernah jatuh cinta– menjadi gadis paling naif dan bodoh di dunia.

Pria itu semakin tak berdaya, kebencian yang busuk setelah sekian lama semakin kuat mengenal indahnya pembalasan, dendam, menjatuhkan lawan seperti permainan catur. Mengambil skakmat. Fahri semakin gemetar, bergumam kecil mengumpat dirinya lagi.

Entah bagaimana sudut bibirku tertarik ke atas dan segera melangkah pergi. Meninggalkan dia yang terjebak pada lingkaran setan, masa lalu yang tak bisa diubah dan aku tahu betul rasa itu. Lebih dari tahu dari bajingan itu. Aku lebih memilih meninggalkan sesi terapi, melukis yang diminta Bryan.

Kepalaku ikut basah, perlahan bangkit dan berjalan dibawah deras hujan. Sudah lama aku tak merasakan air yang menerpa dari langit, ketika aku menengadah, menatap rumah tepat di depan pintu. Bryan— suamiku ada di sana menatapku, tak terlalu jelas dengan hujan yang membuat pandanganku buram.

Apakah Bryan melihatnya?

Aku terus melangkah, berjalan, melewati taman-taman basah juga aroma rumput segar. Semakin menjauh dari dirinya yang kini terisak, melolong, meraung-raung. Aku melihat penjaga-penjaga berlari mendekati Fahri, layaknya tawanan dia diringkus. Semakin mendengar keputusasaan, penyesalan itu membuatku merasakan kelegaan yang aneh.

Seolah bebanku terangkat sekali lagi.

Ketika sampai di hadapan Bryan dia hanya tersenyum, senyum kecil menyakitkan lantas mencium dahiku lama sekali. "Kau basah, ayo masuk sayang." Seolah tak melihat Frans dan apa yang terjadi, dia buta— tuli, Bryan tak pernah ingin aku merasa bersalah.

"Aku kehujanan."

"Ayo, kita hangatkan dirimu."

Dia kembali tersenyum, mencium keningku lagi. Seseorang yang mencintaiku begitu tulus bahkan ketika aku tak percaya cinta, tak bisa lepas dari masa lalu. Aku bersyukur setidaknya sekali ketika Tuhan mengirimkannya, bahkan ketika dia tahu aku tidak mencintainya. Bahkan tidak akan pernah.

"Aku mencintaimu."

"Aku tahu."

"Apa kau sudah merasa lebih baik?"

"Sedikit, kita masih harus mencari An."

"Kita akan menemukannya sayang."

Bryan sering melakukan itu, mengungkapkan kasih sayang. Merawatku dan putriku dengan sangat baik. Jadi ketika hujan turun semakin deras, dia membawaku ke atas kasur, memelukku sangat erat. Matanya yang seperti zamrud bersinar-sinar penuh sayang.

Terkadang aku tidak memahaminya begitu juga dengan Bryan. Kabut gelap dari masa lalu yang kubenci, ditiup pergi, merengkuhku dengan cahayanya. Jika aku terpuruk aku akan menyamakan dia seperti malaikat.

"Kau mau melukis lagi?"

"Aku ingin An segera kembali."

Dia memelukku erat, menatap simpati kemudian kembali merengkuhku membuatku hangat. Ketika bersamanya aku selalu terlalu nyaman dan tak tahu diri, lantas ketika dia menyatakan cinta aku akan canggung kemudian menerimanya.

Juliana putriku menghilang dua minggu yang lalu, satu-satunya permata dan alasanku bertahan hidup. Bryan yang mengetahui bahwa diriku semakin depresi menyuruhku melukis, mengalihkan perhatian, sementara polisi dan anak buahnya terus bergerak. Dia tak mau aku minum banyak obat, atau melakukan hal-hal berbahaya. Yang menyakitiku, menyakitinya.

Dalam dekapan hangat suamiku bersenandung, rambut kecoklatan yang menyebar hingga dagu. Wajah tampan kebarat-baratan dengan wajah simetris sempurna terlihat samar, hanya lampu tidur di sudut meja yang menyala. Pria yang sempurna, dia hanya memiliki satu kekurangan, dan itu yang membawaku padanya.

Perlahan mataku terpejam, suara Bryan setengah serak dengan tangan besarnya dia membawaku semakin dekat, berbisik An akan segera kembali, mengatakan hal-hal baik, mengatakan perihal cinta.

Aku terpejam. 

Bersambung ....

5 Mei 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang