"Kau senang Tuan Putri?"
"Hahaha, Dad. Ini menyenangkan!" Senyuman lebar hadir di wajah mungil An, tanpa sadar aku ikut tersenyum. Wahana halilintar melesat cepat, melaju tanpa henti, berputar, naik, turun dengan kecepatan konstan. Ketika halilintar berputar berada di atas aku dan An mengangkat tangan, berseru kegirangan.
Wahana berhenti, berada di pemberhentian terakhir. An masih tergelak, ekspresi dingin yang biasanya dipakai luntur, kini hanya kehangatan dan senyuman yang berada di wajahnya. "Andai Mom ikut, aku ingin melihat ekspresinya." An menghapus sudut matanya yang berair, aku menggelengkan kepala, mencubit pipinya gemas.
"Sakit, Dad!" protes An, mendelik kesal. "Jangan berlebihan, Dad tidak mencubitmu sekeras itu," bantahku melepas cubitan. Kami saling pandang, terkekeh. Kami turun dari anak tangga, menuruni wahana bermain berjalan menuju Amelie yang terduduk di salah satu kursi taman—dia meminum minuman, melihat kami sorot matanya melembut menepuk kursi di sampingnya.
"Sepertinya kalian bersenang-senang." An mengangguk cepat, memeluk Mom-nya dari samping, membenamkan wajah di pangkuan Amelie. "Itu sangat menyenangkan, Dad harus mengajakku lebih sering." An menoleh ke arahku mengangkat tangan—mengajak tos. Aku mengikuti gerakannya hingga telapak tangan kami bertemu.
"Kalian benar-benar boros, aku tak heran mengapa kalian sangat mirip. Perangai kalian tak berbeda jauh." Aku duduk di samping Amelie, istriku berada di tengah, di sebelah kanan ada An yang menelungkupkan wajah di pangkuan Amelie, sedang di sisi kiri aku menggenggam tangannya, mencium punggung tangannya lembut. "An memang putriku," celetukku mengangkat bahu, memeluk istriku dari samping.
Aku menengadah, menatap taman bermain dengan langit jingga—sunset, selain menyewa departemen store aku juga menyewa taman bermain. Dulu An selalu mendesakku untuk membawanya bermain, pergi dari pulau diam-diam, kuturuti keinginannya, setiap Amelie harus bertemu ayahku, kami menyelinap menggunakan pesawat pribadi—menyewa wahana permainan dan bermain sepuasnya.
Langit mulai menggelap, suara wahana terdengar mengisi kesunyian, lampu-lampu taman mulai menyala kekuningan. Aku melepas jas dan menyelimuti Amelie, angin berhembus semakin dingin, sebentar lagi musim hujan setelah kemarau yang panjang. "Sudah malam, mari pulang. Toh, nanti kita bisa bermain lebih lama," bujukku melirik An yang cepat-cepat menggeleng—cemberut, menyorot tajam.
"Dad selalu sibuk, kapan lagi kita bisa bermain bersama seperti sekarang." Kepala An bangkit dari pangkuan Amelie, dia merajuk, bersedekap. Aku dan Amelie saling lirik, kemudian tertawa melihat tingkah menggemaskannya. Menyadari ditertawakan An melotot, bangkit dari kursi. "Jangan melihatku seperti itu!"
Amelie tersenyum tipis, meredam tawa yang hendak pecah. Istriku menutup mulut, menaikkan sebelah alis. "Kau memang putri kecil kami." Aku ikut mengangguk—membenarkan perkataannya, terlihat An semakin jengkel, dia mengentak-entakkan kaki melewati kami. Aku menjulurkan tangan pada istriku, berjalan bersisian mengikuti langkah putri kecil kami.
"Bukankah saat ini menyenangkan?" tanya Amelie menoleh padaku, tatapannya masih kosong tetapi lebih baik—karena terdapat kelembutan di dalamnya. Aku tersenyum sebagai balasan, meremas tangannya. "Tentu saja, hanya aku, kau, dan An." Aku mengecup tangan istriku, dapat kulihat samar kebahagiaan di wajahnya yang cantik. Dia merapatkan jas di tubuhnya, tampaknya dia kedinginan, segera aku menariknya lebih dekat—mendekap dari samping.
Jika mengingat apa yang kami lalui, hal ini selalu terbayang di benakku. Bagaimana keluarga kami yang bahagia selalu bersama, bersenang-senang dan bertukar canda. Tak seperti diriku di masa lalu, sendirian dan kesepian. Karenanya hadirnya Amelie dan An sungguh sebuah berkah, menjadikan mereka tak pernah membuatku menyesal.\
Kepalaku menengadah menatap ke depan, walau An bilang masih ingin bermain, tetapi melihat Mom-nya yang kedinginan dia berjalan ke pintu keluar, mengarahkan kami untuk segera pulang. Matanya yang seperti bulan sabit menyipit melihat kami—menunggu di parkiran, selanjutnya dia menyeringai jahil, menggoda. "Kalian selalu bermesraan. Dad kau benar-benar tak tahu tempat."
Aku tertawa, mengecup dahi Amelie. Sementara istriku mendengkus, tetapi tak mendorongku menjauh. "Tentu saja, Amelie istriku. Kau juga pasti begitu jika bertemu pasangan hidup." An menatapku jengah, mobil sedang diparkirkan oleh sopir, memutar hingga berhenti di depan kami. An membuka pintu mobil menjulurkan lidah. "Aku tidak suka percintaan," katanya, "lebih baik aku sendiri selamanya mengurus perusahaan."
Aku hanya mengangguk sebagai balasan, An memang tidak suka terlibat percintaan—dia wanita mandiri yang kuat. Tak heran jika dia senang sendiri, bebas dari ikatan asmara. Aku menuntun Amelie masuk mobil. Setelah kami semua masuk, segera mobil melaju melewati taman bermain, melewati malamnya kota dengan lampu bersinar-sinar, berkelap-kelip indah. An yang kelelahan bersandar pada Amelie, tidur di pangkuannya.
"Aku tidak ingin momen ini berakhir." Amelie mengelus kepala An, seperti mengusap anak kucing, begitu lembut dan perhatian seolah barang berharga yang bisa kapan saja rusak. Kukecup dahinya, menggenggam tangannya erat, aku memejamkan mata. "Aku juga, Sayang," balasku ikut memejamkan mata.
Perasaanku sungguh tenang, senyap dan damai. Waktu berlalu, aku bisa merasakan kepala Amelie yang jatuh tepat di pundakku, suara dengkurannya halus. Aku memandang dua permataku yang terlelap, kuturunkan suhu AC, menatap keduanya lamat-lamat.
Perkataan Amelie benar, aku pun tak mau ketenangan ini berakhir. Aku ingin semuanya tetap seperti saat ini.
Andai saja demikian, tetapi hidup tidak akan tetap berputar di jalan yang sama bukan?
...
Tidak seperti biasanya, pagi ini aku bersiap mengantar An ke sekolah. Amelie memiliki kelas siang, jadi tak bisa kuantar karena kami memiliki perbedaan jadwal. "Kenapa Dad mengantarku?" Tampaknya An masih merajuk karena perihal kemarin, dilihat seperti ini dia seperti anak kecil. Aku tersenyum geli, duduk di sampingnya yang membuang wajah ke jendela.
"Dad memiliki jadwal pagi, tidak ada salahnya mengantarmu, bukan?"
An akhirnya menatapku, dia tampak tak lagi kesal. Aku mengusap kepalanya lembut. "Baiklah, yang pasti bukan aku yang minta lebih dulu." Aku tertawa mendengarnya, hanya denganku dan Amelie dia bisa bersikap manja. Pada orang lain di seperti bongkahan gletser. Aku tak dapat menyalahkannya.
Ketika sampa di sekolahnya, aku dapat melihat gedung yang memanjang, berwarna putih dengan perpaduan biru. Kami berhenti di tempat parkir, An mengecup pipiku lantas berjalan keluar. Kupandangi punggungnya yang menjauh, entah kenapa perasaanku tak nyaman. Sempat terpikir ingin kupanggil An kembali tetapi tak kulakukan, malahan aku meminta sopir untuk bergegas pergi ke kantor.
Sepanjang siang itu perasaanku tak nyaman, aku tak bisa fokus dalam rapat, bahkan aku perlu berulang kali membaca dokumen penting. Dalam diriku ada dorongan untuk kembali pulang, tetapi jadwalku padat, bahkan aku perlu lembur karena sedari kemarin mengambil jadwal libur untuk bersenang-senang bersama keluargaku.
Hingga sore itu Amelie menelepon, aku tengah rapat dan menarik diri untuk mengangkatnya. "Ya, Sayang? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Tak biasanya Amelie menelepon lebih dahulu, perasaanku semakin memburuk, kakiku membuat gerakan mengetukan lantai berkali-kali, aku cemas. "Sayang?"
Terdapat jeda panjang, dapat kudengar helaan napas yang berat. Aku mencengkeram ponsel kuat-kuat. "An belum pulang. Sopir yang menjemput An tak menemukannya hingga sore tadi." Hatiku mencelos. "Aku menghubungi sekolah An, tetapi belum ada respon. Bisa kau suruh anak buahmu mencarinya? Aku ... khawatir."
Tanpa menunggu, kembali pada rapat, atau memberitahu karyawan perusahaan aku berlalu pergi.
Mungkin ini alasan sedari tadi aku gelisah.
Firasat buruk. Sesuatu terjadi pada An.
Bersambung ....
25 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...