Langkahku berderap, terus berjalan memasuki kamar setelah sampai ke rumah. Mengabaikan panggilan orang-orang suruhan Dad, pelayan, maupun yang lain— menanyakan keadaanku. Kepalaku panas, aku tidak bisa berpikir jernih. Karenanya aku ingin sendiri.
Aku terduduk di samping kasur, meremas tas erat-erat. Aku benci jika sudah seperti ini, emosi tidak karuan, sesuatu yang tidak bisa kukendalikan. Setelah sosialisasi pertama yang melelahkan, berhadapan dengan bajingan bukan satu hal yang kuharapkan.
Aku menenggelamkan kepalaku di lipatan tangan, menyembunyikan wajahku yang kembali panas. Sesaat perhatianku teralihkan, pelayan mengetuk, mengatakan makananku di depan kamar. Tidak mendapatkan jawaban, akhirnya pelayan itu menyerah dan pergi.
Aku tak mengerti, aku meremas rambutku. Membiarkan sebagian tercabut, emosi yang kian kupendam ingin meletup-letup. Ketakutan itu, kebencian yang sudah dipupuk, kasih tanpa pamrih. Bagaimana diriku yang begitu mirip dengan bajingan itu.
Aku pergi ke kamar mandi, melepas pakaianku kemudian menyalakan shower, membiarkan air dingin mengguyur kepalaku. Bukan waktunya emosional. Aku di sini untuk menjadi pelindung Mom, membanggakan Dad, tidak terjebak dengan hal-hal tidak berguna.
"Apakah kau tahu aku ayah kandungmu?"
"Persetan!"
Aku mengumpat, omongannya masih berdengung di telingaku. Menjijikkan, aku tidak suka. "Kenapa aku harus tahu sialan?!" Aku mengepalkan tangan lantas meninju dinding kamar mandi. Dinding marmer putih, berkilauan, dingin. Aku tak berhenti, terus menghantamkan tanganku hingga berdarah. Napasku memburu kencang, mataku berkilat-kilat. Hingga akhirnya emosiku mulai terbawa air yang mengalir, kembali netral.
Aku mengusap wajah, darah segar ikut mengalir ketika aku menyingkap rambut yang menutupi penglihatan. Napasku mulai kembali normal. Aku menengadah, merasakan kucuran air yang mengalir di wajah, mataku terpejam dalam-dalam. Orang itulah yang membuat Mom menderita, dia yang telah membuat Mom sakit dan terpuruk.
Aku mulai menyadarkan diriku lagi, luka di punggung telapak tanganku nyeri, sobek, berdarah. Aku mengambil handuk membalutnya, sementara aku mengambil handuk lain mengeringkan tubuhku. Aku harus tetap waras.
Aku terduduk di lantai kamar mandi, melihat aliran air yang ternodai darah mengalir ke saluran pembuangan. Aku mengalihkan pandangan, memori yang tidak kuingin ingat mulai berdatangan.
.
.
.
Umurku saat itu masih delapan tahun.
Aku masih jelas mengingatnya, ketika aku berkeliling rumah, kaki kecilku melangkah panjang, memanggil Mom berkali-kali, mencarinya. Pelayan-pelayan pada hari itu tengah libur, di rumah tersisa penjaga juga aku, dan Mom. Aku memasuki studio, kamar, mengelilingi setiap sudut mansion. Tapi, Mom tidak ada.
Aku berusaha untuk menemukan Mom, aku ingat jelas ketika aku sampai di sudut mansion terpencil. Ada kamar mandi yang sudah tidak digunakan, Mom pernah berencana ingin menggunakannya sebagai gudang ketika Dad di rumah. Tapi, itu belum terlaksana jelas.
Aku menatap ganjil, aku mengetuk-ngetuk pintu dan berusaha membukanya. Akan tetapi tak ada satupun suara di dalam sana, aku hampir beranjak pergi ketika terpaku dengan genangan merah yang menyebar dari pintu kamar mandi.
Cairan merah kental, amis, bau. Aku menyentuhnya, kebingungan, melihat cairan itu semakin banyak menyembul, keluar menggenang di depan pintu. "Mom ...." gumamku kecil, aku takut. Aku memanggil Mom tapi tak ada jawaban.
Mom tidak ada di manapun. Dan ini satu-satunya tempat yang belum kuperiksa. Napasku naik turun, kepanikan menyerangku, aku menggedor-gedor pintu. "MOM! MOM! BUKA PINTUNYA MOM!" teriakku amat keras, penjaga yang mendengarku segera menghampiri asal suara. Wajahnya panik sekaligus ketakutan, terkesiap melihat apa yang terjadi.
"MOM!"
"Nona! Tunggu, tunggu! Saya mohon Nona mundur."
Aku ketakutan setengah mati, atmosfir ruangan sesak, kepanikan jelas terlihat. Aku mundur, jantungku berpacu kencang, melihat setiap detik bagaimana penjaga mendobrak pintu. Aku dapat melihat ekspresi shock penjaga ketika pintu terbuka, dia menahanku untuk mendekat. Aku mendorong tubuhnya, tak mempedulikan peringatan. Aku hanya ingin melihat Mom.
Itu cepat sekali.
Ketika aku masuk, hampir terpeleset karena cairan merah yang membasahi lantai. Aku bisa melihat tubuh Mom terbaring lemah. Kedua tangannya tersayat dengan benda tajam di satu tangan yang lain, luka gores terlihat panjang di pergelangan tangan— mengalirkan cairan merah, darah, yang mengalir hingga keluar ruangan. Aku sudah menangis di tempat, ketakutan bukan main berlari memeluk tubuh Mom, penjaga berseru panik memanggil bantuan tak menunggu waktu terbuang lebih banyak.
Untuk pertama kalinya aku tahu, bahwa Mom tidak pernah ingin hidup. Dan sayangnya aku tidak ingin Mom mati. Aku tidak menginginkannya. Aku masih ingin bersama-sama dengan Mom dan Dad, selamanya. Jika ini semua karena aku terlahir menghancurkan hidupnya.
Lebih baik aku saja yang tidak perlu terlahir.
Aku mencintai Mom.
Aku sangat mencintainya.
Aku tidak bisa hidup tanpa Mom.
.
.
.
"Mom di mana?"
Aku gelisah, setelah membalut lukaku dengan perban para pelayan semakin protektif. Memperingati dan mengurusku dengan baik. Aku hanya menerimanya, makan juga menunggu Mom datang. Sudah hampir malam tapi Mom belum pulang.
"Sepertinya Nyonya masih sibuk kuliah Nona."
Aku tidak percaya. Apakah memang selarut ini? Aku langsung berdiri, mengabaikan teriakan pelayan melarangku pergi. "Aku ingin menjemput Mom? Apakah itu salah?" Mereka terdiam, selanjutnya aku langsung memanggil supir mengantarku menjemput Mom.
Aku tidak peduli.
Pada satu titik aku tidak mempercayai Mom menjaga dirinya sendiri.
Ketika aku tidak melihatnya seperti sekarang, aku tak bisa mendengar suara atau kabar dalam konteks waktu saat ini. Aku gelisah. Aku tidak mau kejadian itu terulang, ketika Mom berusaha membunuh dirinya sendiri.
Tidak boleh.
Aku berjalan cepat, ditemani penjaga yang Dad perintahkan untuk mengawasiku dia berbicara dengan satpam. Satpam mengatakan pembelajaran sudah selesai, gedung hampir kosong, hatiku mencelos, ketakutan itu kembali hadir.
Tanpa menunggu waktu lagi aku berlari memasuki gedung. Aku dapat mendengar teriakan penjaga, dia mengikutiku. Bulir-bulir keringat dingin membasahi setiap penjuru tubuh, terlalu banyak resiko di luar. Terlebih Mom tidak mau dijaga, dia bisa pergi kapan saja.
Aku mencari fakultas seni rupa murni, berlari ke setiap kelas, juga ruangan yang terhubung. Aku ketakutan setengah mati, wajahku pias terus mencari Mom, hingga akhirnya di studio fakultas. Aku menemukan Mom di sana, terduduk di depan kanvas.
Terdiam, tak bergerak menatap kanvas kosong. Tubuhnya hadir akan tetapi pikirannya tak ada di sini. Aku mendekati Mom, napasku masih tersengal, bajuku basah karena keringat. Aku menyentuh bahu Mom, hingga akhirnya Mom kembali sadar, menatapku terkejut.
"Eh? Kenapa kau di sini An?"
Aku memeluk Mom. Membiarkan seluruh otot tubuhku mengendur, tenang, kali ini Mom baik-baik saja. "Mom pikir, hanya ingin melukis. Tapi, belum kepikiran ide. Mom tidak tahu waktu sudah berjalan lama." Aku menenggelamkan wajahku di pangkuannya. Tidak peduli.
Mom menderita Bordeline personality disorder (kepribadian ambang) di mana penderitanya mengalami depresi dan memiliki kecenderungan tinggi untuk bunuh diri. Aku memeluk Mom erat. Tidak memberikan kesempatan Mom untuk lepas dariku. "Kita pulang Mom. Sudah malam."
Bersambung ....
12 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...