Orang menyebutkan itu semacam cinta.
Kasih sayang. Jika bisa, aku ingin memberikannya pada istri dan putriku. Keluarga kecil kita. Aku mengusap kepala An, menarik dirinya yang terlelap karena lelah. Jejak-jejak air mata sudah kuhapus dari mata cantiknya.
"Dad minta maaf ... Seharusnya Dad datang lebih awal."
Aku mendesah, melihat gadis kecilku kewalahan untuk melewati masa-masa sulit. Hampir sebulan penuh kesibukanku untuk mengurus bisnis di luar negeri menyita waktu keluarga, seharusnya aku tidak mengizinkan istriku untuk kembali ke kota kelahirannya.
Namun, dia bersikeras jika dia harus menyelesaikan segalanya. Bahkan jika dia harus mati. Itu kata yang menakutkan, jujur saja. Yang kulakukan hanya bisa menuruti semua keinginan Amelie— satu-satunya istriku.
Mobil terus melaju pulang ke kediaman baru kami, aku mengeratkan pelukan pada An, satu hal yang harus kubereskan ialah pria masa lalu Amelie. Aku berharap sekali mereka tak bertemu, terlebih An. Mau bagaimanapun putriku hanya anak kecil di sini. Mereka berdua bisa terluka, aku harus mencegahnya.
Walau tentu saja itu mustahil.
Aku memijat pangkal hidung, pening.
"Tuan besar!"
Aku menatap pria tua tergopoh-gopoh, membukakan pintu mobil. Aku menggendong tubuh An yang tertidur, melangkah keluar dari mobil menuju rumah. Kepala pelayan memberi salam, menatap cemas melihatku datang lebih awal— dia mengatakan belum membuat persiapan. Aku menggeleng, itu tak masalah. Menidurkan An di kamarnya, aku melirik pria tua yang mengenakan setelan butler, terus menunduk sedari tadi. "Di mana istriku?"
"Nyonya ada di aula, Tuan."
Aku menaikkan sebelah alis, kemudian tersenyum memikirkan dia pasti sedang melakukan hobinya yang lain. "Aku mengerti. Aku akan menemuinya."
Langkahku menggema sepanjang lorong, memikirkan betapa rindunya aku pada Amelie, pada An. Kami harus menghabiskan waktu bersama kali ini. Samar-samar alunan musik jadul terdengar, pandanganku melembut searah mataku menangkap gerakan indah, meliuk kesana dan kemari, berdansa sendirian.
Istriku di sana, menari dengan alunan musik. Mata cantiknya terpejam, akan tetapi seluruh tubuh itu terus menuntaskan hasrat dalam seni, pada lagu-lagu, meliuk, berputar-putar, tidak bisa kulepaskan mataku darinya barang sedetik, napasku tertahan akan pemujaan.
Ketika dia selesai, menatapku yang berada di bingkai pintu. Aku tertawa lantas tersenyum lebar, mendekatinya merentangkan tangan. Memeluk istriku erat-erat, aku merindukan kehangatan tubuh ini, semua milik istriku. "Aku merindukanmu." Kukecup pipinya, dia hanya tersenyum tipis menggeleng balas memelukku.
"Kau datang lebih cepat."
"Ya, aku merindukanmu sayang."
Aku ingin mengatakan lebih banyak, berbisik di telinganya tentang seberapa dalam aku mencintainya, mendekap tubuh mungil ini erat-erat. Memonopoli semua waktu, perhatian, hingga mata biru itu menatapku berjam-jam, berhari-hari bahkan hingga beratus-ratus tahun— abadi, tidak beralih. Aku terkekeh kecil, mengusap kepalanya.
Kami beralih pergi menuju kamar, kugenggam tangan kecil Amelie. Dia semakin kurus dari waktu ke waktu. "Kau harus makan lebih banyak," ucapku. Dia menatapku jengah, membuatku ingin tertawa. Aku sadar, kondisinya memburuk hanya dengan merasakan genggaman tangan kecil itu. Kurus kering, kulitnya hampir menampakkan ruas-ruas putih tulang.
"Kau tidak pernah mendengarkanku."
Dia mengangkat bahu tampak tak peduli, aku tersenyum kecil menggeleng. Seperti anak nakal, tidak menurut dan benci dinasehati. Amelie tidak banyak bicara, akan tetapi aku ingin lebih peka, memperhatikan semua yang dibutuhkan, perasaanya sukar kutangkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
DragosteSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...