"Aku mencintai kalian, jadi cepatlah datang."
Aku hampir menangis karena kegirangan. Akhirnya kami mendapat titik terang, Bryan sudah berusaha mencari ke sana kemari. Susah payah dan amat tertekan. Ketika hampir menyerah, tepat saat makan malam Bryan mengabaikan telepon. Akan tetapi aku memaksanya untuk mengangkatnya, hingga akhirnya kami bisa mendengar suara putri kecil kami, suara An.
"Ya, ya, ya. Kita akan menemukanmu." Bryan memelukku erat, kami bergegas bangkit dari duduk dan segera menuju ke mobil. Bryan memanggil para penjaga dan bersiap, kami membawa peralatan penuh, senjata apa pun yang dapat melumpuhkan.
"Kau pegang ini, hanya untuk berjaga-jaga."
Aku mengangguk, Bryan memberikan senapan kecil. Aku menyimpannya ke dalam saku, mengikuti langkahnya menuju mobil. Orang kami sudah melacak lokasi, kami tinggal menunggu waktu. "Malam ini kami akan menyerang." Bryan berkata pada para tukang pukul. Kebanyakan dari mereka kiriman dari Tuan David. Tuan ingin kami segera menemukan penerus Espargaro.
"Sayang." Bryan mengulurkan tangan, aku meraihnya lantas dia membawaku dalam dekapannya, menuntunku masuk mobil. Kami berada di jok belakang sementara tukang pukul melajukan mobil, lokasi mereka sudah diretas dan secepat mungkin akan diberitahukan. "Aku akan menghabisi mereka semua. Ya, mereka semua," gumamku, aku menyentuh senapan di sakuku, rasanya berat dan panas.
"Kau tak perlu mengotori tanganmu." Bryan menggenggam tanganku erat, mencium jari-jariku satu persatu. "Aku akan melakukannya untukmu, untuk An," ungkapnya membawaku dalam pelukan. Aku mengangguk, menyandarkan kepalaku di dada bidang milik Bryan, tangan kami saling bertaut satu sama lain.
"Lokasi sudah ditemukan, Tuan."
Bryan mengangguk. "Segera melaju ke lokasi. Kita tak punya banyak waktu."
...
Kami bisa melihat rumah besar yang memanjang. Tidak memiliki tingkat, rumahnya memiliki arsitektur barat layaknya mansion. Aku memegang senapan, berjaga-jaga jika saja ada yang menyerang. Kini pikiranku terpusat hanya dengan satu hal, putriku. Aku rela kehilangan apa pun kecuali An. Dia segalanya bagiku dan itu adalah fakta. Setelah kehilangannya aku mulai merasa hal yang biasa bagiku menjadi berharga. Kenangan-kenangan tentang keluarga bahagia kami berhamburan, betapa tidak bersyukurnya aku, betapa buruk, dan kejam. Menjadi istri dan ibu yang tenggelam dalam kebencian mendalam, membuat sesuatu di dalam diriku rusak, begitu kotor dan tak dapat dibersihkan.
"Kau tetap di sini." Bryan mencium keningku, setelah mengatakan kata-kata baik, penuh kasih dan kelembutan, dia keluar membawa senapan di tangannya. Orang-orang suruhan Bryan pun keluar dari mobil-mobil lain. Aku termangu di sana, menanti, menunggu An berada dalam pelukan, menebus dosaku. "Kau tetap bersalah." Bisikan lembut menyapu telingaku, aku menarik napas mengabaikannya.
"Aku tahu kau bisa mendengarku. Kau tak pantas berada di sini. Menjadi istri Bryan maupun ibu An. Kau hanya jalang kecil, seseorang yang rusak, tak patut berbahagia. Kau harus menderita. Seperti kata keluargamu."
Aku menggeleng, itu tidak benar, semua perkataan itu hanya untuk membuatku goyah. "Kau bahkan masih mencinta Fahri. Jangan kau sangkal fakta itu." Aku mulai geram, tanganku mengepal, sedangkan napasku berembus gusar. "Kau hanya suara, ya, hanya suara khayalanku."
Aku pikir aku sudah gila, berbicara sendiri dan merasa gelisah. Seolah di dalam diriku ada yang membenarkan bisikan-bisikan ilusi. Mereka selalu mengatakan hal-hal buruk, berbanding terbalik dengan kata-kata manis Bryan. Sesuatu yang kerdil dalam diriku mengakuinya, yang lain menolak mentah-mentah. "Aku tetap Ibu An, istri Bryan. Aku pantas, lebih dari apa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...