"Fahri Priyambada diberitakan menghilang oleh pihak polisi. Tidak ada yang tahu di mana dia berada setelah rumor tentang putri haramnya tersebar, Keluarga Espargaro dijadikan tersangka atas kesaksian asisten Tuan Direktur perusahaan televisi—"
Aku mematikan televisi, sudah cukup lama kami kembali setelah insiden penculikan itu dan secara mengejutkan Fahri menghilang, tak dapat kusangkal aku merasa lega. "Hai, Mom. Apa yang kau lakukan?" Aku berjalan ke arah studio, mengintip dari sela pintu di mana Mom sedang melukis.
"Hai, Sayang." Mom meletakkan alat lukisnya, mencium pipiku dan mendekapku. Kini Mom lebih hangat, matanya tak lagi kosong, terdapat sinar kehidupan dalam dirinya yang menyilaukan. Begitu bersinar layaknya sang surya. Aku akui Mom terlihat sangat cantik sekarang. "Melukis lagi?" tanyaku, Mom mengangguk menatap potret lukisan di dalam kanvas.
Aku menyipitkan mata dan melihat lebih jelas. Di sana terdapat pantai dengan ombak-ombak yang bergelombang, tak cukup tinggi hanya bergerak rendah, di pesisir pantai terdapat siluet tiga orang yang tergambar dari belakang, sepasang orang tua dengan anak kecil yang berayun di tengah mereka. Aku tersenyum. "Ini lukisan kita?"
Mom mengangguk. "Benar, indah bukan?"
"Ya, indah. Sangat indah," pujiku, "Dad harus melihatnya juga, pasti dia senang." Aku terkekeh kini menggenggam tangan Mom, menariknya kini Mom tak pernah menyakiti diri sendiri lagi. Tentu Mom masih minum obat untuk kestabilan mental, tetapi tidak berlebihan seperti dahulu. "Kapan Dad pulang?"
Aku melihat Mom melirik ke arah belakang, dia menaikkan sebelah alis kini terdiam dengan sudut bibir terangkat. "Ada apa?" tanyaku lantas aku bisa merasakan seseorang meraih pinggulku, kemudian mengangkatku ke atas. Aku terkejut lantas seseorang itu membalikkan tubuhku dan menggendongku seperti anak-anak. "Dad!" Aku bisa melihat Dad yang terkikik menyentuh ujung hidungku dengan tangannya yang lain. "Yes, my princess?"
Aku mendengus, memukul dadanya pelan. "Dad membuatku kaget!" Dia kini tertawa lebih keras, menurunkanku dan mengacak-acak rambutku. Seringai jahil terukir di wajahnya, aku bersedekap, cemberut memalingkan wajah—pura-pura merajuk.
Namun, itu tidak berhasil. Yang ada Mom dan Dad saling lirik, kemudian tergelak. Dad menarik Mom, mengecup keningnya dan membawanya dalam dekapannya. Sungguh pemandangan yang baik untuk pecinta romansa, tidak untukku. Walau sejujurnya aku senang mereka terlihat bahagia. "Kau memang putri kecil kami," kata Mom.
Aku angkat bahu, itu fakta yang jelas. Aku akan selalu menjadi putri kecil mereka, itu tak akan pernah berubah. "Ada tamu yang berkunjung," kata Dad, dia menggenggam tanganku dan Mom. Kami saling lirik, menerka-nerka siapa yang datang. Setibanya di ruang tamu aku dibuat terkejut dengan kehadirannya.
"Kakek!" Aku berlari, berhamburan layaknya anak kecil memeluk pria tua itu. Kakek tersenyum, balas memelukku. Aku dihujani begitu banyak kasih sayang, tentu dapat membuat siapa pun iri. Aku akan mengatakannya, bahwa aku adalah gadis paling bahagia di dunia. "An, Kakek senang melihat kau kembali."
Aku terkikik, tersenyum lebar dengan gigi berderet rapi. "Kau tangguh juga," ujar Kakek menepuk bahuku menampilkan seringai bangga. Dia sepertinya tahu bagaimana pemberontakanku dalam masa penculikan, tentu aku bukan tipe orang yang menyerah dengan mudah. Aku tangguh, tak terkalahkan.
Dad berdehem, kali ini aku melihat Dad yang bersitatap dengan Kakek. Aku mengerutkan kening, tumben mereka akur. "Ayah ... bukannya kau ingin mengatakan sesuatu."
"Diam keparat, aku sedang berbasa-basi." Tidak, sepertinya mereka memang masih bermusuhan. Aku bisa melihat Kakek yang melotot ke arah Dad, sementara Dad mendengus, aku dapat melihat Dad yang jengkel, tetapi tidak melawan seperti biasa—menurut patuh. "Ada apa?" Aku melirik keduanya bergantian.
"Aku ingin membuat kejutan, tapi keparat ini malah merusaknya," gerutu Kakek, aku terekeh, melihat Kakek mengoceh itu menyenangkan. Wajah tuanya lebih memiliki ekspresi yang beragam, tidak terlihat seperti mafia kejam dingin yang banyak menumpahkan darah.
"Ekhem, jadi begini ...." Kakek duduk di atas sofa, mengangkat cangkir teh dan menyesapnya perlahan-lahan. "Kakek ingin menyerahkan bisnis Kakek padamu." Aku tercengang, mataku tak berkedip beberapa saat bahkan aku menahan napas. Jika itu bisnis Kakek, maka itu berhubungan dengan dunia hitam. Jantungku berdentum, aku terbata-bata berkata tak percaya. "Su- sungguh?"
Kakek tersenyum teduh. "Ya, kau lebih dari siap." Aku berbalik menatap Dad dan Mom, keduanya terlihat tak terkejut, tampak mendukung kesempatan ini. Aku masih ragu, selama ini Kakek tak pernah mewariskan bisnis gelap kepada Dad karena dia menolak mentah-mentah, Dad selalu ingin memiliki usaha yang bersih tidak ada sangkut pautnya dengan bisnis gelap.
"Aku masih 14 tahun."
"Tidak, 15."
Tiba-tiba saja putih di mana-mana, serpihan kertas berwarna perak berhamburan, suara musik mengalun, dari belakang koki mendorong troli dengan nampan dan kue besar. Astaga, aku tercenung di tempat memproses apa yang terjadi.
"Selamat ulang tahun, An!" Bersamaan keluargaku menyorakkan kata yang sama, mataku memburam dengan air mata menggenang, cepat-cepat kuhapus air mata itu. Aku menerjang mereka, memeluknya dengan hati penuh syukur dan khidmat.
Aku anak paling beruntung di dunia.
"Tiup lilinnya, An." Mom berbisik, menuntunku pada kue besar dengan krim putih juga hiasan coklat. Di atas kue terdapat tulisan dengan warna coklat yang menuliskan selamat ulang tahun ke 15. "Aku selalu bersyukur bahwa kau adalah putriku," kata Mom, kata-katanya begitu manis dan lembut, aku terhanyut.
Aku kembali menatap kue, memejamkan mata lantas menangkupkan kedua tangan dan meniup lilin. Permintaanku sederhana, yakni kebahagiaan Mom, kesuksesan Dad, umur panjang untuk Kakek, hingga keluarga kami yang bahagia. Aku ingin ini berlangsung selamanya. Kekanakan memang, tetapi aku ingin semua harapanku terkabul.
"Kau putri kebanggaan Dad." Dad memelukku dari samping, menepuk-nepuk kepalaku. Aku menengadah, tersenyum haru.
"Jadi kau terima tawaran Kakek?" Tampaknya Kakek tak sabaran. Aku menoleh ke arah Dad yang mengangguk, menyetujui. "Ini pilihanmu, Tuan Putri. Dad akan mendukungmu." Aku akhirnya mengangguk, tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Tak pernah aku segirang ini seumur hidupku, kami terberkati, pantas berbahagia.
"Aku siap." Aku mengangguk-angguk yakin, merasa kini waktunya membuat perubahan besar.
Setelah perjalanan panjang yang kami lewati, semua tangis dan tawa, pengalaman yang menyakitkan maupun penuh sukacita aku mendapat harapan di tiap detiknya. Bahwa tidak ada yang sia-sia di dunia ini, kebahagiaan yang tampak mustahil diraih kini berada dalam genggaman dan aku tak akan pernah melepasnya.
Bagai musim semi yang menghangatkan dinginnya es, membuatnya mencair, menumbuhkan bunga-bunga. Menjadi berkah bagi semua makhluk hidup, kali ini aku memeluk kehangatannya, pada akhirnya kebencian yang tertanam dapat menghilang, cinta bisa memenangkan segalanya.
Aku tak percaya cinta, tetapi pada akhirnya aku merasakan perasaan misterius itu. Menekan rasa sakit, benci, putus asa yang mendalam. Mengatakan aku, kau bahkan siapa pun pantas mendapat cinta dan mencintai.
TAMAT.
22 Juni 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomantikSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...