Fahri; party ¹

14 1 0
                                    

Lampu hias besar menggantung di langit-langit, pijar lampu menyorot, berkilauan memancarkan hiasan bak permata ke penjuru aula. Meja-meja bundar disusun rapi, terdapat televisi pun layar lebar di depan, suara musik klasik mengalun serta ruangan dipadati orang-orang. Suara kamera dan reporter mewawancarai para tamu undangan, orang-orang penting, pengusaha.

Dari balkon lantai dua gedung putih, kutegak wine melirik keluar. Pesta besar perayaan ulang tahun ke-23 media televisi yang menyiarkan seluruh acara dalam negeri. Dan aku yang menjadi bintang utama pesta, lebam di wajahku sudah pudar dan tidak lagi terlihat.

Aku sudah merencanakan semua ini, pesta besar untuk memancing mereka kemari. Tak peduli seberapa dalam kebencian El, kebencian Juliana, juga semua yang kuperbuat pada akhirnya aku akan menyelesaikannya hingga akhir—menebus dosaku, memberikan cinta pada keduanya, menjadikan kami keluarga.

Aku mungkin tidak akan tahu diri hingga akhir, kupikir itu sebuah kebiasaan, kebatilan yang lekat hingga pada akhirnya mereka akan mengatakan aku bajingan egois, terkungkung dalam lumpur dosa dan kotoran. Seperti itulah aku menganggap diriku, hina.

Masih di teras balkon, angin berhembus panas, tak kusangka angin ibukota sepanas ini. Musim kemarau kali ini lebih buruk dari yang kukira, kuseka dahiku yang berkeringat lantas beranjak masuk, menenteng gelas wine yang setengah tandas. Aku bisa merasakan pendinginan ruangan yang langsung menerpaku setelah aku masuk.

Kupandangi para tamu yang berhamburan, para wanita gaun setengah telanjang—gaun sependek paha dengan bagian atas yang menyembulkan garis payudara. Mereka kebanyakan memakai warna merah, karena dress code hari ini berwarna demikian. Sedangkan dress code para pria memakai jas hitam dengan kemeja putih, berpakaian formal.

"Tuan Fahri ...." Melihatku yang muncul dari sudut pesta. Beberapa orang langsung menyerbu mendekatiku, mereka mengungkapkan maksud-maksud manis. Para penjilat yang hanya ingin terlihat baik. Aku menampilkan senyum palsu sebagai balasan, menanggapi sebisaku.

"Astaga! Cantik sekali, Ya Tuhan."

Aku yang masih sibuk berhadapan dengan para tamu undangan segera melirik ke salah satu suara. Gumaman itu disusul pemujaan yang lain. "Saya yakin belum pernah melihat mereka, tetapi si wanita tidak asing," ujar yang lain, mereka berhimpitan menengok ke arah luar. Di mana karpet merah panjang terbentang—menyambut para tamu untuk berlenggak-lenggok layaknya model diikuti jepretan kamera wartawan.

Aku meletakan gelas pada pelayan, mulai melangkah keluar dan membelah kerumunan. Mataku langsung melebar melihat siapa yang menjadi pusat perhatian. Seringai timbul di wajahku membuatku menutup setengah wajah, akhirnya mereka datang. "Itu Amelie! Pelukis yang hilang itu!"

Pelukis yang hilang, benar, semua orang tahu tentang El. Dia adalah pelukis handal yang membuka galeri di usia muda. Mendapatkankan dukungan dari keluarga Callington, lukisan El yang khas digemari para peminat, mereka bilang karyanya memilki nilai artistik sendiri. Lukisannya kebanyakan memuat orang dengan berbagai ekspresi realistis, lukisan-lukisannya misterius—membuat orang tertarik.

Aku terperangah, kini aku bisa melihat dengan jelas. Akhirnya aku bisa melihat El lagi, pipiku merona, kupandangi wanita cantik itu. Rambutnya yang panjang berwarna coklat berhamburan, digerai dengan sanggul kecil di belakang, dia memakai gaun merah panjang dengan belahan di bagian lutut yang menampilkan kaki jenjangnya. Sungguh anggun dan memukau, kututupi rasa kagum itu dan melirik ke arah lain.

"Apa anak itu yang berada dalam rumor?"

Seperti kata rumor, bahwa Juliana adalah putri kandungku. Anak haram yang lahir dari skandalku dengan El, aku tak berharap rumor bisa tersebar secepat itu. Memang aku pelakunya—orang yang pertama menyebar rumor, walau begitu karena ini pestaku orang-orang tak dapat berkomentar lebih banyak, mereka bungkam tidak memperpanjang perkara Juliana, tidak ingin merusak pesta.

Aku menoleh ke arah kanan—tepat di samping El, tanpa sadar aku menarik sudut bibir membuat pandanganku melembut. Gadis cantik dengan rambut pendek sepundak hadir, matanya yang sipit dengan ekspresi dingin memakai gaun merah selutut, dia memakai aksesoris kepala feminim yang tak begitu cocok dengan perangainya yang kasar. Walau begitu dia adalah putriku yang cantik!

Semua orang terkagun-kagum, silih berbisik satu sama lain. Kupandangi mereka dan hal yang membuatku terganggu adalah pria berjanggut yang menuntun tangan El—Bryan, suami El. Aku marah, kesal, juga berang di mana itu adaah posisiku yang diambil oleh pria itu sesuka hati. Kesenanganku dengan segera pudar diganti rasa dengki.

"Saya tidak menyangka Keluarga Espargaro akan ikut hadir di perjamuan sederhana ini," kusambut mereka, mengulurkan tangan pada Bryan, dia jelas tak suka, tatapannya menusuk dan tajam—tentu yang kuabaikan. Walau engan dia menjulurkan tangan membalas jabat tanganku tersenyum formal. "Ya, saya juga tak tahu bisa mendapat undangan dari Anda. Perusahaan saya belum berjalan lama, sungguh senang bisa menghadiri pesta perayaan media televisi."

Bryan adalah pengusaa pendatang yang bergerak di bidang pakaian lima belas tahun yang lalu. Dia memiliki bisnis pakaian dari semua jenis kategori, dengan cepat melejitkan nama perusahaan Espargaro dan berkembang menyebar ke bidang lain seperti sepatu, tas, hingga aksesoris. Sungguh bukan main pengaruh yang dia miliki. Bahkan ada rumor yang mengatakan dia memiliki orang dalam yang membantu dia menjalankan bisnis, tak ada yang pernah tahu akan hal itu.

"Lalu ... El, aku senang kau datang juga." Akhirnya wanita itu menatapaku, tepat di bola mata. Bola mata biru itu mentapku kosong—seolah ada sesuatu yang hilang, tak bernyawa, mati. Bahkan dia tak repot-repot tersenyum. "Kita bukan berada dalam hubungan yang dekat, saya tidak nyaman dengan panggilan yang Anda lontarkan."

Juliana sudah mengerutkan kening, melirik tajam, mengepal tinju seolah bersiap menghajar. "Juliana. Kau terlihat cantik sekali, kau benar-benar mirip dengan orang tuamu." Juliana sudah hampir melompat, jika saja Amelie tidak menahan lengannya dan menggeleng kecil. Aku hanya kembali tersenyum, puas, lega, seolah dahagaku terpuaskan.

"Jangan ganggu istri dan putri saya. Saya harap Anda bisa menahan diri." Bryan membentangkan satu tangan, menghalangiku untuk mendekat ke arah El dan Juliana. Aku hanya mendengkus, menyeringai lantas mengangguk. "Tidak ada yang mengganggu, saya hanya senang bisa melihat dua orang yang penting bagi saya."

Semuanya kini sempurna, aku berpikir mereka tak akan datang, tentu ini seperti jebakan terbuka. Aku tahu betul ada sesuatu di balik kedatangan mereka. Karenanya kuharap mereka tidak akan terkejut dengan apa yang akan datang. "Saya harap kalian dapat menikmati pestanya." Akhirnya aku memilih mundur, mempersiapkan pertunjukan utama, untuk membuat kebahagiaanku, kebahagiaan El, kebahagiaan Juliana, kebahagiaan kami.

Aku berjalan ke arah panggung. Pelayan membawakan gelas dan garpu, aku mengetuk gelas, suara dentingan terdengar ke penjuru ruangan, semua atensi mengarah padaku. Aku membungkuk kecil, mengambil mic dan segera berbicara. "Selamat datang di pesta perayaan ulang tahun ke-23 media televisi. Saya Fahri Priyambada sebagai tuan rumah pesta ...." Aku memberi pujian-pujian, sambutan-sambutan, hingga ucapan terima kasih.

"Dengan ini saya menyatakan pesta dimulai!" Setelah pengumuman yang kulakukan, tamu undangan riuh bertepuk tangan, bersorak sorai, memberikan ucapan selamat. Aku tersenyum lebar, menjadi bintang adalah hal yang kusenangi dari dulu, kupandangi dari sudut mata El yang masih menatap kosong, hingga tanpa sengaja pandangan kami bertemu.

Dia tidak berkedip atau menatap benci.

Entah kenapa meihat mata kosong itu membuatku lebih haus, lapar, hasratku membara. Aku pasti bisa mengubah sorot matanya, seperti malam itu, di mana kami menyatu, menyatakan cinta.

Bersambung ....

19 Mei 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang