Fahri; destroyed

10 0 0
                                    

"Apa yang akan Anda katakan soal putri Anda, Juliana Zehra?"

"Tuan Fahri! Bagaimana pendapat Anda soal tes DNA yang memiliki hasil positif? Akankah Juliana Zehra akan menjadi pewaris Perusahaan Priyambada?"

"Tuan Fahri, lihat kemari."

"Tuan Fahri!"

Jepretan kamera terdengar jelas, riuh para reporter bising dengan kamera yang menyorot ke arahku. Aku menutup mata dengan satu tangan, silau. Para wartawan saling dorong, berdesakan di kerumunan menghimpitku yang hendak keluar dari kumpulan massa.

"Saya memilih bungkam untuk saat ini." Aku melambaikan tangan pada kamera, menampilkan senyum diplomatis. Akan tetapi wartawan yang haus akan berita tak berhenti di sana, mereka terus membuntutiku, menjejalkan diri maju ke barisan terdepan-memaksaku bicara.

"Setidaknya jawab pertanyaan saya," desak salah satu reporter, dia menodongkan alat perekam ke arahku. Menyerobot dari antrian, dia tergesa-gesa bahkan pertanyaan yang dia lontarkan tanpa jeda. "Apakah Anda akan menarik Juliana Zehra dari Keluarga Espargaro?"

Aku tersentak dengan pertanyaan itu, segera saja aku sadar dari lamunanku menggeleng, memilih sikap bungkam. "Cukup di sini, tidak ada yang boleh masuk lebih jauh." Penjaga keamanan mendorong reporter keluar dari teras gedung perusahaan, mereka masih berseru, tetapi itu tak cukup untuk melawan penjaga.

Aku mengembuskan napas, mengusap wajahku kasar. Bahkan di dalam kantor diam-diam semua mata karyawan terarah padaku, memandangku panas, seolah terbakar oleh gosip yang beredar. "Tuan Fahri," panggil sekretarisku, dia tampak resah, membawa tumpukan dokumen dengan keringat bercucuran, napasnya tersendat-sendat.

Aku menoleh dengan isyarat wajah memintanya mengikutiku masuk ke dalam ruangan. Aku berjalan gusar ke arah kursi, menjatuhkan tubuh, tubuhku melemas. "Anu, Tuan." Aku melirik lelah, kantung mata terlihat jelas di mataku sementara kondisiku tidak sepenuhnya baik. "Katakan saja." Dia ragu-ragu, dari tumpukan dokumen di tangannya dia menarik salah satu lembaran kertas memberikannya padaku.

"Apa ini?" Aku menyipitkan mata, menatap lembaran kertas yang berada di tanganku. Di sana tertulis salah satu investor menarik dana investasi untuk Perusahaan Televisi dengan jumlah nominal yang cukup besar. Aku tertawa sebagai reaksi, menyandarkan kepalaku pada kursi membuang wajah ke arah jendela.

"Kita jelas merugi ...." Sekretarisku itu angkat suara, nadanya masih lebih rendah dari sebelumnya. Dia menyodorkan lembaran dokumen lain, aku hanya menengok sebentar setelahnya memejamkan mata, bahkan angka-angka merah di sana sudah menampakkan bagaimana kekacauan yang telah kuperbuat.

"Karena rumor tentang putri Anda, banyak kolega yang ingin memutus hubungan kontrak," katanya ragu-ragu, dia tampak ingin memberitahu sesuatu tetapi enggan, suaranya bergetar dapat kurasakan-dia takut melihat tanggapanku lebih jauh. "Apa yang ingin kau katakan? Katakan saja."

"Anda harus membungkam media massa," jawabnya spontan, mata kami bertemu aku dapat melihat dia menciut, takut, cepat-cepat menunduk. "Berikan mereka kepastian, Anda harus mengamankan posisi Anda. Gosip mudah memudar, Anda hanya harus memberi keterangan lain."

"Maksudmu menyudutkan Amelie? Keluarga Espargaro? Atau bahkan putriku?" Aku menggelengkan kepala, aku menopang wajah dengan satu tangan, mengambil napas dalam-dalam. Dia diam, tidak menimpali, membisu. Pandanganku mengedar ke seluruh ruangan, rasanya udara terasa pengap, aroma bunga lili yang menghiasi kantor tercium memuakan.

Setelah malam itu kami berpisah, aku hanya tahu bahwa El dan Juliana menghabiskan waktu seperti biasanya. El yang kuliah kesenian, juga Juliana yang belajar di SMA swasta. Banyak wartawan yang bersikeras, mengajukan banyak pertanyaan. Namun, apa pun yang terjadi keduanya bungkam, terlebih El. Wanita itu berdiam diri sekali lagi, tidak merespon.

Sedangkan Juliana dia hanya menyatakan satu hal. Satu kata singkat, padat, dan jelas. "Fahri Priyambada tidak akan pernah menjadi Ayahku." Aku menontonnya di salah satu video youtube hasil wawancara yang tidak ditampilkan di televisi, jelas kami menyensor semua berita panas bahkan berita-berita gosip yang berkeliaran. Kami masih bisa meredam hal itu, tetapi keingintahuan masyarakat luas, aku bahkan tak bisa menyembunyikan lebih lama.

Para wartawan sigap mengorek informasi, dari sumber maupun perantara lain. Para kolega yang merasa cemas dengan berita bahwa Direktur Perusahaan Televisi memiliki anak haram juga memutuskan kontrak, mereka merasa tidak aman melakukan transaksi dengan seorang pria yang memiliki reputasi buruk. Banyak dari mereka adalah pihak-pihak investor, pengusaha, bahkan salah satu saluran memutus kontrak tepat sebelum perpanjangan kontrak lebih jauh.

Ini dirancang seolah menjatuhkanku.

Andai saja malam itu El menerimaku seperti 15 tahun yang lalu, Juliana menggapai tanganku, dan pada saat itu juga kami bisa menjadi keluarga. Apa sulitnya itu di pandangan mereka? Bukankah aku lebih dari pantas untuk memberikan mereka kebahagiaan? Membuktikan ketulusanku dan membayar apa yang telah terjadi di masa lampau?

Brak!

Aku menghantam meja dengan tinju. Gelas di meja bergetar, bergerak lantas berguling pecah di lantai. Aku menunduk hendak kutangkap gelas yang hampir terjatuh, tetapi terlambat, itu sudah pecah, belah berserakan. Tanganku tergores, hingga membuat darah di mana-mana. "Saya akan ambil kotak obat." Dengan sigap sekrestarisku meleos pergi, mungkin dia bersyukur bisa menjauh-tidak terkena amarahku.

Aku terpikir El.

Wanita yang dulu selalu ada saat kubutuhkan, senyumnya, suaranya hingga setiap gerak kecilnya yang berusaha selalu membuatku tertawa. Dahulu dia adalah gadis paling murni, paling suci sungguh polos dengan rona merah di wajahnya. Dan sekarang ketika memikirkan soalnya yang terbayang hanyalah kegelapan, kebencian dan kesenyapan.

Aku kembali menghantam meja, meninjunya kuat-kuat. Darah merembes mengalir menuju lantai dari telapak tangan degan kulit terbuka karena serpihan beling. "Sialan," ulangku berkali-kali, "sialan."

Seharusnya aku tak mengabaikan El, menemani wanita itu bahkan ketika aku merusaknya karena hasrat sesaat. Tak berpaling pada wanita yang tak pernah mencintaiku-Keysa yang nyatanya sudah jatuh cinta pada pria lain. Kupikirkan masa lalu kami, persahabatan yang kujalin bersama El, tergambar di pikiranku sebuah cermin-yang mulai retak dan tak bisa lagi utuh, yang ada menyayat siapa saja yang mendekat, sesuatu yang tak bisa diperbaiki.

Betapa bencinya El padaku.

Betapa bajingannya aku mengharapkan bisa hidup bahagia, layaknya keluarga cemara dengan putriku Juliana.

Betapa egoisnya aku kini memaksakan hal yang seharusnya tak dapat kuperbaiki.

Yang ada aku hanya mengacau, merusak segala hal. Keluargaku, reputasi, perusahaanku. Semuanya runtuh dan berserakan, aku sarat akan lumpur dan kotoran. Pada akhirnya aku hanyalah pria bajingan, bajingan bangsat seperti yang El katakan.

"Tuan!"

Aku menengadah, kini sekretarisku membuka kotak obat, mengambil betadine dan membungkus lukaku dengan perban. "Ini di luar perkiraan," katanya sembari membalut luka, dia melirikku, aku dapat melihat senyuman di wajahnya, berseri-seri. Aku mengerutkan kening. "Ada apa?"

"Kita mendapatkan investor baru, tentu dengan harga tiga kali lipat."

"Apa? Di saat seperti ini? Kau tak salah lihat?"

Dia mengangguk mantap, aku skeptis. Dia segera membawa tablet, menyerahkannya padaku, aku bisa melihat jumlah dana yang masuk. "Lekan? Tempat yang menaungi tiga perusahaan?" Tergambar di kepalaku tentang perusahaan besar-mempunyai tiga cabang perusahaan di bawahnya yang berfokus pada industri pakaian.

"Mereka saat ini hendak bertemu."

Aku angkat kepalaku, aku ragu, masih tak percaya. Aku mencium hal ganjil, sesuatu yang salah. Seharusnya aku berhenti di sana, tetapi tidak. "Ayo, temui mereka."

Aku akan menyesali keputusan itu. Sungguh.

Bersambung ....

24 Mei 2023

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang