Fahri; father

8 0 0
                                    

Akhirnya aku tidak mengatakan apa pun.

Aku terus diam di sana menunggu Juiana yang berbaring di atas kasur.

Gadis itu mulai terlelap tidur karena kelelahan, aku setia duduk di sana, mengamati wajah tidurnya yang damai. Tanpa sadar tanganku mulai bergerak, mengelus kepalanya. Sejujurnya aku sudah lama ingin melakukan ini, karena sebelumnya hanya Bryan—ayah tiri Juliana yang bisa melakukan kontak fisik secara langsung. Aku akan mengakui bahwa aku teramat iri, pria itu dengan mudah mengambil hati El maupun Juliana.

"Aku sangat menyayangimu. Karena itu aku terpaksa melakukan ini," bisikku, tanganku mulai mengelus wajahnya. Bahkan kami terlihat begitu mirip, tak bisa kusangkal bahwa Juliana adalah putriku. Terlepas dari sikap buruknya, aku ingin Juliana berada di sisiku cukup lama. Mungkin untuk selamnya. "Maaf, 'Nak. Aku berjanji kau akan hidup dengan lebih baik."

Aku mengatakan hal-hal baik yang begitu ironis dengan tindakanku—penculikan, pengurungan dan penyelewengan. Aku membeberkan fakta bahwa dia anak haram, menculiknya agar bisa mendapatkannya, bahkan mengurung gadis itu di tempat ini. Aku memiliki kesadaran penuh bahwa yang kulakukan adalah hal yang salah, tetapi aku tak berdaya. Bisakah kalian memakluminya? Aku hanya seorang ayah, tentu yang menginginkan putrinya.

"Aku akan kembali, jaga dirimu baik-baik." Aku mengecup kening Juliana, mulai beranjak berdiri dari tempat tidur. Aku terus menatap wajahnya, sesekali berbalik. Anehnya melihat Juliana di sini lebih membuatku tenang dibanding Juliana bersama keluarga sesungguhnya. Ada rasa kepemilikan yang kuat, hal terlarang yang begitu memabukkan.

Aku mulai membuka pintu, tak begitu terkejut ketika pintu terbuka Juliana berlari, menubrukku dan kabur keluar kamar. Aku tertawa, mungkinkah dia pura-pura tidur dan sengaja mengelabuiku? Sayangnya ketika dia melangkah menuruni anak tangga, para penjaga yang bersiaga sudah meringkusnya. Tentu, tanpa menyakitinya.

"Juliana, kau tak perlu berontak sejauh ini," ujarku. Aku berjalan menuju tangga. Juliana mengangkat wajah, menyorot berang, berhenti memberontak dari cengkeraman para tukang pukul.

"Kuberi kau satu kesempatan untuk membebaskanku. Jika tidak—" Juliana menghentikan ucapannya. Sekali lagi dia berontak tetapi gagal, menarik napas selanjutnya segera saja dia mengangkat wajah menatapku. "Kau benar-benar akan kehilanganku. Aku akan menganggapmu sampah seumur hidupku." Dia memberikan penawaran, jujur saja aku tergiur, sempat terpikir bahwa Juliana akan memanggilku Ayah dan kami bisa hidup bersama. Namun, tidak. Aku tahu itu hanya omong kosong, aku tak akan tertipu.

"Maafkan aku, 'Nak," tegasku. Aku tersenyum mengusap kepalanya sekali lagi sebelum benar-benar pergi.

"Kau akan menyesal! Sangat menyesal!" raungnya terdengar memenuhi vila. Aku berbalik melambaikan tangan, tidak terpengaruh dengan ujaran kebencian Juliana. Setidaknya semua umpatan itu tertuju padaku, yang berarti Juliana berada di sisiku dan ada dalam pengawasanku. "Sampai jumpa lagi."

Aku mulai melangkah keluar, Bagas sudah menunggu di teras sembari merokok. Melihatku yang datang dia menjatuhkan rokok dan menginjaknya, mengandaskannya ke tanah. "Sudah puas?" tanyanya sembari menyeringai kecil. Aku mengangguk sebagai balasan, kami menuju mobil dan kembali ke ibu kota.

Aku menyadarkan kepalaku kepada jok mobil. Terbayang di kepalaku keberadaan Juliana. Di mana aku bisa menemuinya kapan pun. Entah bagaimana sudut bibirku terangkat, aku mulai merasa semua berjalan dengan lancar. Aku menoleh ke arah Bagas, tersenyum. "Terima kasih."

Dia sempat terdiam, melirikku kemudian mengedikan bahu. "Tidak perlu berterima kasih. Kita berada di kapal yang sama."

Aku mulai memejamkan mata. Menikmati angin yang berembus menerpaku, aku begitu damai tak menyadari badai apa yang akan menerjang.

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang