Bryan; she is my love

7 0 0
                                    

Aku tahu bahwa istriku adalah wanita yang kuat.

Ternyata dia lebih kuat dari siapa pun yang pernah kutemui.

Amelie berbalik, menarik napas dalam-dalam, senyuman tak hilang dari wajahnya. Dia kembali membisu, berjalan ke arahku dan An kemudian tangannya menarik kami keluar dari pesta yang sungguh memuakkan. Dia tenang bagai batu karang, tangannya sudah berhenti gemetar bahan napasnya menjadi lebih lembut sehalus kapas.

"Sayang." Bukan aku, tetapi kali ini Amelie memanggilku begitu. Dia tersenyum ke arahku, tatapannya masih saja kosong tetapi kudapati senyum itu tulus. Kumeleleh dibuatnya, aku menarik lengannya, mencium ujung jarinya yang tersayat, berdarah terkena serpihan gelas yang pecah.

Kami berjalan ke salah satu limousine dan menaikinya. An masuk lebih dulu, duduk di ujung diikuti aku dan Amelie. Aku berada di tengah, mendekap keduanya, agar aku bisa memperhatikan mereka lebih dekat, setelah apa yang kami alami aku khawatir itu akan mempengaruhi mereka.

"Mom, kau terluka! Ayo, kita bergegas pulang, luka Mom harus diobati," seloroh An yang baru menyadari luka goresan, gadis kecil itu menarik tissue di dalam mobil dan mengikat jari Amelie. Aku menarik keduanya dalam dekapanku, kucium kening keduanya lembut, tenang dan hangat.

"Sekarang sudah baik-baik saja, kalian bisa beristirahat."

Amelie menatapku, hal yang tak terduga dia mengecup bibirku singkat, tak lebih dari sedetik tetapi bisa kurasakan bibirnya yang manis. Dia menatapku, sorot kosongnya melembut, tubuhnya mulai melemas, dia membenamkan kepalanya di dadaku. Kedua sudut bibirku terangkat, aku mengelus pucuk rambut Amelie.

"Dad, kau pasti senang," goda An, dia menaikkan sebelah alis, menyandarkan kepalanya di lenganku. Seringai main-main di wajah An terlihat khas, memesona dengan cengiran jahil yang dia berikan. Aku mengacak-acak rambutnya, tampaknya kini keduanya sudah tenang.

Itu adalah jebakan terbuka, dari awal Amelie sudah menyadari hal itu, aku ingat ketika melarangnya pergi, anehnya dia bersikeras. "Aku harus pergi, harus menunjukkan wajah. Jika tidak mereka akan melakukan hal yang lebih buruk." Aku tahu akan hal itu, dia memelukku seperti biasa. Hingga aku bisa melihat tubuhnya yang ringkih berjalan di jalan berduri, melawan masa lalunya.

"Sayang," panggilnya lagi. Aku masih belum terbiasa, gugup, seperti remaja puber yang mendambakan cinta pertama mereka. Aku menoleh, pipiku merona segera kuraih lengannya, mencium punggung tangannya lembut. "Iya, Sayang?" timpalku menatap matanya.

Dari dekat aku dapat melihat matanya yang biru mulai bersinar, samar-samar cahaya mencuat, muncul, terlihat lebih hidup. Bulu matanya yang lentik terlihat panjang, dari dekat bahkan aku bisa merasakan napasnya yang mengenai leherku. Dia menengadah, menatapku lamat-lamat. "Aku kini bebas."

"Aku tahu." Aku mendengkus, menggelengkan kepala mencium aroma sampo dari kepala Amelie. Dia memelukku, kali ini lebih erat, kubalas pelukan itu. Dekapanku lembut dan hangat, sekiranya begitu. Bahkan berkali-kali aku tak lepas mencium setiap penjuru wajah Amelie, mengatakan bahwa aku mencintainya, bahwa dia bisa tenang, tak perlu risau atau khawatir.

"Dad, kini kita bisa hidup seperti dahulu, 'kan?" An melirik ke arahku, kepalanya menengadah. Suaranya merendah, melirik Amelie yang memejamkan mata, takut-takut mengganggu, gadis yang menggemaskan. "Iya, sekarang semuanya baik-baik saja." Bahkan jika tidak, aku yang akan membuatnya begitu. Aku yang akan melindungi keluargaku mau bagaimanapun caranya.

...

"Ini akan menyenangkan!"

Aku tertawa melihat An yang berlarian di salah satu departemen store, aku menyewanya untuk hari ini. Menghabiskan waktu keluarga untuk bertiga saja. Suasana sepi, semua toko dibuka hanya untuk kami. Amelie terkekeh kecil, memutar mata malas, merangkul lenganku berjalan menyusuri mall.

"Kau pasti menghambur-hamburkan uang." Amelie melirik ke arahku, berjalan pelan sementara An memberi perintah pada bodyguard untuk membawakan troli membeli apa pun yang diinginkan. Aku meremas tangan Amelie lembut, mengecup pipinya. "Lagi pula ini pertama kalinya An berjalan-jaan, jangan kaku begitu."

Amelie mendengkus, menggelengkan kepala. Dia melirik An yang sudah memenuhi satu troli dengan barang-barang random yang menarik perhatian. "Biasanya An hanya berbelanja dari rumah, para pedagang yang menghampiri kita. Sekarang melihat benda sebanyak ini dia pasti akan berfoya-foya."

Aku tertawa sebagai balasan. "Kau ini tidak memanfaatkan kekayaanku dengan baik, Sayang. Kau harusnya sedikit berfoya-foya, aku mengumpulkan uang bukan untuk ditumpuk tidak berguna." Amelie mendelik, membuang pandangan melihat toko-toko dan pegawainya yang sudah Bersiap di depan toko masing-masing untuk menyambut kami. "Kamu tahu kan? Aku malas. Berfoya-foya itu tidak menarik dan tidak penting."

An sudah berkeliling lebih jauh ke tempat play station dan toko permainan berada, memborong barang-barang yang menarik mata. Amelie hanya bisa geleng-geleng kepala, mengataiku boros, terlalu memanjakan An. Tentu saja itu semua benar, semua uang yang kukumpulkan hanya untuk memanjakan keduanya.

"Sayang, mari kita lihat-lihat kemari," bujukku menoleh menemukan toko perhiasan. Penjaga sudah berjaga di sana menyambut kami, mempersilakan kami masuk. Amelie hanya mengangguk lemah, tidak tertarik, seolah tahu aku pasti hanya menghambur-hamburkan uang. "Aku akan membelikanmu perhiasan."

Amelie melirik etalase yang dipenuhi perhiasan dari berbagai bentuk Mulai dari cincin, gelang, kalung hingga anting. Mataku langsung tertuju pada cincin emas bertahtakan zamrud, berlian hijau itu berkilat-kilat, indah, memesona. "Jika Anda tertarik dengan ini, ini adalah permata zamrud Colombia yang tersohor. Memiliki saturasi warna yang jernih, Anda bisa melihat dari kilauan hijau permata ini."

"Ini mirip dengan matamu." Aku tersenyum mendengar penuturan Amelie, istriku menatap cincin emas dengan berlian zamrud, dia menilik sungguh-sungguh. Tanpa sadar aku meraih lengan istriku, mengambil tangan kirinya dan memakaikan cincin zamrud, warna itu sangat cocok di kulit putih istriku, membuat cincin itu mencolok dan serasi dengannya. "Ini cocok untukmu, Sayang."

Aku melirik kea rah perhiasan lain, semuanya seolah sangat cocok untuk istriku. Pasti ini karena istriku sangalah cantik, aku memujanya, itu adalah fakta. "Jangan berpikir untuk membeli semua perhiasan ini," cegah Amelie, dia bisa melihat mataku yang berbinar-binar menatap semua permata yang ada. Aku tergelak. "Astaga, aku ketahuan ya?"

Amelie mendengkus, menggelengkan kepala. "Jangan gila, aku tahu kau kaya tapi tidak memborong ini semua."

"Ini semua cocok untukmu—"

"Bryan."

"Baiklah, baiklah." Aku kalah, aku tak bisa melawan istriku. Aku kini menarik lengan kirinya yang memakai cincin yang baru saja kubeli, kukecup tangannya, jari-jarinya yang ringkih, kurus, kecil. Aku mendesah, menatap iris biru itu, matanya yang seperti samudera. Mataku berbinar-binar sayang. Aku berbisik, "Sayang ... sayang ... sampai kapan lagi aku harus menunggu agar kau jatuh cinta padaku? Katakan Amelie. Sampai kapan aku harus menunggu?"

Dia memejaman mata, berpikir, berdiam diri. Dia menangkupkan wajahku, membuat hidung kami bersentuhan. Aku ikut memejamkan mata, seolah dunia hanya milik kami berdua. "Aku mencintaimu Amelie," kataku lagi. Ini hanya permulaan, pada akhirnya aku ingin mencintai dan dicintai. "Aku akan menunggu, bahkan jika 15 tahun lagi. Aku tak akan membiarkanmu pergi."

Posesif, aku tahu perasaan ingin memiliki ini sangatlah kuat. Aku tak ingin dia hanya ada di sisiku, aku ingin dia ada di hidupku, menjadi segala-galanya. Seolah aku membuat sangkar emas untuk menahannya pergi, membuat dia terjebak bersamaku untuk selamaanya, abadi, tak lekang oleh waktu.

"Aku tahu, Sayang. Aku tahu," jawabnya, aku tersenyum mengecup bibir istriku sekali lagi. Aku tak akan pernah puas hanya dengan ini, pada akhirnya aku memilih serakah. Untuk mendapatkan lebih dan lebih.

Bersambung ....

23 Mei 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang