Aku tidak pernah memikirkan konsekuensi dalam berhubungan dengan orang lain. Aku lebih cenderung tak peduli dan abai. Lantas bersenang-senang menikmati masa sekarang, memanfaatkan apa yang ada.
Itu dulu.
Aku tak mau memikirkannya sekarang.
"Pak Direktur. Sudah cukup, semua pekerjaan sudah selesai. Anda harus beristirahat."
Ragu dan sedikit menunduk sekretarisku mulai bicara. Pakaianku sudah kusut, mataku memerah, hampir semalam suntuk kuhabiskan waktu untuk bekerja. Tubuhku nyeri bukan main. Aku sudah gila. Aku pikir begitu.
"Bawakan dokumen yang lainnya, pekerjaan untuk dua minggu ke depan masih ada, kan?"
"Hey, Fahri!"
Aku mengerutkan dahi, bising dari seberang membuatku kesal. Jika stress seperti ini obatku bekerja, ya aku akui sebagian diriku workaholic dan sekarang pikiranku kacau. Kerutan di dahiku semakin dalam, mataku yang memerah menyipit.
"Hey, kau ini ya! Liat muka kau ini? Kacau sekali. Kau sudah besar, masa harus kakak datang dulu baru kau sadar diri?"
Aku melirik kakakku, menghela napas panjang memejamkan mata. Ayolah, karena aku sudah besar, aku tidak memerlukan perhatiannya. Bisa-bisa aku semakin stress. "Kak ... aku sudah besar. Karena itu Kakak tidak perlu ikut campur lagi. Aku sibuk."
Berbicara sedikit sopan, aku melirik sekretaris yang bersembunyi di balik sang kakak. Heh? Apakah anak ini benar-benar asistenku? "Sibuk atau hanya membuat dirimu sendiri sibuk?"
Aku mengusap wajah kasar, sebagian tubuhku rebah di atas kursi. Jika begini aku tidak mau berurusan lagi dengan kakak yang akan semakin merepotkan. Baiklah, mungkin sekarang waktunya istirahat. "Baiklah ...." putusku akhirnya.
Aku memijat kepala nyeri, beberapa hari begadang dan bekerja habis-habisan sudah menandakan aku tak lagi sehat. Aku bangkit, meninggalkan mereka di ruangan, melangkah menuju lift beranjak pergi.
Seiring nomor dalam lift berganti pikiranku mengarah pada satu arah.
Tentang El.
Namun, pikiran itu tidak bisa lepas. Jadi ... El sudah menikah dengan orang lain? Lalu kini putriku itu mencintai suami El dan menjadikannya Ayah kesayangan? Mengingat hal itu aku kembali membenturkan kepalaku pada dinding lift, hingga akhirnya pintu terbuka. Aku melangkah keluar. Tidak bisa dipungkiri, jika aku merasa iri, harusnya itu adalah posisi milikku. Itu posisiku sebagai suami El dan Ayah dari Juliana!
Kenapa El? Kenapa? Kenapa kau tidak memberitahuku? Sudah pasti jika tahu aku akan segera melepaskan Keysa dan tidak akan tenggelam dengan rasa bersalah. Kenapa El? Kau kan mencintaiku. Kenapa kau bisa setega ini padaku? Aku frustasi. Ada kalanya aku menjadi egois dan menyalahkan El atas semua ini.
Perlahan aku menaiki mobil dan mengemudi pergi, aku tidak tahu El menyembunyikan hal besar, tentang mengandung anakku dan pergi selama ini. Bagaimana gadis yang mencintaiku itu melakukan ini?
Aku menjalankan mobil, menjatuhkan kepala di atas jok dengan pasrah. Bagaimana aku bisa begitu yakin? Itu semua mudah. Dengan uang segala informasi dengan mudah bisa didapatkan, termasuk tentang El, dan juga ... putriku?
Astaga. Aku memukul stir mobil dengan keras. Selama 15 tahun bagaimana aku bisa hidup seperti bajingan yang tidak bertanggung jawab? Mengapa El tidak memberitahuku?
Aku tidak tahu kini apa yang harus kulakukan. El membenciku, juga Juliana; putri kandungku lebih membenciku lagi. Aku mulai menenangkan diri. Selama 15 tahun, setelah lamaran itu, aku terkejut mengetahui El pergi.
El pergi bahkan sampai berbulan-bulan, aku ingat bagaimana semua orang khawatir. El hanya meninggalkan sepucuk surat, tentang kepergiannya untuk waktu yang lama. Berbulan-bulan hingga tahun, bahkan ketika aku masih bertunangan dengan Keysa. Rasa bersalah pada El semakin besar dan besar.
Beberapa hari sebelum pernikahan. Akhirnya aku dan Keysa setuju untuk membatalkan pernikahan. Keysa ternyata sudah mencintai pria lain selama ini, dan aku dibutakan rasa bersalah pada El.
Aku sudah berusaha mencari El selama 15 tahun terakhir. Tapi, tidak berhasil, hingga saat itu di restoran, ketika aku sudah benar-benar menyerah mendapatkan informasi tentang El. Aku menemukan El dengan gadis kecil; putri kandungku yang tidak pernah kuketahui.
.
.
.
Plak!
Aku tercengang ketika mendapati diriku ditampar. Ini sedikit mengingatkanku pada tinjuan Juliana tempo hari yang lalu. Di hadapan seluruh keluarga, wajahku terpental ke samping sehingga menyisakan jejak merah. "Ada apa ...?" tanyaku pada mereka.
Di sana ada seluruh keluargaku, kakak, juga orang tua El. Aku mengernyit, menyentuh pipiku nyeri. Yang kutahu orang tuaku memanggil untuk bertemu di rumah mereka, lantas setelah datang aku mendapat tamparan, apa yang sebenarnya terjadi?
"Beraninya kau melakukan ini semua pada Ibu, Frans!"
"Apa maksudnya?"
Aku masih bingung, tatapan mereka semua menyorot tajam. Ada sirat tak percaya juga miris yang mencuat, tak begitu kumengerti. Aku lagi-lagi bertanya, "Apa?"
Ibu menatap nyalang, wajah tua yang anggun lenyap selagi mata itu berkaca-kaca, tubuhnya sudah gemetar. Di sisi lain, Bunda El bergumam terus menerus, air matanya deras. "Kenapa kau menghamili Amelie, Fahri? Kenapa kau menghancurkan hidup putriku? Kenapa?"
Ah ... Aku mengerti sekarang apa yang terjadi. Mereka semua sudah tahu insiden lima belas tahun lalu. Perlahan dan pasti semua rasa bersalah menggema di hatiku, aku sudah bergemul dengan perasaan ini selama beberapa hari terakhir. "Maaf," lirihku, aku menunduk dalam-dalam.
Buk!
Satu pukulan menghantam wajahku, tak memberi jeda. Lagi dan lagi seluruh tinju menghantam tubuh. Ayahku di sana, melotot, urat-urat di kepalanya nampak memperlihatkan seberapa marah ayah. "Maaf?! MAAF KAU BILANG CUKUP?!"
Tubuhku terpental jatuh ke lantai sedangkan emosi ayah tidak stabil. Tidak ada yang menghentikan amukan ayah, bahkan kakak-kakak yang lain memalingkan wajah, seolah aku memang pantas mendapatkan itu. Aku tertawa hambar.
Aku bisa mengerti kemarahan ayah yang notabene seorang pria sejati- lelaki baik-baik, seorang gentleman. Rasa malu juga hina tersirat jelas dari mata ayah. Menghakimiku. Aku ciut. "Kapan Ayah mengajarkanmu menjadi pria brengsek huh?! Jawab Ayah! Selain berzina bahkan kamu tidak bertanggungjawab! Rihana bilang bahkan Amelie mengandung anakmu dan mengurusnya selama lima belas tahun! Lima belas tahun!"
Suara tinju nyaring, memenuhi ruangan. Aku mulai terbatuk kecil, darah merembes dari bibir. Wajahku memar, tubuhku remuk dengan pakaian kacau. Aku tak melawan, sadar diri akan kesalahannya- menghancurkan hidup wanita sempurna yang dibuat mati-matian oleh Nyonya Callington dan dihormati kedua orangtuanya.
Benar-benar sampah bukan? Bahkan aku adalah satu-satunya sahabat kecil El yang bisa dipercaya. Dan sekarang? Menghancurkan hidup El kesayangan mereka. Benar-benar mengecewakan. Setelah beberapa saat tinjuan terhenti, napas Ayah menderu dan tubuhnya terjatuh ke lantai menatap tanpa berkedip. Suara pria tua dengan janggut lebat itu, menggeram menyeka peluh. "Kau benar-benar mengecewakan ...."
Aku berusaha terduduk, meringis, seluruh penjuru tubuh nyeri sekali. Hatiku pun kacau, tak kalah remuk ketika merasakan tatapan mereka- keluarga juga orang tua El. Dan Nyonya Callington mengarah padaku, menatap dengan matanya yang berair. Aku menunduk sekali lagi.
Demi apa pun aku benar-benar merasa bersalah atas tindakanku, bahkan aku tak tahu bagaimana cara memperbaikinya. "Semuanya kesalahan Fahri. Maaf sudah mengecewakan."
Bising, bising, bising menggema dalam kepala.
Bahkan jika aku mati karena rasa bersalah, bising yang meneriakkan diriku bajingan akan terus menggema.
Dan aku pantas mendapatkannya.
Bersambung ....
16 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...