Fahri; failure

6 0 0
                                    

"Kau harus menjaga adikku."

Mataku menyalak berang, emosiku tumpah ruah, mataku sembap karena terlalu banyak menangis. Aku masih terguncang dengan apa yang baru saja kulalui. Setelah penyerangan brutal yang dilakukan Bryan, dia tampak setenang air lantas menyeretku paksa untuk menemukan Juliana.

Kami berada di dalam mobil yang sama. Dia duduk di depan sementara aku berada di tengah dihimpit dua tukang pukul. Sekarang aku baru mempercayai apa yang dikatakan orang-orang Lekan. Bahwa Keluarga Espargaro bagian dari dunia hitam. Bryan tak menjawab, dia mengabaikanku, pandangannya fokus ke depan.

"Dengar aku, walau kau Ayah kesayangan Juliana. Aku tidak bisa memaafkanmu, terlebih setelah apa yang kau lakukan," sergahku. Nada suaraku tajam, mataku menilik ke depan, melihat kaca spion yang memamerkan wajah orang yang telah membunuh keluargaku.

"Begitu pula aku." Aku terhenyak, akhirnya bajingan itu menjawab pertanyaanku. Dia masih menatap lurus ke depan tanpa menoleh sedikit pun ke belakang. Intonasinya tenang dan teratur, dia menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan, "Walau kau Ayah biologis Juliana. Aku tak memaafkanmu yang telah menculik putriku."

"Tapi, kau membunuh!" sentakku diliputi amarah. Rasanya aku ingin menghajar wajahnya, amarahku meletup-letup, sementara tanganku mengepal kuat. Bryan memutar-mutar cincin kawin di tangannya. Terlihat di trans—melamun, keluar dari sel ini, sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku semakin geram. Tak pernah aku pikir ada orang sekejam Bryan.

"Kau juga membunuh istriku," lirih Bryan.

"Apa maksudmu? Aku tak pernah membunuh El."

"Berhenti memanggil namanya seolah mengenalnya dengan baik.

Kau menyakitinya, membuatnya menderita!" bentak Bryan.

Aku bisa mendengar napasnya yang berembus kasar dan emosinya yang mulai tersulut panas. Aku bergeming di tempat. Perkataannya sama seperti Juliana, memangnya sejahat apa aku hingga membuat El menderita? Aku tak mau mengakuinya, aku memang salah tetapi tak sampai hingga membunuhnya.

"Kenapa, eh? Kau terkejut? Apakah An mengatakan hal yang sama? Aku bisa menebaknya," sindirnya mengejek. Aku mengerutkan kening dalam-dalam, memangnya apa dampak yang El rasakan setelah malam itu? Aku tahu memang berat mengurus anak seorang diri, tetapi memang apa yang dialaminya sampai seperti itu?

Aku terhenyak, terdengar suara dering telepon mengisi mobil. "Ya, Sayang?" Bryan mengangkat telepon, aku terdiam mendengarkan. Dia mengaktifkan loud speaker, suara pembicaraan mereka terdengar nyaring.

"Kau sudah menemukan An?" Itu suara El. Aku membuka telinga lebar-lebar mendengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut.

"Belum. Tapi, kami sudah menemukan lokasi kemungkinan An berada. Kau bisa sedikit lebih tenang," jawab Bryan. Suara pria itu langsung melembut setelah mendengar suara El. Aku tertawa hambar, memalingkan wajah dengan muak. Aku tahu dia sedang pamer kemesraan. Dan tujuannya membuatku merasa lebih buruk memang berhasil.

"Kau sudah menemukan pelakunya?"

Aku menatap Bryan dari kaca spion, aku berharap dia tak melaporkanku pada El. Jika saja dia mengatakan kebenarannya maka El akan lebih membenciku. Aku mengetuk-ngetuk kaki gelisah, aku menggeleng, jangan sampai El tahu.

"Kami sudah menemukannya. Akan kuberitahu nanti." Bryan menutup telepon, aku menghembuskan napas lega. Namun, aku tak mau percaya terlalu awal, pada akhirnya fakta akan terkuak pada masanya. Aku meringis, merasakan satu kakiku yang terluka, ditembus peluru hingga meneteskan darah. Darah di mana-mana, jok mobil, celana bahkan lantai. Aku menggeram, menahan nyeri, jika tidak terluka, sedari awal aku sudah menghajar bajingan-bajingan ini.

"Apakah benar di sini?" tanya Bryan, kali ini suaranya kembali dingin menatap rumah tingkat tiga dengan warna abu-abu. Aku mengangguk kecil. Baru beberapa jam yang lalu aku bertemu dengan Juliana, aku yakin betul dia masih berada di tempat yang sama. Di sana pula masih terlihat tukang pukul yang menjaga rumah, persis seperti aku datang.

"Berhenti." Salah satu tukang pukul menghentikan mobil, meminta mereka membuka jendela. Aku bersiap untuk berteriak, meminta tolong, aku pastikan bisa keluar dari genggaman Bryan. Akan tetapi tak semudah itu, ketika mulutku sudah terbuka, mobil yang bergerak di belakang kami sudah menumpahkan peluru. Menembak orang-orang suruhan Bagas.

Bryan keluar dari pintu, tangannya masih menggenggam senapan. Para tukang pukul di sisiku juga keluar, menyeretku untuk menunjuk jalan. Aku tak berdaya, dengan kaki setengah pincang, menahan rasa sakit yang menikam aku bergerak lemah menunjuk tempat Juliana dikurung.

Harapan-harapanku sebagai Ayah Juliana segera saja pudar, mimpi-mimpiku hancur, aku kini tak dapat memiliki gadis kecil itu. Aku menyesal, seharusnya kuturuti keinginan Juliana untuk membebaskannya. Aku menengadah, menunjuk lantai dua, tepat kamar di sisi tangga. "Dia di sana, cari saja."

Aku tenggelam dengan pikiranku sendiri, aku memikirkan banyak hal, pasal kehilangan keluargaku, kesalahanku menculik Juliana, bahkan perbuatanku pada El. Para tukang pukul bergerak, mendobrak pintu, terdengar berderap mencari Juliana.

"Tidak ada. Tidak ada orang di sini, Tuan."

"Apa?" Aku menengadah, ekspresiku tak dapat dikendalikan, terkejut bukan main. Seharusnya dia ada di sana. Tak mungkin dia raib begitu saja, kepergianku dari vila hanya selang beberapa jam. Atau ... atau mungkin saja bahwa Lekan mengkhianatiku. Aku tersadar secara mengerikan, membeku di tempat. Jadi ini tujuan mereka, menjadikanku sebagai kambing hitam. Dan artinya Juliana tidak aman.

Tolol, mengapa aku percaya begitu saja.

"Periksa semua kamar," titah Bryan. Pria itu menodongkan senapan di kepalaku, moncongnya mengenai dahiku. Jika saja dia menarik pelatuk sudah dipastikan tengkorakku akan pecah, mati dengan tragis—menyusul keluargaku ke alam lain. "Aku bersumpah, beberapa jam yang lalu Juliana masih di sini!" belaku, tubuhku terduduk di lantai, nyeri di kakiku semakin kentara.

"Kau bilang, kau bekerja sama dengan Lekan." Bryan sudah siap menarik pelatuk. Aku memejamkan mata, rahangku mengetat, frustrasi dan takut menjadi satu. Iblis ini tak akan melepaskanku dengan mudah. Aku sudah pasrah, akhirnya aku berkata, "Benar. Jika aku mati di sini, cari saja Lekan. Amankan Juliana." Untuk terakhir kalinya aku berharap Juliana cepat ditemukan.

Sesuai dugaan, Bryan menarik pelatuk. Aku memejamkan mata, tetapi yang terjadi selanjutnya hanya terdengar suara pelatuk ditarik. Tidak ada peluru yang menembus kepalaku. Aku menengadah, menatap Bryan yang memasukkan senapan ke dalam saku. Dia tidak mengatakan apa pun. Jadi aku selamat? Aku bertanya-tanya, terdiam seperti orang bodoh.

"Kami menemukan sesuatu." Salah satu tukang pukul turun dari anak tangga, membawa kertas dan menyodorkannya pada Bryan. Aku bisa melihat tangannya yang dikotori darah membuat jejak kemerahan di kertas putih. Dia menarik napas dalam-dalam. Menyorotku dengan tatapan dingin, dia memperlihatkan surat di tangannya.

Teruntuk Tuan Espargaro di Tempat.

Apakah Anda sudah mendapatkan hadiah dari kami? Tentu Anda bisa mengambil Fahri Priyambada—orang bodoh itu sudah bekerja sama untuk menculik putri kesayangan Anda. Saya harap Anda menyukainya.

Mungkin Anda masih mencari Juliana. Tentu kami tidak akan menyakitinya—belum, kami masih menjaganya tetap aman. Ketika Anda sudah menerima surat ini, saya berharap Anda bisa datang ke alamat tertera pada lusa pukul 10 malam tepat, bawa sejumlah uang dengan nominal sebesar Rp.100.000.000. Datanglah sendiri, jangan sampai kami menemukan Anda membawa orang lain.

Alamat: XXX

Tertanda

Lekan

Bersambung ....

19 Juni 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang