Amelie; tomorrow you will come again

32 3 0
                                    

Aku mual.

"Bukankah ini terlalu ramai? Apakah manusia sebanyak ini?"

An menyela, dirinya menatap sekitar sepanjang perjalanan dengan tatapan ngeri. Jika saja aku bukan salah satu yang benci dunia sosial, aku akan menertawakannya, kemudian mengejek dia yang kelimpungan melihat banyak orang. Yang jadi masalah aku lebih parah, muntah di toilet bandara.

"Mom, kau yakin baik-baik saja?"

"Apakah aku terlihat baik-baik saja?"

"Tapi, Mom kan lebih berpengalaman."

Aku mendelik, kemudian yang terjadi selanjutnya An terpingkal. Kami sudah keluar dari pulau, melewati pelabuhan hingga sampai di bandara. Yang berarti kami melewati ratusan maupun ribuan orang. An bahkan tidak jauh lebih buruk, walau ekspresinya datar, wajahnya pucat karena shock.

"Okay, aku pikir aku akan mati," simpulnya. Dia bergidik, membuatku balas mengejek, menyeringai remeh.

Kami terus melangkah hingga menemukan taksi, bersandar pada jok mobil usang aku mulai memejamkan mata. Bergumam dengan kekehan kecil, "Ya, itu masalahnya. Kemampuan sosialisasi Mom payah. Dan sayang sekali kau mewarisinya."

An hanya mengangguk, kemudian bersender pada bahuku seperti anak kecil, aku mendesah dan mengusap kepalanya. Dia lelah. Taksi mulai melaju meninggalkan bandara, pandangku beralih pada jam digital. Sudah waktunya makan siang. "Pak, bisa tolong ke restoran terdekat? Kami ingin mampir untuk makan siang. Apakah Bapak siap menunggu?"

Supir taksi mengangguk setuju, menghantarkan kami ke rumah makan terdekat. Mobil melaju hingga sampai di gedung besar. Lebih tepatnya restoran mewah, banyak orang dengan pakaian mahal hilir mudik. Restoran bintang lima. "Ini yang terdekat. Apa tidak masalah?"

Aku melirik ke arah An.

"Aku akan makan steak."

"Ya, Mom setuju."

An terlihat selalu memasang wajah datar sepanjang perjalanan. Kadang mengerut, menekuk kesal. Walau ini perjalanan pertamanya keluar dari pulau. Itu tidak begitu buruk, dan dia sudah dapat beradaptasi. Kami mulai memasuki restoran, pelayan datang menyajikan daftar menu.

"Tolong daging steak dan jus jeruk dua."

"Baik, Nona. Tolong ditunggu."

Aku terus melirik An, dia tersenyum tipis. Wajahnya masih pucat, pasti dia masih pusing. Aku menaikkan sudut bibir, menyeringai main-main. "Mom dipanggil Nona. Tidakkah Mom terlihat sangat muda?"

"Jangan bilang Mom suka pria muda?"

"Siapa tahu?"

"Aku akan memberitahunya pada Dad. Mom pasti akan dapat masalah besar."

"Dasar tukang mengadu."

An memutar bola mata, mengalihkan pandangan. Bibirnya mencebik kesal menopang wajah. Aku tertawa. Putriku yang satu ini benar-benar tidak bisa kuabaikan. "Tapi, bukan itu sebuah keberuntungan?"

"Keberuntungan apa? Terlihat lebih muda?"

"Punya banyak pria."

"Mom!"

Aku menutup mulutku, tertawa lagi. Sikapnya yang terus menerus kesal membuatku ingin terus menjahilinya, terlebih hubungan kami tidak seperti ibu dan anak pada umumnya. Kami lebih seperti sahabat. Dia bergumam lagi, kesal.

"Ngomong-ngomong, Mom. Aku merasa lebih cepat lelah. Aku berharap aku tidak sering ke tempat ramai. Apakah Mom mengetahui tempat tenang yang menyenangkan? Aku pikir itu lebih baik dari kerumunan massa."

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang