Aku benci keadaanku sekarang.
Setelah bajingan Fahri mengurungku di vila, para penculik menyetrumku dengan stun gun, aku tak sadarkan diri hingga terbangun di tempat asing. Tentu jika ini disebut penculikan, maka ini bisa dikatakan begitu. Berbeda dengan kamar yang luas dengan perabotan mewah yang kutempati sebelumnya, kini aku berada di tempat terpencil, pengap dan kotor. Tak ada cahaya masuk. Hanya lampu kuning temaram yang menerangi ruangan. Aku tidak terikat tali atau mulutku disumpal, akan tetapi se-berusaha apa pun aku berteriak tak ada yang menyahut.
Seakan tahu aku akan menyerang siapa saja yang masuk ke dalam ruangan, mereka memberikan makanan lewat celah kecil di bawah pintu. Aku mendobrak pintu, bahkan hingga pintu besi itu penyok. Namun, nihil. Tenagaku tak sekuat itu untuk membukanya. "Apakah kau tidak akan menyerah?"
"Menyerah? Jangan bercanda!" Dan terkadang satu orang yang tak kukenali mengajakku bicara. Dia senang mengoceh, berbicara di balik pintu, mengatakan hal remeh-temeh sungguh bukan hal penting. Dia rutin datang, setiap pukul 7 malam, aku melihat waktu melalui jam usang yang menggantung di dinding.
Sudah beberapa hari aku terjebak. Aku masih mengenakan seragam sekolah seperti saat pertama kali diculik. Bajuku sudah kotor, kumal dan berbau keringat. Di ruangan kecil dengan satu kamar mandi, di sana terdapat ranjang reot dengan selimut tipis. Sial, aku terjebak. Aku harus mencari pertolongan.
Setelah merenung cukup lama, aku mendapat pencerahan. Ada satu ide yang terlintas di kepalaku, ini cukup berisiko dan dapat membahayakan diriku, tetapi pantas dicoba. Aku menarik napas dalam-dalam, kakiku melangkah masuk ke dalam kamar mandi, ada cermin di sana.
Prang!
Aku meninju cermin, suaranya nyaring, membuat serpihannya berhamburan menuju lantai. Aku berjongkok, sempat terdiam lama sebelum menyayat telapak tanganku. Aku menggeram, merasakan pecahan kaca yang mengirisku dalam-dalam, mengeluarkan darah sewarna merah segar. Lantas aku meletakan tanganku di bagian perut, membanjiri pakaian seragam putih dengan darah.
"Tolong, buka pintu!"
"Maaf, tapi bos tidak memperbolehkan kami membuka pintu."
Terdengar suara penjaga dari balik pintu, aku meringis, berjalan tertatih-tatih menggedor pintu. "Aku terluka!" seruku sekali lagi, terdengar penjaga itu mendesah, skeptis, tidak percaya. Akhirnya aku merunduk, membasahi satu tanganku yang lain dengan darah. Menyembulkan tanganku dari luang kecil tempat mengirimkan makanan aku memperlihatkan darah yang mulai berceceran di mana-mana.
"Lihat!"
"Astaga, apa yang kau lakukan?!"
Terdengar suara penjaga yang memekik ngeri. "Bos mengatakan agar jangan sampai kau terluka. Astaga, kau sungguh merepotkan." Aku mengepalkan tinju, berhasil! Aku berpura-pura memegangi bagian perut, ketika pintu terbuka aku terjatuh limbung hingga penjaga menangkapku.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan?" Dia berkata cemas, aku merintih bersandiwara kesakitan. "Aku melukai diriku sendiri," gumamku sembari mendesis, terus menunjukkan gadis lemah kesakitan yang butuh pertolongan. Sempat terdiam sebentar—tampaknya berpikir, penjaga itu melirik lukaku, di mana mengotori seragam, darah di mana-mana, dia meringis. "Akan kupanggilkan dokter."
Tidak! Aku berdecak, sebal bukan main. Jika begini tidak ada kesempatan untukku lari. Ketika dia menatapku aku kembali merintih, berkata omong kosong menyedihkan, ajaibnya dia percaya. "Lebih cepat kau membawaku keluar ...."
"Bos akan membunuhku."
Aku tidak peduli, ingin kuteriakkan itu ke wajahnya, tetapi aku mulai bersandar lemas ke arah penjaga, keringatku membanjiri tubuh, mungkin ini karena adrenalin yang berpacu cepat. "Aku sekarat ... bosmu akan marah jika sampai aku ketahuan mati." Aku bisa melihat ekspresinya semakin gundah, aku mengumpat dalam hati. Cepatlah! Bawa aku keluar dari sini agar aku bisa kabur.
"Baiklah, tak mungkin gadis sekarat sepertimu bisa kabur." Penjaga yang memiliki tubuh besar dengan kepala botak mengangkat tubuhku. Di depanku terdapat tangga, dia menggendongku terus sampai ke atas hingga membuka pintu. Aku menilik secara cermat, kami keluar dari sebuah lemari dipenuhi buku. Jadi mereka mengurungku di basement.
Aku mengangguk, mendapat satu poin pertama yang bisa menyelamatkanku dari tempat terkutuk ini. Kami keluar dari ruangan yang dipenuhi buku-buku—perpustakaan pribadi dan berbelok ke kanan. Aku bisa melihat interior mewah yang menghiasi tempat ini. Aku kembali memperbarui daftar informasi pasal pelaku yang menculikku. Mereka orang berada.
Pria botak—dibanding penjaga aku lebih suka sebutan itu. Dia berbelok dan menaiki anak tangga. Aku tak tahu tepatnya bagaimana rumah ini. Apakah memiliki tingkat atau tidak. Pandanganku terbatas karena digendong oleh pria botak, yang kulihat hanyalah kamar-kamar dan ruang tertutup dengan jendela di sepanjang lorong.
"Kau kini terlihat baik? Aku ragu apa kau benar-benar sakit atau tidak."
Astaga! Aku benar-benar lupa sedang bersandiwara. Aku kembali merintih, memegangi perutku. Tampaknya darah mengalir cukup banyak dari telapak tanganku yang tergores. "Astaga ... ini sakit sekali ... sangat sakit ...."
Pria botak mendengus mendengarku yang terus mengeluh. Sialan! Karena dia aku tak bisa fokus untuk kabur. Setelah berjalan cukup lama, aku menyadari satu hal bahwa tempat ini sangatlah luas. Kami sampai di pojok lorong. Di sana ada satu kamar, ketika pintu terbuka terlihat pria muda menyambut kami. Aku ditidurkan di atas ranjang, terbaring lemah.
"Dia harus diobati, Dok. Dia menusuk perutnya sendiri. Darahnya tidak mau berhenti." Pria botak berbicara, dia menengok ke arahku menatap ngeri darah yang membanjiri seragam.
"Apakah ini sakit?" Orang yang dipanggil dokter menyentuh bagian perutku yang tertutupi darah. Aku mengangguk, peluh mengucur di tubuh, aku memutar otak, cepat atau lambat luka yang berada di telapak tangan kiriku bisa terbongkar. "Rasanya aku mau mati."
Dokter mengangguk, dia memakai masker kemudian membawa nampan berisikan peralatan kesehatan. Aku melirik ke arah nampan dengan teliti. Aha! Sebelum dokter membuka kancing seragamku. Aku segera bangkit, bergerak cepat mengambil gunting yang ada di atas nampan.
Aku menusuk mata sang dokter. Jeritan terdengar nyaring, aku melompat kali ini menikam leher pria botak yang sudah memasang kuda-kuda. Aku bergelantung di tubuhnya, tanganku menggantung di lehernya, berkelit ketika dia hendak mengarahkan tinju. Aku menusuk lehernya berkali-kali, darah muncrat di mana-mana. "Dasar jalang kecil!" umpatnya.
Setelah sesi bertarung yang panjang. Pria botak itu tergeletak di lantai sedang kehabisan darah. Aku mendekati sang dokter yang merangkak, memegangi matanya yang sudah tertusuk. "Jangan sakiti saya!" Dia memohon dengan amat sangat.
Aku terdiam, menarik napas dalam-dalam. Melihatku yang tak bergerak dia tunggang langgang berlari dengan satu mata mengeluarkan darah. Aku mengusap wajahku yang terciprat darah, langkahku cepat menuju pintu keluar. Sekarang aku harus bersembunyi, jika tidak aku bisa saja kembali dimasukkan ke tempat menjijikkan di bawah sana.
Aku mulai bangkit, berjalan keluar dan melewati kamar-kamar yang tertutup. Aku melewatinya, berusaha mencari pintu keluar. Aku masih berkutat, mengikuti lorong yang panjang, aku menengok ke sebelah kanan melihat jendela yang menampilkan aku berada. Melihat ke bawah aku tahu bahwa aku berada di lantai satu.
"Cari anak itu!" teriak para penjaga, samar-samar dapat kudengar orang-orang berderap mulai melangkah ke tempatku berada.
"Berengsek," umpatku. Aku diliputi kepanikan segera mencari ruangan untuk sembunyi, hingga di depanku terdapat pintu berwarna biru muda. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu, sial, itu terkunci. Aku hendak berlari ke lorong mengecek ruangan lain. Akan tetapi suara derap kaki para penjaga semakin dekat, suara mereka berteriak satu sama lain.
Aku kembali memutar kenop pintu, menggedor-gedornya. "Buka! Cepat buka!" pekikku tertahan. Tepat ketika aku melihat bayangan para penjaga, pintu terbuka. Segera saja aku masuk, keringat mengucur di seluruh tubuh. Aku tersengal-sengal, menatap lurus ke depan.
Aku mematung.
"Juliana?"
Bersambung ....
20 Juni 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...