Amelie; a future that will never be real

29 2 0
                                    

Aku hampir tidak tidur setelah dini hari, tepat jam tiga pagi efek obat untuk tertidur habis, membuatku terbangun memuntahkan kembali isi perutku di kamar mandi. Aku sudah terbiasa, efek obat-obatan tidak selalu baik, kubuka jendela lebar-lebar kemudian meneguk air putih untuk merilekskan tubuh.

Angin dari musim kemarau menerpa rambutku, wajah, pipi. Setelah diam memandangi gelapnya langit, bintang-bintang juga bulan. Pikiranku mulai kosong, hampa yang dalam— perasaanku mati. Tubuhku bergoyang-goyang di depan jendela, bisik di kepalaku kembali bising memerintah untuk melompat.

Aku mulai menaikkan satu kaki, berpikir semuanya akan berakhir di sini. Mati sekarang tidak buruk. Belum sempat berdiri kokoh, tegak di atas bingkai jendela. Kudengar dering telepon. Satu, dua kali masih kuabaikan membuatku mematung di tempat dengan satu kaki menyentuh bingkai kayu. Hingga yang ketiga kali aku menyerah, terhuyung-huyung mengambil ponsel segera mengangkat panggilan.

"Hm?"

Aku bergumam, angin terdengar kembali berhembus dari jendela. Merebahkan diri di atas kasur, aku kembali bersuara, menarik perhatian orang yang memanggilku di telepon. "Ya? Hm?"

"Apa yang sedang kau lakukan sayang?"

Aku mendesah, merebahkan tubuhku bergemul menarik selimut. Ini akan panjang, suamiku menelpon. Jika tahu aku meminum obat-obat itu terlalu banyak, melewatkan makan, tidak mengurus diriku ... kukatakan dia akan sangat merepotkan. Dia akan mengomel. Jadi aku lebih memilih pura-pura terbangun dari tidur. "Baik, baik. Semuanya berjalan baik. Aku baru saja terbangun. Dan itu berkat kau."

Suamiku tertawa di seberang, menghela napas panjang berbisik, "Aku merindukanmu, An menelponku siang tadi. Ah, ya? Di tempatmu sedang siang hari saat An menelponku. Dia mengatakan kau melakukan hal mencurigakan. Aku harus menelponmu, memastikan kau baik-baik saja."

"Itu hanya kecurigaan kalian."

"Bagiku sepertinya An benar. Kau terdengar seperti orang teler, sayang."

"Aku tidak mabuk."

"Kau minum obat terlalu banyak, biar kutebak. Benar begitu?"

"Jangan berasumsi. Kau tidak melihatku juga. Aku baru saja terbangun." Aku baru menyadari bahwa suaraku benar-benar seperti orang teler, mengigau tidak karuan. Aku membersihkan kerongkonganku, berusaha membuat suaraku semakin tegas. Kemampuan Bryan menerawang mengerikan.

Suamiku terkekeh. Aku bisa mendengar suaranya setengah serak kemudian di sisi telepon yang digunakannya aku mendengar suara sibuk perkotaan, langkah kaki orang-orang, kendaraan. Aku pikir dia sudah pindah lokasi ke negara lain dalam perjalanan bisnis. Perbedaan waktu kami yang jauh sekali.

"Dengar, sayang. Aku sudah mengatakannya berkali-kali. Aku mengizinkanmu menyimpannya jika keadaan darurat. Aku tak mau kejadian itu terulang lagi."

Aku mengangguk, walau tahu dia tak bisa melihatnya. Itu omong kosong, aku pasti akan melanggarnya lagi. "Iya, aku mengerti." Dia kembali menghembuskan napas panjang, seperti orang tua kelelahan, sedangkan aku remaja nakal yang selalu membangkang. Aku ingin tersenyum sekali saja, tapi itu sulit.

"Aku akan segera menyusul kalian ke sana. Hati-hati. Aku mencintaimu."

"Ya, kau juga. Hati-hati."

Setelah panggilan ditutup aku hanya berbaring di sana tanpa tidur. Membiarkan angin menerobos masuk, menyelinap melewati sela-sela jendela dan terdiam. Bahkan hingga panggilan berakhir aku tak bisa sekadar membalas kata sayang-nya. Aku berusaha untuk melakukannya setiap waktu, tapi kata itu tak pernah keluar. Setidaknya nanti aku akan memanggilnya lebih romantis, seperti yang sering dilakukannya.

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang